Meulaboh (ANTARA Aceh) - Seratusan masyarakat nelayan pesisir Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh mengadakan ritual adat "Khanduri Laot" (kenduri) sebagai bentuk rasa syukur atas hasil tangkapan selama ini.

Abu Samah, tokoh nelayan Lhok Meureubo, di Meulaboh, Selasa, mengatakan, selain mempererat silaturahmi sesama nelayan, melalui ritual adat budaya tersebut dapat menjaga kelestarian laut untuk diwariskan kepada anak cucu mereka.

"Setidaknya hari ini nelayan tidak melaut dan membiarkan ikan-ikan berkembang biak. Dalam acara ini kami juga mengevaluasi soal khanduri laot agar bisa dilakukan minimal setiap tahun satu kali," katanya.

Dalam khanduri adat laot ini, para nelayan setempat membawa sesajen berupa nasi pulut dan bahan tepung tawar dengan mengendarai kapal motor (boad) ke bibir muara Kuala Meureubo yang kemudian ditaruh ke dalam air oleh tokoh agama.

Rombongan kembali ke daratan di tepi pantai Suak Kuala Meureubo melakukan doa dan tahlil serta memberikan santunan kepada anak-anak keluarga nelayan yang telah yatim, terakhir dilanjutkan dengan acara diskusi bersama.

Dalam acara diskusi tersebut para nelayan menyampaikan persoalan utama yang dihadapi adalah masih maraknya beroperasi pukat trawl, meskipun sudah dilarang pemerintah secara tegas, namun tetap saja ada nelayan yang nekad.

"Makanya dalam acara ini, ada juga acara diskusi bersama kepala daerah dan instansi terkait membicarakan soal-soal kendala kami nelayan. Terutama sekali adalah masalah pukat trawl yang mengancam kelangsungan hidup keluarga kami nelayan kecil di pinggir pantai," sebutnya usai diskusi tersebut.

Abu Samah menyebutkan, aktivitas pukat trawl sudah sangat meresahkan karena sudah bermain pada jarak dibawah 2 mil menguras semua bibit-bibit ikan, kemudian speedboad kecil mereka terpaksa harus menempuh jarak 20 mil untuk mencari ikan.

Pendapatan mereka jauh berkurang selama pukat trawl merambah wilayah tangkapan speedboad berkapasitas 2-3 grosstone, dari biasanya mendapat pemasukan Rp150.000/hari, namun kondisi saat ini hanya Rp40.000-Rp50.000/harinya.

Sementara itu Bupati Aceh Barat H T Alaidinsyah menyampaikan, khanduri laot adalah warisan budaya lokal Aceh yang merupakan satu tradisi yang tidak boleh ditinggalkan oleh masyarakat nelayan sebagai salah satu bentuk kegiatan religius.

"Manfaatnya inikan sebagai salah satu rasa syukur, khanduri laot ini merupakan sebuah sarana silaturahmi dengan semua pihak terkait. Melalui kegiatan seperti ini kita mengetahui secara langsung apa kendala dan harapan dari nelayan," jelasnya.

Dalam pertemuan tersebut Alaidinsyah membawa pulang beberapa PR yang diharapkan oleh nelayan setempat, pertama adalah menyangkut ketegasan pemerintah terhadap pelarangan pukat trawl serta menata jalur sungai yang dilewati nelayan.

Alaidinsyah berjanji akan memanggil pihak instansi terkait terhadap laporan masyarakat nelayan yang disampaikan tidak direspons bahkan diabaikan, sehingga nelayan selama ini hanya berdiskusi secara sendiri-sendiri, seolah tidak ada pemerintah bersama mereka.

Pewarta: Anwar

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2016