Barisan Relawan Jalan Perubahan (Bara JP) mengapresiasi upaya dari Presiden Joko Widodo  memenuhi hak korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Indonesia.

Ketua DPP Bara JP M Adli Abdullah, Rabu, mengatakan  Presiden Jokowi telah meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial sebanyak 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia, di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh.

"Kita mendorong langkah awal ini berlanjut hingga semua korban pelanggaran HAM berat pada 12 peristiwa itu mendapat hak-haknya,” kata Adli saat dihubungi dari Banda Aceh, Rabu.

Baca juga: Presiden Jokowi: Masjid di Rumoh Geudong dibangun sesuai keinginan masyarakat

Ia menilai, langkah Presiden mengakui pelanggaran HAM berat dan melakukan program pemulihan merupakan upaya Jokowi untuk membebaskan beban sejarah pelanggaran HAM berat di masa lalu. 

Puluhan tahun beban sejarah dari peristiwa 1965 hingga tragedi Jambo Keupok di Aceh Selatan berdampak Indonesia terkurung dalam kemelut pelanggaran HAM berat. 

"Kini beban itu telah lepas dari pasungan pelanggaran HAM berat setelah mengakui  ada terjadinya peristiwa kekerasan kemanusiaan ini," katanya.


 

Menurut Adli, Jokowi memiliki nyali yang besar dengan mengambil langkah bahwa negara mengakui ada pelanggaran HAM berat di masa lalu. Karena dengan label ini, sejarah Indonesia terkurung sehingga menjadi beban sejarah di masa sekarang.

Tentu, kata dia, setelah pengakuan dari negara tersebut harus dilanjutkan dengan pemulihan hak-hak korban yang terjadi dari Aceh hingga ke Papua.

“Luka bangsa ini harus kita obati dan tidak boleh terjadi lagi di masa kini dan masa depan. Sebuah negara bisa maju jika tidak ada luka bangsa di masa lalu,” ujarnya.

Terkait digelar pengadilan HAM di Indonesia, kata dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh itu, dirinya sejalan dengan pernyataan Kepala Negara yang menekankan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat yang berkelanjutan. 

Sedangkan langkah yudisial, kata dia, tetap bisa dijalankan apabila terdapat bukti yang cukup kuat, tentu melalui prosedur yang telah ditetapkan. 

"Langkah yudisial itu apabila bukti-buktinya kuat, Komnas HAM menyampaikan ke Kejaksaan Agung, kemudian juga ada persetujuan dari DPR, baru itu bisa berjalan pengadilan HAM," ujarnya.

Baca juga: Presiden Jokowi berulang kali ingatkan DPR selesaikan RUU perampasan aset

Pewarta: Khalis Surry

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023