Pengadilan Tinggi (PT) Banda Aceh membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Simpang Tiga Redolong, Kabupaten Bener Meriah, terkait hak atas tanah yang berdiri bangunan sekolah dasar.
Humas PT Banda Aceh Taqwaddin di Banda Aceh, Kamis, mengatakan majelis banding membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama itu karena tanah yang menjadi sengketa tersebut sudah bersertifikat dan bukan atas nama penggugat.
"Majelis hakim berpendapat bahwa sebelumnya tanah yang menjadi objek sengketa merupakan tanah garapan dan bukan menjadi hak milik. Setelah tanah tidak digarap lagi, maka kembali menjadi tanah milik negara," katanya.
Baca juga: Kejati Aceh prioritaskan program sertifikat tanah wakaf
Adapun majelis hakim tinggi yang menyidangkan perkara perdata banding tersebut diketuai Nursyam serta didampingi Pandu Budiono dan Zulkifli, masing-masing sebagai hakim anggota.
Sebelum, penggugat atas nama Sunarti menggugat sejumlah pihak terkait kepemilikan tanah dengan luas 9.595 ribu meter persegi yang di atasnya bangunan SD Negeri 3 Reronga, Kecamatan Gajah Putih, Kabupaten Bener Meriah.
Dalam gugatannya, penggugat meminta tanah yang yang di atasnya dibangun sekolah dasar dikembalikan kepadanya berupa lahan kosong seperti semula. Serta membatalkan sertifikat atas tanah tersebut yang dikeluarkan pada 1988.
Kemudian, majelis hakim PN Simpang Tiga Redolong mengabulkan gugatan penggugat. Serta menyatakan tanah yang menjadi objek sengketa tersebut sah milik penggugat berdasarkan surat ganti rugi usaha tertanggal 23 Agustus 1977.
Taqwaddin mengatakan pertimbangan majelis hakim banding dalam putusannya menyatakan sertifikat tanah yang menjadi sengketa itu atas nama Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kemudian, pemerintah provinsi membangun sekolah dasar pada 1988.
Kemudian, dalam rentang waktu sejak sertifikat diterbitkan hingga gugatan diajukan, tidak ada sanggahan dari pihak manapun, termasuk penggugat. Oleh karena itu, majelis hakim berpendapat penggugat tidak memiliki hak atas tanah tersebut.
"Dari putusan ini dapat dipetik pelajaran bagi semua orang bahwa tanah tidak boleh ditelantarkan, tetapi harus dikuasai atau digarap baik secara de facto maupun de jure," kata Taqwaddin yang juga hakim tinggi ad hoc tindak pidana korupsi.
Baca juga: PN Bener Meriah eksekusi sebidang lahan sengketa
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023
Humas PT Banda Aceh Taqwaddin di Banda Aceh, Kamis, mengatakan majelis banding membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama itu karena tanah yang menjadi sengketa tersebut sudah bersertifikat dan bukan atas nama penggugat.
"Majelis hakim berpendapat bahwa sebelumnya tanah yang menjadi objek sengketa merupakan tanah garapan dan bukan menjadi hak milik. Setelah tanah tidak digarap lagi, maka kembali menjadi tanah milik negara," katanya.
Baca juga: Kejati Aceh prioritaskan program sertifikat tanah wakaf
Adapun majelis hakim tinggi yang menyidangkan perkara perdata banding tersebut diketuai Nursyam serta didampingi Pandu Budiono dan Zulkifli, masing-masing sebagai hakim anggota.
Sebelum, penggugat atas nama Sunarti menggugat sejumlah pihak terkait kepemilikan tanah dengan luas 9.595 ribu meter persegi yang di atasnya bangunan SD Negeri 3 Reronga, Kecamatan Gajah Putih, Kabupaten Bener Meriah.
Dalam gugatannya, penggugat meminta tanah yang yang di atasnya dibangun sekolah dasar dikembalikan kepadanya berupa lahan kosong seperti semula. Serta membatalkan sertifikat atas tanah tersebut yang dikeluarkan pada 1988.
Kemudian, majelis hakim PN Simpang Tiga Redolong mengabulkan gugatan penggugat. Serta menyatakan tanah yang menjadi objek sengketa tersebut sah milik penggugat berdasarkan surat ganti rugi usaha tertanggal 23 Agustus 1977.
Taqwaddin mengatakan pertimbangan majelis hakim banding dalam putusannya menyatakan sertifikat tanah yang menjadi sengketa itu atas nama Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kemudian, pemerintah provinsi membangun sekolah dasar pada 1988.
Kemudian, dalam rentang waktu sejak sertifikat diterbitkan hingga gugatan diajukan, tidak ada sanggahan dari pihak manapun, termasuk penggugat. Oleh karena itu, majelis hakim berpendapat penggugat tidak memiliki hak atas tanah tersebut.
"Dari putusan ini dapat dipetik pelajaran bagi semua orang bahwa tanah tidak boleh ditelantarkan, tetapi harus dikuasai atau digarap baik secara de facto maupun de jure," kata Taqwaddin yang juga hakim tinggi ad hoc tindak pidana korupsi.
Baca juga: PN Bener Meriah eksekusi sebidang lahan sengketa
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023