Direktur Eksekutif Apel Green Aceh, Rahmad Syukur, meminta  kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dan Pemerintah Aceh agar tidak menutup mata terkait persoalan tumpahan batu bara di sepanjang pantai Peunaga Rayeuk, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, yang saat ini kembali terjadi.

“Kami meminta agar Pemkab Aceh Barat dan Pemerintah Aceh segera menginvestigasi pencemaran yang terjadi akibat tumpahan batu bara di perairan Desa Peunaga Rayeuk secara serius,” kata Rahmat Syukur kepada ANTARA di Meulaboh, Kamis. 

Selama ini, kata Rahmat Syukur, pihaknya melihat tidak ada upaya serius dari pemerintah daerah untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan akibat tumpahan batu bara di laut khususnya di Kabupaten Aceh Barat.
 
Padahal, kata dia, pencemaran batu bara di laut berdampak besar pada biodiversitas di perairan tersebut. 

Oleh karena itu, kata Rahmat Syukur, Apel Green Aceh menilai DLHK Kabupaten Aceh Barat terkesan sangat tidak komprehensif terhadap kejadian tumpahan batubara. 

Pihaknya juga mempertanyakan tanggapan dari DLHK Aceh Barat yang menyebutkan tumpahan batu bara tidak merusak lingkungan, sehingga komentar tersebut patut dipertanyakan.

“Komentar tidak merusak lingkungan itu atas dasar apa, apakah atas  hasil dari penyelidikan atau hasil laboratorium? kalau benar, tolong sampaikan ke publik temuan tersebut. Sebab sampai saat ini kita tidak pernah melihat dinas mempublikasikan nya,” kata Rahmat Syukur.

Baca juga: DLHK: Tumpahan batu bara di laut Aceh Barat tanggung jawab perusahaan
 
Dengan adanya kejadian berulang, Apel Green Aceh  melihat upaya pemerintah Aceh Barat dan Pemerintah Aceh hanya sebatas seremonial belaka tanpa diikuti ketegasan berupa pemberian sanksi maupun pencabutan izin.
 
Apel Green Aceh  berharap pemerintah di segala level agar lebih serius lagi dalam menindak pelaku pencemaran perairan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat. 

 
Warga mengumpulkan material batu bara yang kembali tumpah di pesisir pantai di kawasan Desa Peunaga Rayeuk, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Kamis (11/1/2024). (ANTARA/HO)


Ada pun upaya cuci tangan dengan melibatkan masyarakat sebagai pengumpul batu bara yang dihargai Rp 20 ribu per karung, hal itu sebagai upaya 'pembungkaman' terhadap nalar kritis masyarakat. 

“Uang tersebut tak sebanding dengan kerusakan yang tercipta dan menyebabkan pelaku terhindar dari tindakan yang semestinya, yaitu bertanggung jawab membersihkan secara tuntas dan melakukan pemulihan ekosistem,” kata Rahmat Syukur.
 
Bukan tanggung jawab Pemkab

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Aceh Barat, Bukhari yang dikonfirmasi terpisah di Meulaboh, Kamis sore mengatakan kasus tumpahan berulang batu bara di pesisir setempat telah ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku.

“Masalah ini sudah kami laporkan kepada Pemerintah Aceh dalam hal ini DLHK Provinsi Aceh,” kata Bukhari.

Menurutnya, persoalan tumpahan batu bara di pesisir pantai di Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat menjadi perhatian serius pemerintah daerah.

Meski terus terjadi kasus berulang, Bukhari menegaskan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat sejak tahun 2020 lalu, tidak lagi memiliki kewenangan untuk memberi sanksi kepada perusahaan tambang batu bara atas masalah lingkungan yang ditimbulkan

“Semua kewenangan penindakan atau pemberian sanksi, semua ada di provinsi. Kewenangan kabupaten hanya sebatas memberikan laporan,” kata Bukhari menambahkan.

Ia menjelaskan, semua material batu bara yang tumpah tersebut saat ini telah mulai dibersihkan oleh masyarakat, dan dibayar seharga Rp20 ribu per karungnya oleh perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di Kabupaten Aceh Barat, demikian Bukhari.

Baca juga: Tumpahan batu bara di laut Aceh Barat akibat terbalik kapal tongkang

Pewarta: Teuku Dedi Iskandar

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024