Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Aceh merekomendasikan empat program utama yang sangat penting untuk dilaksanakan dengan baik, dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan di provinsi paling barat Indonesia itu.
Kepala Bank Indonesia Aceh Rony Widijarto di Banda Aceh, Selasa, mengatakan untuk menjadikan daerah Tanah Rencong itu sebagai daerah produsen pertanian yang menerapkan pertanian modern dan perekonomian sirkular, maka secara garis besar harus ada empat program utama.
“Yaitu kemandirian pupuk di tingkat petani, kemandirian bibit di tingkat produsen, informasi scheduling tanam, dan penyimpanan,” kata Rony.
Hal itu disampaikan dalam laporan perekonomian Aceh, sebagai rekomendasi kebijakan bagi Pemerintah Aceh guna mendorong pertumbuhan ekonomi di provinsi berjulukan daerah Serambi Mekkah itu di masa akan datang.
Ia menjelaskan, untuk kemandirian pupuk di tingkat petani dilakukan melalui pengembangan pupuk organik mandiri untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Tentu dibutuhkan kapasitas standarisasi dan legalitas yang cukup serta mumpuni untuk pengembangannya.
“Salah satu contoh implementasinya melalui pengembangan pupuk dengan dekomposer,” ujarnya.
Kemudian, program kemandirian bibit. Salah satu contohnya seperti bibit cabai merah keriting (CMK) yang dikenal dengan udeng atau odeng, serta cabai merah varietas Bemeri yakni varietas cabai lokal unggul asal Bener Meriah.
Namun, kata dia, permasalahan yang muncul dalam proses pembibitan varietas lokal itu ialah masih sangat minim petani yang mau melakukan budidaya, serta kualitas bibit juga masih kurang baik.
“Sehingga masih perlu dilakukan pemuliaan tanaman agar konsistensi bibit yang dihasilkan sesuai standar dan berkualitas,” ujarnya.
Tentu, lanjut dia, Kementerian Pertanian dapat membantu proses pengembangan, sertifikasi, dan perizinan dari pemuliaan bibit lokal, sehingga langkah upaya tersebut akan mengurangi ketergantungan Aceh terhadap pasokan bibit dari luar daerah.
“Begitu pun untuk program kemandirian pupuk. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pupuk NPK yang mana bahan dasar Urea-nya sangat bergantung dari impor,” ujarnya.
Sedangkan untuk informasi penjadwalan tanam (scheduling), menurut dia harus dilakukan dengan menghubungkan informasi antara pedagang besar yang mengendalikan pasar, dengan pedagang pengepul di daerah pertanian yang menjadi pemasok komoditas.
“Selanjutnya, pedagang pengepul meneruskan informasi tersebut ke para petani untuk dilakukan menyesuaikan pola tanam sesuai dengan kebutuhan pasar,” ujarnya.
Program selanjutnya, kata Rony, juga sangat penting yaitu penyimpanan, khususnya bagi komoditas pangan yang perlu didukung cold supply chain atau wadah untuk mempertahankan hasil panen komoditas pertanian.
“Buffer stock yang ada saat ini dapat digunakan untuk mempertahankan dan menyeimbangkan jumlah pasokan dan kebutuhan di pasar. Informasi tersebut juga dapat digunakan untuk menghitung jumlah pasokan yang dapat dijual ke luar daerah sebagai bentuk kerjasama antar daerah,” ujarnya.
Baca juga: Pj Bupati ajak BI kembangkan ekonomi Aceh Besar
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024
Kepala Bank Indonesia Aceh Rony Widijarto di Banda Aceh, Selasa, mengatakan untuk menjadikan daerah Tanah Rencong itu sebagai daerah produsen pertanian yang menerapkan pertanian modern dan perekonomian sirkular, maka secara garis besar harus ada empat program utama.
“Yaitu kemandirian pupuk di tingkat petani, kemandirian bibit di tingkat produsen, informasi scheduling tanam, dan penyimpanan,” kata Rony.
Hal itu disampaikan dalam laporan perekonomian Aceh, sebagai rekomendasi kebijakan bagi Pemerintah Aceh guna mendorong pertumbuhan ekonomi di provinsi berjulukan daerah Serambi Mekkah itu di masa akan datang.
Ia menjelaskan, untuk kemandirian pupuk di tingkat petani dilakukan melalui pengembangan pupuk organik mandiri untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Tentu dibutuhkan kapasitas standarisasi dan legalitas yang cukup serta mumpuni untuk pengembangannya.
“Salah satu contoh implementasinya melalui pengembangan pupuk dengan dekomposer,” ujarnya.
Kemudian, program kemandirian bibit. Salah satu contohnya seperti bibit cabai merah keriting (CMK) yang dikenal dengan udeng atau odeng, serta cabai merah varietas Bemeri yakni varietas cabai lokal unggul asal Bener Meriah.
Namun, kata dia, permasalahan yang muncul dalam proses pembibitan varietas lokal itu ialah masih sangat minim petani yang mau melakukan budidaya, serta kualitas bibit juga masih kurang baik.
“Sehingga masih perlu dilakukan pemuliaan tanaman agar konsistensi bibit yang dihasilkan sesuai standar dan berkualitas,” ujarnya.
Tentu, lanjut dia, Kementerian Pertanian dapat membantu proses pengembangan, sertifikasi, dan perizinan dari pemuliaan bibit lokal, sehingga langkah upaya tersebut akan mengurangi ketergantungan Aceh terhadap pasokan bibit dari luar daerah.
“Begitu pun untuk program kemandirian pupuk. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pupuk NPK yang mana bahan dasar Urea-nya sangat bergantung dari impor,” ujarnya.
Sedangkan untuk informasi penjadwalan tanam (scheduling), menurut dia harus dilakukan dengan menghubungkan informasi antara pedagang besar yang mengendalikan pasar, dengan pedagang pengepul di daerah pertanian yang menjadi pemasok komoditas.
“Selanjutnya, pedagang pengepul meneruskan informasi tersebut ke para petani untuk dilakukan menyesuaikan pola tanam sesuai dengan kebutuhan pasar,” ujarnya.
Program selanjutnya, kata Rony, juga sangat penting yaitu penyimpanan, khususnya bagi komoditas pangan yang perlu didukung cold supply chain atau wadah untuk mempertahankan hasil panen komoditas pertanian.
“Buffer stock yang ada saat ini dapat digunakan untuk mempertahankan dan menyeimbangkan jumlah pasokan dan kebutuhan di pasar. Informasi tersebut juga dapat digunakan untuk menghitung jumlah pasokan yang dapat dijual ke luar daerah sebagai bentuk kerjasama antar daerah,” ujarnya.
Baca juga: Pj Bupati ajak BI kembangkan ekonomi Aceh Besar
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024