Bank Indonesia Provinsi Aceh mendorong agar Pemerintah Provinsi Aceh mulai melakukan hilirisasi untuk peningkatan nilai tambah dari sektor pertanian, dalam upaya memberi dampak lebih besar pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

“Nilai tambah di Aceh masih bisa didorong, terutama dari pertanian yang sangat besar, dengan berbagai upaya baik produksi maupun pasca panen,” kata Kepala Bank Indonesia Aceh Rony Widijarto di Banda Aceh, Jumat.

Ia menjelaskan hilirisasi pertanian menjadi sangat penting lantaran perekonomian Aceh mayoritas masih ditopang oleh sektor pertanian. Selain itu, pertanian juga merupakan sektor yang inklusif sehingga dapat memiliki efek ganda (multiplier effect) yang lebih tinggi.

Seperti sektor pangan, kata dia, luas panen padi secara keseluruhan di Sumatera terus menurun, termasuk di Aceh. Kendati demikian, mekanisasi dan produktivitas Aceh merupakan yang terbaik dibanding provinsi lain di Sumatera. 

Pengembangan sektor pertanian dapat ditempuh melalui pertanian empat kali panen dalam setahun atau Indeks Pertanaman (IP) 400 untuk meningkatkan produktivitas, serta pengembangan Rice Milling Unit (RMU) menjadi skala lebih besar. 

“Pengembangan RMU Besar dapat menjadi potensi besar guna menyerap hasil produksi padi Aceh sehingga tidak terserap oleh daerah lain,” ujarnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat total produksi padi Aceh pada 2023 mencapai 1,4 juta ton, sehingga membuat Aceh menjadi daerah surplus produksi padi setiap tahun.

Namun, kata Rony, gabah tersebut umumnya dikirim ke luar daerah Aceh, salah satunya seperti Provinsi Sumatera Utara untuk diolah menjadi beras dengan kualitas yang sangat baik. Kemudian beras tersebut dibeli lagi oleh Aceh dengan harga mahal.

Padahal, menurut Rony, Aceh sudah harus mulai untuk melakukan peningkatan nilai tambah dari produksi gabah tersebut dengan menggiling sendiri menggunakan RMU dengan skala besar.

“Artinya dari sisi produksi masih memungkinkan untuk meningkatkan nilai tambah. Jadi bagaimana mengolah dari gabah menjadi beras. Ini perlu upaya meningkatkan nilai tambahnya dengan RMU, secara terbaik,” ujarnya.

Saat ini, kata Rony, terdapat 1.336 unit RMU di Aceh, namun dengan skala yang kecil. Dengan minimnya kapasitas RMU untuk mengolah gabah kering giling menjadi beras, sehingga membuat banyak gabah Aceh dikirim ke luar daerah.

Karena itu, perlu adanya penguatan kapasitas RMU kecil melalui kemitraan dengan korporasi besar atau Bulog untuk mempermudah analisis kredit perbankan agar berkembang menjadi RMU menengah.

“Kalau adanya gabah basah terus ada RMU yang baik disini mengolah gabah menjadi beras kualitas baik, maka akan meningkatkan nilai tambah dan menambah pemasukan. Karena produksi beras itu benar-benar dibutuhkan provinsi lain, jadi kita harus menjual dalam bentuk beras, jangan hanya menjual dalam bentuk gabah,” ujarnya.

Baca juga: Bank Indonesia catat 1,39 juta transaksi QRIS di Aceh pada awal tahun

Pewarta: Khalis Surry

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024