Keputusan Murhaban bin Kaderi untuk membantu sang ayah, berakhir di penjara. Ayah dari sepasang putri kembar yang baru berusia satu tahun itu menjual kulit serta bagian tubuh satwa liar dilindungi Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae). Mereka ditangkap tim Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh di Desa Tualang, Peureulak, Aceh Timur pada Januari 2024 lalu.

Ayah kandung Murhaban, yaitu Kaderi bin alm Husen, merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di Kantor Camat Serbajadi, Aceh Timur. Dia pun terancam dipecat jika di pengadilan terbukti melakukan kejahatan perdagangan satwa liar dilindungi.

Saat ini, kasus mereka telah dihadapkan ke meja hijau. Pada akhir Maret lalu, kedua terdakwa menjalani persidangan perdana secara virtual dengan majelis hakim diketuai Dikdik Haryadi serta didampingi hakim anggotanya di Pengadilan Negeri (PN) Idi. Sedangkan kedua terdakwa mengikuti persidangan dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Idi, Kabupaten Aceh Timur, tempatnya selama ini ditahan.

Baca juga: Walhi catat 23 interaksi negatif satwa lindung di Aceh Timur

Diberhentikan Sementara

Kepala Bidang Penilaian Kinerja Aparatur dan Penghargaan pada Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Aceh Timur, Rudi Rinaldi, mengatakan status kepegawaian Kaderi sudah diberhentikan sementara sebagai PNS.

"Statusnya sudah diberhentikan sementara sejak tanggal penahanannya dalam surat penahanan yang ditetapkan oleh pihak yang berwajib,"kata Rudi Rinaldi di Aceh Timur, Kamis.

Namun jika ASN tersebut tidak terbukti melakukan tindak pidana, kata dia, maka surat keputusan pemberhentian sementara dicabut, dan hak-hak kepegawaiannya selama pemberhentian sementara dibayarkan kembali.

"Kalau terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara paling singkat 2 tahun, baru diberhentikan. Tergantung putusan hakim, berapa tahun penjaranya. Tapi kalau seperti tindak pidana korupsi dan penggunaan narkotika, maka dapat langsung diberhentikan secara tidak hormat," kata Rudi Rinaldi.

Kronologis

Dalam dakwaanya, perbuatan kedua terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dan d Jo. Pasal 40 ayat (2) Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Kejadian bermula pada awal November 2023 saat Kaderi bertemu dengan Aman Kasran alias Adi yang saat ini masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) di Jalan Desa Rampak, Serbajadi, Aceh Timur. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Timur, Ricky Rosiwa mengatakan, Kaderi diminta dan diberi uang oleh Adi untuk membeli kawat sling 15 meter yang dibeli di Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, untuk menjerat Harimau Sumatera di hutan belantara Lokop, Aceh Timur.

Selanjutnya pada 2 Januari 2024, Kaderi dan Adi kembali bertemu di dekat rumah Adi. Saat itu kulit dan tulang belulang serta tengkorak Harimau Sumatera sudah ada di rumahnya. Adi lantas meminta kepada Kaderi untuk mencarikan pembelinya. Selanjutnya, Kaderi mendatangi rumah Adi untuk melihat dan mengambil beberapa gambar agar bisa diperlihatkan kepada calon pembeli.

Baca juga: Polda Aceh ungkap kronologi perdagangan kulit harimau sumatra
 

Berselang beberapa hari kemudian, Adi kembali menghubungi Kaderi dan memintanya untuk mengantarkan ‘barang tersebut’ kepada calon pembeli di pasar Peureulak, Aceh Timur dengan harga Rp33 juta. Dari harga tersebut, Kaderi menerima upah sebesar Rp2,5 juta. 

Karena perjalanan yang terbilang cukup jauh, Kaderi lantas mengajak sang anak, yakni terdakwa II (Murhaban), untuk ikut pergi bersamanya ke lokasi pertemuan dengan calon pembeli. Lalu berangkatlah keduanya menggunakan mobil Toyota Avanza warna Hitam BK 1316 VQ milik KDR. Sesampainya di tengah jalan Lokop-Peureulak, Murhaban disuruh menepi sebentar.

Lalu Kaderi keluar dari mobil dan masuk ke semak-semak. Beberapa menit kemudian Kaderi keluar dari semak-semak sambil membawakan tas ransel warna hitam dan karung warna putih yang berisikan kulit dan tulang berulang Harimau dan dimasukkan ke dalam bagasi belakang mobil.

Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan ke pasar Peureulak. Di perjalanan, Murhaban sempat bertanya kepada Ayahnya mengenai isi tas ransel warna hitam dan karung warna putih yang dibawa mereka. “Isi tas ransel warna hitam dan karung warna putih adalah kulit dan tulang belulang Harimau,” jawab Kaderi singkat.

Sesampainya di pasar baru Peureulak, kedua pelaku berhenti dan keluar dari mobil. Kaderi pergi menjumpai calon pembeli sedangkan Murhaban duduk di warung kopi sambil minum kopi. Tak lama kemudian, Kaderi menelepon Murhaban dan memintanya untuk pergi ke belakang Pasar Baru di pajak ikan membawa mobil sekaligus ‘barang’ yang ada di mobil. Sesampainya di lokasi, keduanya langsung diamankan polisi.

Membantu Sang Ayah

Kedua terdakwa kembali menjalani persidangan pada Rabu (3/4) dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota keberatan terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum kepada kedua terdakwa.
Dalam pembacaan eksepsi, Abass S. Rachman selaku kuasa hukum kedua terdakwa menyampaikan keberatannya atas dakwaan terhadap terdakwa ll (Murhaban). Karena secara kronologis, keterlibatan Murhaban hanya membantu mengendarai mobil atas permintaan ayahnya.

Apalagi ayahnya tersebut tidak bisa menyetir jauh karena kemampuan masalah penglihatannya dan mengandalkan alat bantu berupa kaca mata. Majelis Hakim diminta bisa membebaskan Murhaban dari segala dakwaan, memulihkan harta martabat dan nama baik terdakwa II. Namun, majelis hakim menolaknya.

Baca juga: Harimau sumatera masuk perangkap di Aceh Selatan
4 Kasus; 10 Terdakwa, 1 Gajah & 5 Harimau

Kepala Kejari Aceh Timur, Lukman Hakim melalui Kepala Seksi Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan (PB3R), Deby Rinaldy mengatakan, sejak 2021 hingga 2024 pihaknya telah menuntut tiga kasus perburuan dan kematian satwa liar dilindungi, baik Gajah Sumatera maupun Harimau Sumatera, serta satu kasus Harimau Sumatera yang saat ini sedang berjalan.

Dalam kasus itu, para pelaku dituntut bervariasi seperti 5 pelaku dalam kasus pembunuhan Gajah Sumatera yang ditemukan tanpa kepala di areal PT Bumi Flora dengan tuntutan masing-masing 54 bulan atau 4 tahun 6 bulan penjara pada tahun 2021. Namun, vonis hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim hanya 3 tahun 6 bulan penjara.

“Barang bukti organ tubuh berupa gading gajah, baik yang telah diolah menjadi aksesoris maupun yang belum, telah diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh,” kata Deby Rinaldy.

Sementara pada 2022, dua terdakwa pemburu babi asal Sumatera Utara atas kasus kematian tiga Harimau Sumatera akibat terjerat dengan hukuman masing-masing 2 tahun enam 6 bulan penjara. Namun, majelis hakim menjatuhkan vonis 16 bulan penjara dan kembali diperberat oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh menjadi 2 tahun 6 bulan penjara.

“Untuk barang bukti 3 bangkai Harimau langsung di kubur di lokasi karena sudah membusuk. Hanya beberapa helai bulu burung kuau raja dan dua alat penjerat seling/areng dalam keadaan rusak yang hanya dijadikan barang bukti lainnya dalam persidangan,” katanya.

Kemudian pada 2023, Kejari Aceh Timur juga menuntut pembunuh Harimau Sumatera dengan cara menaburkan racun hama ke bangkai kambing yang dimangsa dengan tuntutan 2 tahun 6 bulan penjara. Sedangkan vonis majelis hakim 1 tahun 8 bulan penjara.

"Untuk barang buktinya, dua hari setelah ditemukan mati langsung diambil BKSDA Aceh untuk dimusnahkan dengan cara dibakar dan dikubur. Walaupun saat itu belum diketahui apa penyebab matinya. Yang dibawa polisi sebagai barang bukti dalam persidangan hanya satu kantong plastik berwarna putih yang berisikan racun hama merek curater," kata dia.

Minim Informasi

Pegiat lingkungan hidup dari Yayasan Hutan, Alam dan lingkungan Aceh (HAkA), Nurul Ikhsan mengatakan, sejauh ini pihaknya tidak mendapat informasi yang cukup bagaimana pengelolaan Barang Bukti Tindak Pidana Lingkungan Hidup Kehutanan (TPLHK) dilaksanakan, terutama setelah ada putusan dari pengadilan, apakah telah sesuai dengan prosedur atau tidak.

Ikhsan menambahkan, banyak informasi yang harus mendapat konfirmasi/penjelasan dari pihak terkait. Misalnya, ada bagian satwa lidung yang diserahkan ke lembaga konservasi yang ‘terpaksa’ kemudian harus dimusnahkan.

Sementara pada amar vonis Pengadilan, barang bukti tersebut tidak untuk dimusnahkan; atau bagaimana kondisi satwa pada masa proses rehabilitasi sebelum dikembalikan ke habitatnya, maka dari itu hal-hal seperti ini publik berhak untuk tau.

“Lembaga konservasi dan atau lembaga terkait lainnya yang diserahkan untuk mengelola barang bukti harus lebih terbuka, termasuk tentang bagaimana kapasitas yang dimilki. Jadi tidak hanya asal terima, sementara fasilitas serta sumber daya tidak mendukung. Kami berharap pengelolaan barang bukti TPLHK harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah dengan menyediakan fasilitas yang memadai termasuk alokasi dana yang cukup mengingat ini adalah aset negara yang penting," katanya.

Baca juga: BKSDA musnahkan bangkai harimau yang mati diduga diracun di kebun warga Aceh Timur

Tanggapan BKSDA

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Ujang Wisnu Barata memberikan tanggapannya terkait teknis dan tata cara pengelolaan barang bukti yang selama ini dilakukan oleh BKSDA Aceh.

Ujang menyebut, segala jenis barang bukti diperlakukan secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat  (1) dan (2) UU No.5/1990 yang berbunyi: “Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara, harus dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dari satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan”.

“Segala sesuatu yang menjadi barang rampasan negara, dari berbagai macam bentuk, untuk mengambilnya kita mendapat surat undangan, kemudian dijemput dengan berita acara serah terima kemudian kita bawa ke Balai. Tetapi ada juga yang diserahkan langsung ke BKSDA,” katanya.

Dikatakan dia, dari 51 kasus TPLHK yang terjadi sepanjang 2019-2023 dan diterima BKSDA Aceh, barang bukti dari kasus-kasus tersebut ada yang langsung dimusnahkan setelah mendapat ketetapan hukum. Namun ada juga yang disimpan dengan baik di BKSDA Aceh serta ada juga yang dititip ke sejumlah lembaga seperti sejumlah burung yang dititip ke Taman Rusa Aceh Besar.

Kemudian ada barang bukti berupa Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) yang diditipkan ke Pusat Karantina Orangutan di Sibolangit, Sumatera Utara dan kerangka Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) yang diserahkan sebagai bagian edukasi ke Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

“Ada juga beberapa satwa dilindungi yang mati seperti 2 ekor bayi Kucing Kuwuk (Rimung Buloh) yang diamankan di Aceh Besar (2019) dan Owa Siamang yang diamankan di Bireuen (2020). Matinya itu karena luka dan terkena penyakit,” kata Ujang Wisnu Barata. [RM/ZA]


** Tulisan ini hasil liputan kolaboratif wartawan Hayaturrahmah dengan dukungan Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh & Forum Jurnalis Lingkungan. Isi konten dan konsekuensi bukan tanggung jawab redaksi ANTARA.

Baca juga: Harimau dilaporkan menyerang ternak warga

Pewarta: Hayaturrahmah

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024