Fitri (29), warga Gampong Naga Umbang, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, terpaksa mandi sehari sekali sebab keran air di rumahnya berhenti mengeluarkan air terutama saat musim kemarau.

Tidak cuma mandi sekali, perempuan yang tengah mengandung buah hati pertamanya tersebut juga akhirnya terpaksa menyerahkan urusan membersihkan pakaian kotor ke penatu (laundry) sebagai siasat menghemat air. 

Krisis air bersih itu sudah dialami Fitri selama tujuh tahun terakhir tepatnya mulai tahun 2017. Sejak saat itu, air keran di rumahnya hanya mengalir selama musim hujan saja. Padahal, sebelumnya bisa mengalir lancar hingga memasuki musim kemarau. 

“Kalau sekarang musim hujan mengalir cuma bertahan sebentar saja. Bak belum penuh, air sudah mati. Bukan pelan-pelan habis (red-debit airnya), tapi kayak ditutup,” kata Fitri. 

Baca juga: PDAM distribusi air bersih dengan mobil tangki atasi kekeringan Aceh Besar

Sejak saat itu pula, air sumurnya mudah sekali menyusut saat musim kemarau. Kalau ada air pun, warnanya tidak lagi jernih, sudah menguning, keruh, dan berbau tidak sedap. Apabila mencuci baju, noda kuningnya dapat menempel dan kemudian mengubah warna baju yang dicuci. 

Selain noda kuningnya, air sumur ini bila digunakan terutama kepada anak-anak dapat menyebabkan timbul biang keringat hingga gatal-gatal. Kejadian seperti ini dirasakan oleh hampir semua anak-anak warga Gampong Naga Umbang. 

“Kalau ke rumah sakit dokter bilang ini karena air. Cuma kayak mana ya kita kekurangan air. Ketika anak-anak sudah gatal, kemudian tidak mau makan dan tidak naik berat badan,” ujarnya.

Selama ini, untuk mencukupi kebutuhan air, Fitri dan warga gampong lainnya mengambil dari sumur bor yang berada di pos kuari milik perusahaan semen di gampong setempat. 

Mereka tidak perlu membayar untuk air yang diambil, hanya saja aksesnya sulit, tidak bisa mengambil sesuka hati karena ada jam kerja yang berlaku. 

“Kadang-kadang kami ambil di situ. Sekarang cuma bisa ambil sore hari saja setelah jam kerja,” katanya. 

Belakangan warga gampong Naga Umbang mendapatkan air gratis dari seseorang yang dikabarkan akan maju sebagai calon Bupati Aceh Besar. 

Air tersebut ditampung di Dayah Sirajul Huda Aceh yang berlokasi di gampong Naga Umbang. Untuk mengambil air tampungan itu, warga harus mengajukan jumlahnya terlebih dahulu ke pemilik dayah. 

Namun, suplai air dari derma calon bupati itu tidak menentu jadwalnya, terkadang dalam seminggu selama hari kerja hanya masuk dua kali. 

Kecuali, hari Sabtu dan Minggu jadwal suplai air diliburkan. Fitri biasanya menyiapkan sebanyak 14 jeriken untuk menampung suplai air yang terdapat di dayah. 

“Cuma airnya sebenarnya tidak fresh (red-segar) ya karena dimasukin jeriken menjadi panas,” ujarnya. 

Baca juga: ESDM: Kekeringan di Lhoknga akibat rendahnya curah hujan

Krisis air bukan hanya dialami Fitri, rata-rata masyarakat Gampong Naga Umbang juga merasakan. Seperti halnya Suarni (39), keran yang mengalirkan air dari PDAM mati sepanjang musim kemarau. Walaupun musim hujan, aliran air hanya bertahan selama dua hari saja. 

Sementara sumur miliknya sudah lama di cor untuk pembangunan jalan. Beruntung, dekat rumah Suarni ada sumur tua yang airnya belum pernah kering serta juga tidak keruh dan berbau. Ia biasa mengangkut air dari sana. 

Namun, bila sewaktu-waktu ada yang membangun rumah di kawasan sumur tua tersebut. Maka, Suarni tidak punya lagi akses untuk mendapatkan air bersih. Ingin membuat sumur bor, tetapi tidak punya biaya. 

“Selama ini ambil air dari sumur tua di sana. Tapi, kalau di situ sudah ada yang membangun rumah. Tidak bisa ambil lagi. Ada rencana bangun sumur bor tapi tidak punya uang,” katanya. 

Hal senada juga disampaikan Hayatun Nufus (26), warga di Naga Umbang juga merasakan sulitnya mendapatkan air bersih sejak tahun 2017. 

Sumur di rumahnya memang belum pernah mengalami kekeringan dan layak dipakai, tetapi air sumur tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan aliran air dari PDAM sudah tidak lagi bisa diharapkan.

“PDAM cuma supply air saja itu pun tidak menentu. Kalau kemarau seperti ini, PDAM pun tidak bisa diandalkan. Kalau hujan ada air, kalau tidak ya kering,” kata perempuan yang akrab dipanggil Ayu. 

Dia terbilang beruntung masih bisa mendapatkan air bersih dari sumur, sebab beberapa sumur warga di Naga Umbang lainnya sama sekali tidak layak dipakai karena airnya keruh dan berbau. 

“Kalau di sini ada air, tapi kalau di ujung sana berkali kali di bor tidak dapat air. Sudah tiga kali di bor airnya kuning berminyak di lokasi yang berbeda,” ujarnya.  

Ayu tidak mengetahui pasti mengapa sejak saat itu sulit sekali mendapatkan air bersih di Naga Umbang. Padahal, gampong ini berada dekat dengan sumber air di Pucok Krueng. hanya saja belum ada alat yang bisa mengairi airnya untuk masyarakat gampong.

Di sisi lain, sebagai upaya mengatasi krisis air bersih di wilayah Lhoknga, PDAM Tirta Mountala Aceh Besar kerap mendistribusikan air bersih untuk warga di kawasan tersebut yang kesulitan air bersih karena dampak kemarau.

Direktur Utama PDAM Tirta Mountala menyampaikan penyebab krisis air bersih yang dialami oleh warga Kecamatan Lhoknga karena debit air di SPAM Mata Ie, tidak mencukupi lagi untuk disalurkan ke wilayah tersebut. Kapasitasnya hanya 160 liter per detik.
 
Air di rumah warga Gampong Naga Umbang yang berwarna kuning dan berbau, di Aceh Besar, Selasa (4/6/2024) (ANTARA/Nurul Hasanah)





Krisis air, diduga akibat eksploitasi tambang

Warga Gampong Naga Umbang, Yeni Hartini, menyebutkan krisis air di gampong nya sudah mulai terjadi sejak tahun 2014. Puncaknya, pada 2019 krisis berat dialami masyarakat sampai harus membeli air, atau mengangkut air dari sumber-sumber yang ada, sedangkan pada saat itu sumber aliran air PDAM Mata Ie mengalami kekeringan. 

Perempuan yang juga dipercaya sebagai Koordinator Program Solidaritas Perempuan Bungong Jeumpa Aceh ini menduga permasalahan air sumur masyarakat terjadi akibat proses eksploitasi tambang batu gamping oleh PT Solusi Bangun Andalas (SBA).

Eksploitasi batuan gamping di wilayah Naga Umbang itu, menurutnya menyebabkan air sumur warga menjadi keruh, bau, dan perlahan debit airnya menyusut hingga mengering tidak lagi menyisakan air. 

“Sampai hari ini air tanah kering sehingga hujan pun debit air sumur tidak bertambah drastis, dulu kalau hujan cepat bertambah air sumur. Jadi, kalau menurut kami ada kaitannya dengan eksploitasi tambang ditambah lagi dengan perubahan iklim,” kata Yeni.

Dirinya menuturkan, berdasarkan amanat masyarakat, perubahan alam hingga menyebabkan krisis air tersebut kuat dugaan akibat aktivitas pertambangan yang merusak wilayah karst, yakni kawasan penyimpanan air yang memiliki ciri khas batuan limestone (gamping/kapur) dan memiliki banyak goa. 

“Meskipun rilis dari Dinas ESDM menyatakan tidak ada hubungan saluran air Naga Umbang dengan perusahaan. Tapi, masyarakat lokal sendiri yang melakukan pengamatan, perubahan sampai terjadi krisis air itu karena faktor pertambangan yang merusak kawasan karst,” katanya. 

Terkait dugaan tersebut, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh pernah mengeluarkan pernyataan tentang kajian hidrogeologi dan hidrometeorologi terhadap fenomena kekeringan yang melanda daerah karst Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar.

Dalam rilis itu disebutkan, bahwa aktivitas penambangan PT SBA tidak berkaitan dengan penyebab kekeringan beberapa sumber air di wilayah Lhoknga.

Di mana, berdasarkan kajian hidrogeologis yang dilakukan, disampaikan zona resapan aliran Pucok Krueng, berbeda dengan zona resapan lokasi PT SBA yang arah aliran air tanahnya menuju ke Barat atau laut.

“Diketahui juga bahwa pemakaian air permukaan oleh PT SBA saat ini mengutamakan sumber air yang berasal dari pengumpulan air hujan berupa embung,” kata Kadis ESDM Aceh, Mahdinur, dalam rilis yang diterima dari Humas PT SBA, Kamis (6/6) lalu. 

General Manager SBA, Mochamad Anwar Bekti, dalam rilis itu juga menyampaikan bahwa sumber air baku pabrik hanya menggunakan air limpasan hujan yang tertampung pada kolam settling pond di area kuari batu gamping. 


Baca juga: PDAM Tirta Mountala salurkan 96 ton air bersih di daerah krisis air

Pewarta: Nurul Hasanah

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024