Kejaksaan Negeri Bireuen, Aceh, menyatakan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Agung (Jampidum) menyetujui penghentian penuntutan perkara penganiayaan berdasarkan keadilan restoratif atau restorative justice (RJ).

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bireuen Munawal Hadi di Bireuen, Kamis, mengatakan penghentian penuntutan perkara penganiayaan tersebut setelah para pihak berdamai.

"Perkara penganiayaan tersebut dengan tiga tersangka. Penghentian penuntutan perkara penganiayaan tersebut setelah korban dengan para tersangka berdamai. Para tersangka juga berjanji tidak mengulangi perbuatannya," kata Munawal Hadi.

Adapun tiga terdalam perkara penganiayaan tersebut yakni RR, S, dan J. Sedangkan korban berinisial HM. Penganiayaan terjadi di sebuah kebun di Gampong Blang Tingkeuem, Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, pada 6 Mei 2024.

Kejadian berawal saat korban HM memanjat pohon cokelat di kebun tersebut. Tiba-tiba, RR menarik kaki korban sambil berteriak "pencuri". Selanjutnya, RR mengikat korban di batang pohon. RR bersama S, dan J yang ada di kebun tersebut memukuli HM yang terikat di pohon.

Akibat pemukulan tersebut, korban mengalami bengkak di dahi, bibir, dada, serta bagian tubuh lainnya. Korban juga mengalami luka di leher dan dada. Berdasarkan hasil visum et repertum, bengkak tersebut karena benda tumpul. Perbuatan ketiga pelaku melanggar Pasal 351 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Munawal Hadi menyebutkan jaksa fasilitator Kejaksaan Negeri Bireuen melakukan upaya perdamaian. Akhirnya, para pihak sepakat berdamai. Dari perdamaian tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

"Dengan disetujui penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif, selanjutnya jaksa penuntut umum menerbitkan surat penetapan sebagai perwujudan kepastian hukum," kata Munawal Hadi menyebutkan.

Ia mengatakan penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif merupakan tindak lanjut program Jaksa Agung, di mana penyelesaian sebuah perkara tidak harus melalui proses peradilan atau persidangan di pengadilan.

Adapun syarat penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif yakni pelaku dan korban sudah berdamai. Pelaku membuat pernyataan tidak mengulangi perbuatannya dam korban tidak akan menuntut.

Pelaku baru pertama melakukan tindak pidana atau bukan residivis atau orang yang pernah dipidana. Serta perdamaian para pihak juga harus disaksikan para tokoh masyarakat dan keluarga korban.

Penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh. Penghukuman pelaku dalam sebuah perkara adalah upaya terakhir, kata Munawal Hadi.

"Sepanjang 2024 ini, Kejari Bireuen telah menghentikan penuntutan 14 perkara berdasarkan keadilan restoratif. Sebagian besar perkara penganiayaan," kata Munawal Hadi.

Baca juga: Kejari Bireuen beri pendampingan hukum perdata kepada pemda

Pewarta: M.Haris Setiady Agus

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024