Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Herman RN mendorong Pemerintah Aceh mengeluarkan regulasi untuk penguatan bahasa daerah, terutama bahasa Aceh dan Gayo yang sudah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional.
"Pengakuan ini harus diikuti oleh langkah strategis dari pemerintah daerah dengan mengeluarkan aturan resmi, Pergub tingkat provinsi, Perbup, atau Perwal di tingkat kabupaten/kota," kata Herman RN di Banda Aceh, Jumat.
Untuk diketahui, Bahasa Aceh dan Gayo ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Indonesia pada Selasa (27/8/2024) lalu bersama warisan kebudayaan Aceh lainnya, yakni Pok Teupeun, Seumapa, Do da Idi, Timphan, Malam Boh Gaca, Pepongoten, dan Teganing.
Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) USK Banda Aceh ini mengatakan, perlu adanya instruksi tegas dari pemerintah yang mencakup beberapa langkah penting.
Salah satunya, memasukkan bahasa daerah sebagai muatan lokal dalam kurikulum pendidikan yang hingga kini upaya tersebut masih hanya sebatas wacana.
“Sudah lama masyarakat Aceh mengharapkan bahasa lokal menjadi bagian dari pembelajaran di sekolah. Namun, ini masih menjadi mimpi karena belum ada kebijakan yang konkret,” ujarnya.
Selain itu, Herman menyarankan agar pemerintah juga dapat menghidupkan kembali kebijakan penggunaan bahasa daerah di instansi pemerintahan dan sekolah.
Dirinya mencontohkan, surat edaran Gubernur Aceh beberapa waktu lalu yang menginstruksikan penggunaan bahasa Aceh setiap Kamis. Tetapi, kebijakan ini dinilai kurang efektif karena tidak disertai mekanisme pengawasan dan evaluasi.
“Instruksi ini harus diperkuat, bahkan jika perlu diberlakukan reward and punishment. Instansi yang berhasil menerapkan kebijakan ini dapat diberikan penghargaan, sedangkan yang tidak melaksanakan diberi sanksi. Ini bisa menciptakan kesadaran kolektif,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya koneksi antara pengakuan WBTB dan strategi pelestarian budaya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Dalam UU tersebut, bahasa termasuk salah satu dari 10 Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang harus dikembangkan, dilestarikan, dibina, dan dimanfaatkan.
"Kalau seperti ini dilakukan, ini akan terus menjadi sesuatu yang lestari, karena untuk apa hanya mencari label bahwa bahasa WBTB, tetapi dalam strategi yang lain tidak masuk," ujarnya.
Maka dari itu, Herman berharap pemerintah dapat melahirkan aturan yang kuat dan kebijakan tegas, sehingga bahasa Aceh dan Gayo tidak hanya sekedar diakui sebagai warisan budaya, tetapi juga menjadi bagian aktif dari kehidupan masyarakat sehari-hari.
“Jika penetapan WBTB ini hanya sebatas label tanpa strategi pelestarian sesuai dengan empat pilar kebudayaan, semuanya menjadi percuma,” demikian Herman RN.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024
"Pengakuan ini harus diikuti oleh langkah strategis dari pemerintah daerah dengan mengeluarkan aturan resmi, Pergub tingkat provinsi, Perbup, atau Perwal di tingkat kabupaten/kota," kata Herman RN di Banda Aceh, Jumat.
Untuk diketahui, Bahasa Aceh dan Gayo ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Indonesia pada Selasa (27/8/2024) lalu bersama warisan kebudayaan Aceh lainnya, yakni Pok Teupeun, Seumapa, Do da Idi, Timphan, Malam Boh Gaca, Pepongoten, dan Teganing.
Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) USK Banda Aceh ini mengatakan, perlu adanya instruksi tegas dari pemerintah yang mencakup beberapa langkah penting.
Salah satunya, memasukkan bahasa daerah sebagai muatan lokal dalam kurikulum pendidikan yang hingga kini upaya tersebut masih hanya sebatas wacana.
“Sudah lama masyarakat Aceh mengharapkan bahasa lokal menjadi bagian dari pembelajaran di sekolah. Namun, ini masih menjadi mimpi karena belum ada kebijakan yang konkret,” ujarnya.
Selain itu, Herman menyarankan agar pemerintah juga dapat menghidupkan kembali kebijakan penggunaan bahasa daerah di instansi pemerintahan dan sekolah.
Dirinya mencontohkan, surat edaran Gubernur Aceh beberapa waktu lalu yang menginstruksikan penggunaan bahasa Aceh setiap Kamis. Tetapi, kebijakan ini dinilai kurang efektif karena tidak disertai mekanisme pengawasan dan evaluasi.
“Instruksi ini harus diperkuat, bahkan jika perlu diberlakukan reward and punishment. Instansi yang berhasil menerapkan kebijakan ini dapat diberikan penghargaan, sedangkan yang tidak melaksanakan diberi sanksi. Ini bisa menciptakan kesadaran kolektif,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya koneksi antara pengakuan WBTB dan strategi pelestarian budaya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Dalam UU tersebut, bahasa termasuk salah satu dari 10 Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang harus dikembangkan, dilestarikan, dibina, dan dimanfaatkan.
"Kalau seperti ini dilakukan, ini akan terus menjadi sesuatu yang lestari, karena untuk apa hanya mencari label bahwa bahasa WBTB, tetapi dalam strategi yang lain tidak masuk," ujarnya.
Maka dari itu, Herman berharap pemerintah dapat melahirkan aturan yang kuat dan kebijakan tegas, sehingga bahasa Aceh dan Gayo tidak hanya sekedar diakui sebagai warisan budaya, tetapi juga menjadi bagian aktif dari kehidupan masyarakat sehari-hari.
“Jika penetapan WBTB ini hanya sebatas label tanpa strategi pelestarian sesuai dengan empat pilar kebudayaan, semuanya menjadi percuma,” demikian Herman RN.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024