Staf Ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) untuk Gender dan Perubahan Iklim, Chandra Sugarda, menyoroti pentingnya kebijakan iklim yang lebih inklusif dan responsif gender di Aceh.
Hal itu disampaikan secara daring di Banda Aceh, Selasa, saat menjadi narasumber pada kegiatan diskusi publik bertajuk “Kebijakan Responsif Gender dalam Menghadapi Perubahan Iklim dan Transisi Energi”.
Chandra menyebutkan bahwa di Aceh sudah ada Kebijakan Transfer Anggaran Berbasis Ekologi (TAPE) melalui Peraturan Gubernur Nomor 56 Tahun 2022. Kebijakan ini memberikan insentif anggaran kepada kabupaten/kota yang menunjukkan kinerja baik dalam pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu indikator penilaiannya adalah perlindungan perempuan dan anak.
"Dalam TAPE sudah ada aspek perlindungan perempuan dan anak, tetapi masih bisa diperdalam agar lebih responsif gender," katanya.
Baca: Pemkab Aceh Selatan galakkan program kampung iklim
Chandra mengusulkan beberapa rekomendasi untuk memastikan kebijakan mitigasi perubahan iklim di Aceh lebih berperspektif gender. Salah satunya adalah memasukkan indikator yang lebih spesifik untuk mengukur dampak kebijakan lingkungan terhadap perempuan, seperti keterlibatan perempuan dalam pengelolaan hutan dan pertanian berkelanjutan.
“Kemudian juga bisa memberikan insentif tambahan bagi desa atau kabupaten-kota gitu yang mengadopsi program adaptasi berbasis komunitas yang dibutuhkan oleh perempuan,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya pendanaan iklim yang responsif gender, termasuk alokasi dana khusus bagi usaha ekonomi perempuan di sektor ramah lingkungan, seperti pertanian organik dan energi terbarukan berbasis komunitas.
“Jika pendanaan diberikan secara umum tanpa mempertimbangkan gender, maka yang lebih banyak mengaksesnya biasanya laki-laki,” katanya.
Oleh karena itu, ia menilai pentingnya skema pendanaan yang menargetkan perempuan agar mereka juga memiliki akses yang setara.
Lebih lanjut, Chandra juga menyoroti perlunya peningkatan kapasitas dan partisipasi perempuan dalam perencanaan kebijakan iklim, pembangunan infrastruktur adaptasi yang mempertimbangkan kebutuhan perempuan dan kelompok rentan, serta pengembangan mekanisme perlindungan sosial bagi perempuan yang terdampak perubahan iklim.
Ia menegaskan bahwa skema perlindungan sosial, seperti asuransi iklim dan bantuan langsung tunai, harus memastikan perempuan yang kehilangan mata pencaharian akibat perubahan iklim dapat mengakses bantuan tersebut.
“Jika tidak ditargetkan secara khusus, bantuan ini berpotensi lebih banyak diakses oleh laki-laki,” katanya.
Sementara itu, Ketua Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Syiah Kuala (USK) Suraiya Kamarazzuaman mengatakan bahwa di Aceh memang sudah ada kebijakan yang mengarustamakan gender.
Namun, kata dia, partisipasi perempuan di Aceh dalam aksi perubahan iklim masih terbatas. Hal ini berdasarkan riset yang pernah dilakukan di delapan kabupaten/kota Provinsi Aceh.
Baca: Cara Petani Aceh Timur Bertahan di Tengah Ancaman Perubahan Iklim
“Dari riset yang kami lakukan perempuan hampir tidak pernah terlibat terutama dalam perencanaan. Dalam pelaksanaan terlibat, tetapi hanya sebagai pelaksana yang beranggaran kecil dalam voluntering (relawan). Untuk mentoring juga tidak terlibat,” katanya.
Selain itu, dia juga menyebutkan bahwa pendekatan mitigasi bencana dan perubahan iklim kepada masyarakat sejak pasca bencana tsunami masih belum berubah. Laki-laki yang paling sering menjadi sasaran edukasi meskipun perempuan menjadi kelompok yang paling berisiko tinggi terdampak.
Dia mencontohkan bencana kekeringan yang ada di Lhoknga, Aceh Besar, dalam beberapa tahun terakhir. Kekeringan membuat beban domestik perempuan bertambah.
“Saya mendapati beberapa ibu-ibu yang menceritakan mengalami pendarahan terus-menerus karena mengangkut air dan ada yang lain bercerita kesehatannya terganggu karena beban domestiknya bertambah,” katanya.
Baca: Terlalu banyak kematian bila dana iklim tidak dipenuhi
Editor : M.Haris Setiady Agus
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2025