Blangpidie (Antaranews Aceh) - Ratusan petani di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), setiap hari terpaksa harus naik rakit menyeberangi Krueng (sungai) Teukuh untuk menuju ke lahan perkebunan mereka karena belum adanya jembatan penghubung di Desa Lama Tuha, Kecamatan Kuala Batee.

Lukman, salah seorang tokoh di Desa Lama Tuha, Rabu mengatakan, akibat belum adanya jembatan penghubung di Krueng Teukuh membuat ratusan petani tiap hari terpaksa harus mengeluarkan uang Rp6.000 untuk membayar tarif rakit penyeberangan, baik pergi maupun pulang dari kebun mereka.

"Bukan habis uang saja, tetapi juga menghabiskan waktu ketika para petani menunggu antrian penyeberangan. Apalagi kalau hari Sabtu dan Minggu cukup banyak warga pergi kebun, dan biasanya menghabiskan waktu sampai 2-3 jam menunggu antrian bagaikan di Pelabuhan Merak - Bangkahuni," tuturnya.

Lukman tidak menyalahkan pemerintah daerah, sebab, Pemkab Abdya pada 2016 telah menganggarkan dana sekitar Rp10 miliar untuk pembangunan jembatan rangka baja di Krueng Teukuh dengan harapan untuk memudahkan masyarakat ke lahan perkebunan kelapa sawit rakyat di kawasan Surin.

Namun, harapan untuk menyejahterakan warga tersebut menjadi sirna, sebab ketika progres kemajuan pekerjaan jembatan hampir selesai, tiba-tiba bencana banjir melanda kawasan hingga menyebabkan material rangka baja yang sudah dipasang oleh pihak rekanan ambruk ke dasar sungai.

"Pemerintah daerah sudah melaksanakan pembangunan jembatan penghubung ini tahun 2016, tetapi apa boleh buat, karena ketentuan alam musibah yang terjadi," tutur mantan anggota DPRK Abdya periode 2009-2014 itu.

Masyarakat Abdya sangat mengharapkan pemerintah agar segera membangun kembali jembatan rangka baja yang telah ambruk diterjang banjir lebih satu tahun lalu itu, sebab di kawasan seberang sungai tersebut ada sentral perkebunan sawit milik rakyat yang luasnya mencapai belasan ribu hektare.

"Memang ada jalur lain yang tembus langsung ke lahan perkebunan rakyat itu tanpa naik rakit, yakni, melalui Desa Pantee Rakyat, Kecamatan Babahrot, tetapi jarak tempuhnya sangat jauh mencapai 40 kilometer," ungkapnya.

Sedangkan melalui jalur Krueng Teukuh yang menggunakan rakit, sambung dia, hanya berjarak sekitar 8 kilometer apabila ditempuh dari Desa Padang Sikabu, Kecamatan Kuala Batee, atau sekitar 10 kilometer dari Desa Pulau Kayu, Kecamatan Susoh.

"Bila pemerintah ingin meningkatkan ekonomi petani, satu-satunya cara yang harus dilakukan membangun kembali jembatan Krueng Teukuh ini. Saya sangat yakin, Bupati Abdya Akmal Ibrahim mampu merealisasi pembangunannya," ungkapnya.

Amatan di lapangan, rakit penyeberangan di Krueng Teukuh Desa Lama Tuha tersebut dibuat dari susunan drum dilapisi papan dan mampu mengangkut 22 unit sepeda motor dan 30 warga dengan lebar sungai yang di seberangi sekitar 80 meter.

Nasir, petugas yang mengoperasi rakit di lokasi Krueng Teukuh kepada wartawan mengatakan, sejak tahun 2009 sudah tiga unit rakit penyeberangan milik pemerintah daerah hanyut diseret arus sungai ketika banjir melanda.

"Kalau rakit yang kami operasikan sekarang ini bukan milik pemerintah daerah, tetapi milik masyarakat swasta yang dibuat menggunakan dana pribadi dua tahun lalu, sedangkan rakit pemkab terakhir hanyut bersamaan ambruknya rangka baja jembatan akibat dihantam banjir 2016," tuturnya.

Meskipun bukan milik pemerintah, kata dia, rakit penyeberangan yang menghubungkan Krueng Teukuh ini setiap hari dari pagi hingga malam melayani jasa penyeberangan dengan mengutip jasa sebesar Rp3.000/unit sepeda motor.

"Alhamdulillah, rata-rata kami mendapat uang jasa penyeberangan ini Rp1 juta/hari. Setelah setor pada pemilik rakit, kami mendapatkan uang jerih payah Rp200 ribu/hari. Kalau hari Sabtu-Minggu antrian penumpang lama sedikit, karena jumlah pengguna rakit membludak," ujarnya.

Pewarta: Suprian

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2018