Singkil (Antaranews Aceh) -  Pemuda Dewan Da'wah Aceh (PDDA) menyampaikan beberapa gagasan penanggulangan dan upaya pencegahan maraknya prostitusi online yang menjerat pemuda pemudi sebulan terakhir ini.
    
"Kami sangat prihatin dengan kondisi maraknya prostitusi online yang mempengaruhi pemuda pemudi Aceh," kata Wakil Sekretaris PDDA, Riri Isthafa Najmi yang kepada wartawan di Singkil, Jumat.
    
Di tengah upaya pemerintah untuk menutup lokalisasi dan memberantas prostitusi, belakangan ini justru terungkap makin maraknya praktik prostitusi online terselubung yang makin marak, canggih, dan masif. Termasuk prostitusi online yang melibatkan kaum hawa lintas generasi dan profesi di Aceh.
    
Kaum hawa yang terjerumus dalam bisnis prostitusi umumnya terjebak antara kesulitan ekonomi, tipisnya iman dan ajakan germo kawakan untuk bekerja di bawah kondisi budak pemuas nafsu lelaki hidung belang.
    
Memang, kata Najmi, bicara masalah keuntungan dan penghasilan yang ditawarkan bisnis seksual itu sangat menguntungkan. Bisa dipahami jika praktik penyimpangan seksualitas itu seolah tidak pernah bisa diberantas hingga tuntas.
    
"Kita tentu menyadari bahwa tindak asusila dan amoral seperti ini bisa saja terjadi kapan pun dan dimana pun. Kemaksiatan dan kriminalitas seperti ini tidak terjadi secara marak kalau pintu-pintunya telah ditutup rapat," ungkap Ketua Komunitas Anak Shaleh (KAS) tersebut.
    
Menurut Najmi ada lima gagasan yang semestinya diterapkan untuk mengatasi maraknya prostitusi baik lokalisasi maupun online.
    
Bila jalur-jalur ini dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat Aceh secara simultan, bukan hanya parsial dan setengah-setengah, maka semua faktor yang mendorong terjadinya prostitusi ini bisa dieliminasi bahkan dihilangkan.
    
Menurut pandangan saya, hal yang paling mendasar adalah penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Aceh. Berarti adanya kemudahan masyarakat untuk pekerjaan yang layak dan mampu mencukupi kebutuhan diri dan keluarga yang ada dalam tanggungannya," ujar Najmi.
    
Sebenarnya sudah kewajiban negara memberi kemudahan permodalan dan lapangan kerja bagi yang membutuhkan. Iklim usaha kondusif juga diperlukan. Kaum perempuan semestinya tidak menjadi pencari nafkah utama bagi keluarganya. Lain halnya dengan saat ini dimana lapangan kerja terbatas dan pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga menjadi masalah besar di tengah masyarakat.
    
"Edukasi yang sejalan dengan norma, etika, dan agama perlu diterapkan. Pendidikan agama juga menanamkan nilai dasar pembinaan spiritual yang bisa membedakan benar dan salah, serta mengetahui standar-standar hidup yang boleh diambil atau tidak," katanya.
    
Menurutnya, alasan wanita tuna susila yang kembali ke tempat prostitusi setelah mendapat pembinaan ketrampilan karena lebih sulit mendapatkan uang dari hasil menjahit atau berniaga dibanding melacur. Hal itu tidak akan terjadi bila ada penanaman kuat tentang dasar dan standar agama dengan bisa membedakan benar dan salah.
    
"Pembinaan masyarakat untuk membentuk keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan penyelesaian dari permasalahan jalur sosial yang juga harus menjadi perhatian pemerintah Aceh," katanya.
    
Bila keluarga harmonis, maka tidak banyak laki-laki (suami) yang membutuhkan untuk mencari kesenangan dan ketenangan ke tempat pelacuran atau ingin mendapat kasih sayang dengan mengencani WTS.
    
"Penegakan hukum/sanksi yang tegas dan tidak pilih kasih kepada semua pelaku prostitusi/zina. Tidak hanya mucikari atau germonya, tapi seluruh komponen yang melanggar harus diberi hukuman yang berlaku sesuai kebijakan daerah (wilayah) setempat," tegasnya.
    
WTS dan pemakai jasanya yang merupakan subjek dalam lingkaran prostitusi harus dikenai sanksi tegas. Terlebih dalam Islam, hukuman di dunia bagi orang yang berzina adalah dirajam (dilempari batu). Jika di dunia ia tidak sempat mendapat hukuman tadi, maka di akhirat ia disiksa di neraka.
    
"Penyelesaian prostitusi membutuhkan penerapan kebijakan yang didasari dan sesuai dengan syariat Islam (qanun). Peraturan yang dibuat tidak boleh dilanggar atau tanpa pijakan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku," katanya.
    
Penyelesaian prostitusi sangat membutuhkan terapan kebijakan yang didasari peraturan dan perundang-undangan yang sesuai dengan syariat Islam (qanun).
   
Tidak boleh dibiarkan bisnis prostitusi berjalan berdasar hukum permintaan dan penawaran belaka tanpa pijakan yang benar dan salah atau tidak sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) dan aturan syariat islam (qanun).
 

Pewarta: Khairuman

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2018