Banjarbaru (ANTARA) - Gejolak kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di Kalimantan Selatan (Kalsel) semakin menjadi-jadi hingga masyarakat menjerit sulitnya mendapatkan bahan kebutuhan pokok tersebut.
"Jika pun ada harganya di toko-toko sembako paling murah Rp40 ribu kemasan 2 liter. Bahkan ada yang jual Rp45 ribu hari ini," ucap Nabila, warga di kawasan Landasan Ulin, Kota Banjarbaru, Minggu.
Untuk mendapatkan minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET) sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 tahun 2022 salah satunya kemasan premium Rp14.000 per liter, warga hanya bisa berharap di toko ritel modern.
Namun begitu, penjualannya juga terbatas hanya maksimal satu kemasan isi dua liter seharga Rp28 ribu setiap konsumen. Kemunculan minyak goreng di ritel modern inipun kerap diserbu masyarakat dan ludes dalam waktu singkat.
Salah satu pedagang di Banjarbaru Kaspul Anwar mengaku membeli minyak goreng kemasan merek Filma isi dua liter seharga Rp28 ribu yang kemudian dijual kembali Rp40 ribu.
"Saya juga diwajibkan membeli beberapa produk lain jika ingin mendapatkan minyak goreng oleh sales yang biasa langganan menawarkan barang misalnya mie instan dan kecap. Jadi semacam paketan," bebernya.
Ekonom dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Hidayatullah Muttaqin SE, MSI, Pg.D mengatakan usaha pemerintah menstabilkan harga minyak goreng melalui penetapan HET minyak goreng curah Rp11.500, kemasan sederhana Rp13.500 dan kemasa premium Rp14.000 belum membuahkan hasil.
"Ini sangat memprihatinkan dan memilukan. Negeri produsen minyak sawit terbesar di dunia, tetapi minyak gorengnya langka dan mahal," cetusnya.
Rata-rata harga minyak goreng curah di tingkat nasional berdasarkan data SP2KP Kementerian Perdagangan pada 11 Maret 2022 sebesar Rp16.037, kemasan sederhana Rp16.401 dan kemasan premium Rp18.403.
Ini lebih tinggi dibandingkan tingkat harga pada akhir Februari. Sementara harga eceran di masyarakat ada yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata nasional tersebut.
Menurut Muttaqin, pedagang eceran yang sudah terlanjur melakukan pembelian minyak goreng dengan harga di atas HET sebelum pemberlakuannya dirugikan karena tidak ada subsidi atau penggantian kerugian untuk menurunkan harga.
Di sisi lain para pedagang eceran juga menghadapi kelangkaan pasokan minyak goreng dari agen dan distributor. Akibatnya saat ini di tingkat eceran terjadi kelangkaan minyak goreng di berbagai tempat di Indonesia.
Muttaqin menyebut kelangkaan dipicu dua masalah. Pertama adanya aksi penimbunan minyak goreng sehingga distribusi minyak goreng ke masyarakat terganggu.
Terlebih dengan semakin dekatnya bulan puasa yang biasanya diikuti konsumsi masyarakat atas minyak goreng yang lebih tinggi dari waktu-waktu biasanya.
"Perlu kejelian dan ketegasan pemerintah dan Kepolisian dalam mengawasi rantai distribusi minyak goreng di setiap wilayah dari produsen, distributor, agen hingga ke pasar tradisional, pasar modern, mini market dan warung kelontong," papar ekonom jebolan Universitas Birmingham Inggris itu.
Kedua, kebijakan pemerintah soal domestic market obligation terhadap para produsen CPO tidak berjalan efektif.
Klaim Menteri Perdagangan soal kebijakan DMO 570 ribu ton seharusnya sudah dapat membanjiri pasar minyak goreng lokal tidak terjadi.
Ini mengindikasikan DMO-nya tidak berjalan sesuai seharusnya ditambah dengan adanya penimbunan bahkan penyelundupan yang tidak mungkin dilakukan oleh orang kecil.
"Pemerintah harus serius dan tegas dalam mencegah distrosi pasar. Termasuk memperbaiki struktur pasar yang oligopoli dan beroma kartel," kata Muttaqin.