Banda Aceh (ANTARA) - Kedaulatan suatu negara salah satunya ditentukan oleh mata uang yang digunakan, karenanya para pendiri bangsa melalui perjuangan panjang agar Indonesia bisa menggunakan mata uang sendiri dalam bertransaksi.
Meskipun sudah menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945, masih ada beberapa mata uang yang beredar di Indonesia pada awal kemerdekaan, seperti Gulden Belanda dan Jepang.
Pada masa Sjafruddin Prawiranegara menjabat sebagai Menteri Keuangan, ditetapkanlah Oeang Republik Indonesia (ORI)sebagai mata uang resmi Indonesia. Adapun yang bertugas mencetak dan mengedarkan ORI adalah Bank Negara Indonesia (BNI).
Dengan ketetapan tersebut mata uang selain ORI yang masih beredar secara berangsur dicabut.
Saat itu, Belanda yang belum mengakui kemerdekaan, masih berusaha menguasai Indonesia dengan berbaju Netherlands Indies Civil Administration (NICA). NICA saat itu mendirikan kembali De Javasche Bank (DJB) dan mengeluarkan mata uang NICA, sehingga ketika itu beredar dua mata uang, yang sering disebut uang merah (NICA) dan uang putih (ORI).
Setelah mengalami dua kali agresi militer Belanda, akhirnya pada tahun 1949 pihak Indonesia dan Belanda sepakat untuk menyelesaikan sengketa dalam Konferensi Meja Bundar(KMB). KMB itulah akhirnya Belanda setuju untuk dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan mengakuinya sebagai sebuah negara merdeka.
Pada saat itu disepakati mata uang resmi yaitu mata uang RIS yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank (DJB), sekaligus mencabut ORI. Mata uang RIS inilah yang menjadi cikal bakal uang Rupiah yang kita gunakan saat ini, seiring dengan bubarnya RIS dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
De Javasche Bank pun di kemudian hari dinasionalisasi dan berganti nama menjadi Bank Indonesia.
Perjuangan tersebut kita nikmati hasilnya sampai dengan saat ini dan menjadi sesuatu yang layak kita banggakan.
Perjuangan kita belum berakhir, karena tugas kita justru lebih berat, karena harus mempertahankan apa yang sudah dibangun oleh para pendiri bangsa.
Saat ini banyak sekali tantangan yang kita hadapi dalam mempertahankan eksistensi Rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI. Mulai dari isu lama seperti adanya oknum pedagang yang memberikan kembalian berupa permen, adanya kelompok tertentu yang bertransaksi dengan dinar-dirham, sampai dengan yang terkini yaitu munculnya cryptocurrency.
Bank Indonesia sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah ke seluruh Indonesia, telah menyediakan pecahan Rupiah yang lengkap, mulai dari yang terkecil sampai dengan pecahan terbesar.
Namun seiring waktu dan kenaikan harga yang terjadi, ada sebagian masyarakat yang menyepelekan pecahan kecil Rupiah. Bahkan pernah beredar kabar bahwa uang pecahan Rp100 sudah tidak berlaku. Padahal informasi tersebut berawal dari kesalahpahaman, akibat adanya sebagian toko yang menolak ketika pelanggannya membayar dengan uang pecahan Rp100.
Jika mengacu ke Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, menolak uang Rupiah sebagai alat pembayaran dapat dihukum pidana. Alasan yang diutarakan oleh pihak yang menolak antara lain sulit untuk menyimpannya karena dimensi uang logam lebih besar dan berat, serta nilainya yang dianggap terlalu kecil sehingga kurang efisien.
Hal tersebut bukan alasan yang dapat diterima, karena satu-satunya alasan yang diperbolehkan untuk menolak pembayaran dengan uang Rupiah adalah jika adanya keraguan terhadap keaslian uang Rupiah tersebut.
Kita harus diingatkan kembali tentang tujuan utama diciptakannya uang, yaitu greasing the transaction atau uang sebagai pelumas transaksi.
Di era sebelum ditemukannya uang kartal, orang bertransaksi dengan suatu barang berharga yang disepakati dapat menyimpan nilai, seperti emas dan perak.
Namun karena emas dan perak sulit untuk dipecah menjadi satuan terkecil, sehingga akan menyulitkan ketika membeli suatu barang yang nilainya sedikit.
Untuk itu diciptakan uang kartal dengan underlying berupa barang berharga tersebut, sehingga transaksi menjadi lebih lancar. Maka dari itu, anggapan bahwa ada uang pecahan tertentu yang kurang efisien karena nilainya terlalu kecil adalah pendapat yang tidak berdasar.
Justru dengan adanya pecahan terkecil, transaksi menjadi lebih mudah karena selisih harga yang kecil pun dapat dibayar dengan jumlah yang tepat. Jika tidak ada pecahan terkecil, maka kemungkinan besar harga-harga akan dibulatkan ke atas untuk memudahkan pembayaran.
Tantangan lainnya terhadap penggunaan Rupiah datang dari sekelompok orang yang beberapa waktu lalu sempat membuat heboh karena membuka pasar dadakan, di mana penjual dan pembelinya bertransaksi menggunakan dinar-dirham.
Mereka membuka pasar tersebut di beberapa daerah di Indonesia. Tujuan mereka adalah mengajak kita untuk bertransaksi dengan alat tukar berupa sesuatu yang memiliki nilai intrinsik, dalam hal ini dinar dan dirham, alih-alih menggunakan lembaran kertas(uang).
Padahal, selama uang yang dicetak memiliki underlying tertentu, maka bertransaksi menggunakan uang kartal atau menggunakan emas pada hakikatnya sama, karena keduanya memiliki nilai. Perbedaannya adalah ketika kita bertransaksi menggunakan uang Rupiah, maka transaksi tersebut dilindungi oleh Undang-Undang. Maka dari itu, jangan sampai kita memberi kesempatan kepada pihak yang ingin menggantikan rupiah di wilayah NKRI.
Isu lainnya yang berpotensi mengancam kedaulatan Rupiah adalah munculnya cryptocurrency atau mata uang kripto. Era cryptocurrency mulai berkembang pesat sejak diluncurkannya bitcoin pada tahun 2009 lalu, yang sekaligus menjadi cryptocurrency pertama.
Seiring waktu, jumlah kripto yang diterbitkan terus bertambah. Saat ini sudah ada ribuan cryptocurrency yang telah diterbitkan, meskipun tidak semua kripto tersebut terdaftar di Badan Pengawas PerdaganganBerjangka Komoditi (Bappebti).
Bappebti juga menyatakan bahwa kripto boleh dimiliki sebagai instrumen investasi, bukan digunakan sebagai alat pembayaran, sehingga penyebutan mata uang kripto pun masih menjadi perdebatan, karena lebih tepat jika disebut aset kripto.
Menggunakan kripto sebagai alat pembayaran merupakan pelanggaran terhadap UU Mata Uang dan hal tersebut merupakan ancaman terhadap keberadaan Rupiah sebagai mata uang tunggal di Indonesia.
Namun, masih sulit untuk mengawasi transaksi dan membendung pesatnya perkembangan kripto. Bahkan, setahun yang lalu El Salvador meresmikan bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah di negaranya.
Dengan beratnya tantangan yang kita hadapi, makaa langkah bijaknya jika kita selalu menggunakan Rupiah sebagai wujud kebanggaan kita dan cara kita menghargai jasa para pahlawan yang telah memperjuangkan kedaulatan Negara Indonesia.
Menggunakan selain Rupiah hanya akan melemahkan kedaulatan kita. Pengalaman buruk sudah pernah kita alami ketika Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terlepas dari NKRI. Salah satu pertimbangan Mahkamah Internasional saat memutuskan kedua pulau tersebut bukan bagian dari indonesia adalah mata uang yang digunakan oleh penduduknya bukan Rupiah.
Tentunya kita berharap tidak ada lagi Sipadan dan Ligitan lainnya di masa yang akan datang. Pengalaman pahit ini harus menjadi pengingat agar kita selalu menjadikan Rupiah sebagai kebanggaan kita.