Jakarta (ANTARA) - Saat membuka pameran Indonesia International Motor Show (IIMS) 2023, pertengahan Februari 2023, Presiden Joko Widodo kembali mengingatkan terkait sejumlah negara telah meningkatkan penggunaan mobil listrik.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi mengajak industri otomotif untuk melihat tren ini dan sedikit semi sedikit menggeser industri yang hampir semua negara sedang shifting ke arah itu atau dari combustion (sistem bakar) geser ke mobil listrik.
Pemerintah Indonesia pun sekarang ini terus mendorong dari hulu sampai hilir ekosistem besar mobil listrik agar bangsa ini segera memilikinya, sehingga bisa masuk supply chain global.
Pernyataan Presiden Jokowi tersebut selaras dengan pernyataan saat meresmikan KRL (kereta listrik) relasi Yogyakarta – Solo, sekitar setahun silam.
Presiden Jokowi menyampaikan target, kelak seluruh transportasi massal di Tanah Air berbasis listrik. Target Presiden Jokowi sejalan dengan komitmen pada Perjanjian Paris 2015, dimana RI sudah meratifikasi kesepakatan terkait perubahan iklim tersebut.
Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) 29 persen pada 2030, untuk menghentikan laju pemanasan global agar tak mencapai 2 derajat Celsius, dan jika memungkinkan 1,5 derajat Celsius.
Mengurangi pemakaian energi fosil (BBM) secara signifikan dan selanjutnya adalah percepatan transisi menuju energi baru dan terbarukan (EBT), selain untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris tersebut, juga untuk menuju capaian lingkungan hijau dan langit biru (blue sky), sebagaimana diharapkan Presiden Jokowi.
Dekarbonisasi transportasi
Untuk mendorong pemakaian kendaraan listrik (electric vehicle, EV) agar lebih masif, Pemerintah akan menggulirkan program insentif.
Program insentif bagi EV, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).
Dalam perpres tersebut, percepatan program KBLBB didorong dalam rangka peningkatan efisiensi energi, ketahanan energi, konservasi energi sektor transportasi, serta terwujudnya energi bersih, kualitas udara bersih, dan ramah lingkungan. Dan yang utama adalah mengurangi ketergantungan pada impor BBM.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam seminar bertajuk “Sustainable Energy Transition and Sustainable Media” di kampus Universitas Udayana, Bali, pertengahan Februari lalu, menyampaikan isu yang sama.
Nicke menyampaikan, Pertamina terus menjalankan berbagai program dekarbonisasi di seluruh unit dan afiliasinya.
Pertamina berkontribusi dalam mewujudkan transisi energi bersih dan memperluas portofolio energi hijau di Tanah Air.
Pertamina juga terus mendorong pemanfaatan transportasi publik berbasis listrik, sebagai cara tercepat mengurarngi emisi karbon. Penggunaan transportasi publik berbasis listrik di penjuru negeri, selain untuk menciptakan lingkungan hijau, juga menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam mendorong industri kendaraan listrik di masa depan.
Pertamina terus melakukan inovasi model bisnis untuk mendukung proses transisi energi. Salah satu inovasi tersebut adalah menargetkan pembangunan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) dan 391 unit stasiun pertukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU).
Pertamina menginisiasi bisnis SPKLU melalui skema partnership dan terintegrasi dengan aplikasi MyPertamina. Dekarbonisasi transportasi publik idealnya juga didukung pasokan listrik dari sumber EBT.
Beberapa negara telah menetapkan jadwal untuk penghentian penggunaan energi fosil. Beberapa negara yang dikenal sangat agresif adalah Norwegia, Denmark, dan Swedia, yakni sekitar tahun 2030.
Sementara China dan Jepang menetapkan tahun 2050. Elektrifikasi transportasi tanpa penggantian pasokan listrik berbahan bakar fosil, sejatinya tidak akan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.
Kebijakan transportasi publik tidak akan mengurangi emisi secara signifikan, bila tidak didukung oleh pembangkit listrik bersumber EBT.
Untuk itu diperlukan intervensi Pemerintah, bisa berupa peta jalan dan regulasi, mengingat ini berkaitan langsung dengan isu perubahan iklim.
Ikhtiar yang dapat ditempuh dalam mitigasi perubahan iklim, adalah mengurangi jumlah emisi GRK (gas rumah kaca) di semua sektor, khususnya di sektor industri dan transportasi. Untuk kemudian memperbesar serapan GRK, upaya yang secara generic biasa disebut “dekarbonisasi”.
Dekarbonisasi sektor transportasi mendesak untuk dijalankan, berdasar kenyataan permintaan energinya yang meningkat secara signifikan, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk.
Dekarbonisasi transportasi bisa dilakukan dengan pergeseran dari kendaraan pribadi ke transportasi publik, dengan catatan transportasi publik berbahan bakar energi ramah lingkungan, seperti gas dan biofuel, untuk kemudian bergeser ke energi listrik sepenuhnya.
Membangun ekosistem
Indonesia perlu membangun ekosistem EV, mengingat bangsa ini memiliki sumber daya yang melimpah, dari hulu sampai hilir.
Indonesia memiliki bahan baku bagi produksi baterai (terutama nikel dan kobalt) EV, dan potensi pasarnya yang besar.
Presiden Joko Widodo juga sudah memberikan arahan supaya Indonesia, harus sangat kompetitif, jangan sampai kalah oleh Thailand.
Target atau pesan Presiden Jokowi tersebut, bisa dijadikan panduan pemangku kepentingan di bidang transisi energi, seperti Pertamina dan PLN, sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pasokan energi bersih dan hijau.
Pemerintah perlu menyiapkan ekosistem pendukung, utamanya mendirikan SPKLU (stasiun pengisian kendaraan listrik umum) dan SPBKLU (stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum) secara masif.
SPKLU lebih mirip SPBU (pengisian BBM) saat ini, yang untuk sementara belum bisa dilakukan fast charging.
Bagi transpotasi darat di perkotaan (seperti busway), yang lebih dibutuhkan adalah SPBKLU, karena waktunya relatif cepat, sehingga tidak menjadikan penumpang menunggu, yang umumnya ingin segera sampai ke tujuan.
Sejalan dengan rencana yang pernah disampaikan Menteri ESDM, pada tahun 2025 ditargetkan telah berdiri SPBKLU di 10.000 titik, sementara SPKLU pada 2.400 titik.
Tak hanya infrastruktur, Pemerintah perlu mempersiapkan sektor kelembagaan, dalam hal ini PLN dan Pertamina.
Kebijakan elektrifikasi transportasi akan berakibat melonjaknya permintaan listrik, untuk itu ada langkah antisipasi dan mitigasi. Berdasar pengalaman di negara lain, masifnya penggunaan EV (termasuk bus listrik), secara otomatis ada peningkatan penggunaan listrik di malam hari, karena umumnya pengisian baterai dilakukan malam hari.
Sembari menunggu kesiapan sektor kelembagaan, perlu dipercepat pembangunan SPKLU dan SPBKLU, untuk memudahkan pengisian kembali energi listrik.
Bagi pelanggan segmen rumah tangga, rata-rata daya listriknya berkisar 450 – 1.300 volt ampere. Sementara rekomendasi pabrikan EV, daya listriknya setidaknya 2.200 volt ampere, baru memadai.
Pengembangan ekosistem EV juga memerlukan kesiapan SDM yang menguasai teknik elektrifikasi. Lembaga pendidikan perlu mempersiapkan SDM unggul, mulai tenaga ahli madya (lulusan politeknik atau diploma), hingga operator pabrikan (lulusan SMK).
Keahlian elektrifikasi juga dibutuhkan dalam layanan purnajual, pemasaran, termasuk dalam mengedukasi publik soal EV secara masif. Termasuk Lembaga pendidikan kedinasan, seperti Sekolah Tinggi Tranportasi Darat (di bawah binaan Kemenhub), perlu juga penguatan dalam kurikulum transportasi umum berbasis listrik.
Penyiapan SDM perlu dipikirkan dari sekarang, agar tidak mengulang pengalaman pada beberapa manufaktur, seperti smelter nikel, yang untuk tenaga operator saja masih menggunakan tenaga kerja asing.
Itu sebabnya perlu dipikirkan pula skenario transfer pengetahuan dan teknologi kendaraan listrik bagi generasi muda di Tanah Air, bila manufaktur terkait sudah berdiri.
*) Dr Taufan Hunneman adalah dosen UCIC, Cirebon.