Tapaktuan (ANTARA Aceh) - Produksi tandan buah segar kelapa sawit di Kabupaten Aceh Selatan mengalami penurunan hingga 50 persen, sebagai dampak dari bencana banjir yang melanda wilayah itu, khususnya di Kecamatan Trumon Raya beberapa waktu lalu.
Camat Trumon Timur T Masrizar di Tapaktuan, Senin mengatakan banjir besar yang melanda wilayah Trumon Raya beberapa waktu lalu mengakibatkan kelapa sawit yang sudah berproduksi terendam air selama 3 hingga 4 hari sehingga membusuk.
"Kondisi ini sangat disesalkan para poetani, karena disaat harga mulai membaik yakni Rp1.700/Kg, namun produksi sawit warga sedikit," kata T Masrizar.
Untuk kembali lagi seperti kondisi normal, sambung, Masrizar petani setempat harus menunggu selama 7 bulan ke depan itupun jika bencana banjir luapan tidak terulang lagi.
Rentang waktu selama 7 bulan tersebut, bukanlah waktu yang singkat bagi petani setempat, sehingga untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka terpaksa mencari pekerjaan sampingan.
"Khususnya di wilayah Kecamatan Trumon Timur mayoritas lahan yang tersedia sudah ditanami sawit sehingga sangat sulit dijumpai lahan persawahan. Artinya bahwa mayoritas masyarakat sudah menggantungkan mata pencahariannya di sektor perkebunan sawit," ujar dia.
Maka ketika dihadapkan pada persoalan bencana banjir yang mengakibatkan hasil produksi sawit mereka menurun drastis maka secara otomatis juga berdampak terhadap perekonomian, apalagi harus menunggu selama 7 bulan ke depan untuk kembali ke kondisi normal, paparnya.
Karena itu, kata dia, pihaknya mengharapkan kepada Pemkab Aceh Selatan dan Pemerintah Aceh segera mencari solusi konkrit dan tepat untuk menyelesaikan persoalan banjir luapan yang saban tahun selalu menimpa masyarakat di wilayah Trumon Raya.
Dikatakan, bencana banjir di wilayah tersebut selain diakibatkan tingginya intensitas curah hujan sehingga meluapnya daerah aliran sungai juga disebabkan banjir kiriman dari kabupaten tetangga seperti Aceh Tenggara, Subulussalam dan Aceh Singkil.
"Dalam menanggulangi bencana banjir di Trumon Raya tersebut, Pemerintah Aceh harus menjalin koordinasi secara maksimal dengan beberapa pemerintah daerah terkait, sehingga penanganannya dapat dilakukan secara komprehensif. Dengan penanggulangan secara menyeluruh tersebut diyakini akan mampu mengatasi banjir kiriman yang sering terjadi selama ini," pintanya.
Dibagian lain, T Masrizar menyatakan kenaikan harga TBS sawit dari Rp1.300 menjadi Rp1.700/Kg sejak beberapa pekan terakhir, telah memacu para petani di Aceh Selatan lebih giat lagi menggarap lahan perkebunannya. Namun warga setempat tetap masih berharap kenaikan ini terus berlanjut hingga tembus Rp2.000/Kg.
"Kenaikan harga TBS sawit di tingkat petani mencapai Rp1.700/Kg disambut gembira oleh masyarakat Aceh Selatan khususnya Kecamatan Trumon Timur. Kenaikan ini disamping memacu semangat mereka untuk lebih serius lagi menggarap lahan perkebunannya juga mampu meningkatkan daya beli seiring mulai membaiknya tingkat perekonomian mereka," kata T Masrizar.
Sebab, sambung Masrizar, disaat harga TBS sawit anjlok ke level Rp900 /Kg para petani di Kecamatan Trumon Timur yang mayoritas mata pencahariannya bekerja sebagai petani sawit sempat mengalami prustasi hingga hilang semangat mengurus lahan perkebunannya karena antara biaya yang dikeluarkan untuk perawatan dengan pemasukan yang diterima tidak seimbang bahkan cenderung rugi.
Namun dengan telah membaiknya harga TBS sawit semangat mengurus kebun sawit oleh para petani setempat kembali tumbuh karena hasil produksi yang diterima mampu membawa keuntungan bagi mereka.
"Meskipun demikian, para petani di Kecamatan Trumon Timur tetap berharap agar harga TBS sawit tidak lagi mengalami penurunan seperti sebelumnya. Bahkan mereka berharap harganya bisa tembus Rp2.000/Kg. Harga sebesar itu sangat memungkinkan akan terwujud karena beberapa tahun lalu harga sawit sempat tembus sebesar Rp1.900/Kg," ujar T Masrizar.
Karena itu, pihaknya mendukung penuh langkah masyarakat setempat menggarap lahan yang ada menjadi perkebunan sawit agar ketersediaan lahan tidak didominasi penguasaannya oleh pihak perusahaan tertentu.
"Kami pikir langkah masyarakat terus menggarap lahan menjadi kebun sawit sebuah langkah tepat. Kami mengharapkan setiap kepala keluarga harus memiliki lahan sawit minimal 2 hektare," ujar dia.
Namun demikian, khusus terhadap kawasan gunung atau dataran tinggi, masyarakat diminta agar tetap mempertahankan penanaman tanaman keras (agroproristi) seperti pala, durian, jengkol, petai, yang memiliki multi fungsi yakni selain menghasilkan pendapatan bagi petani juga sekaligus bisa berfungsi sebagai pengatur tata air.