Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Aceh mengklaim, tingkat buta aksara di provinsi terletak paling Barat Indonesia tersebut cuma sekitar 1,75 persen dari total jumlah penduduk dewasa ini 5,19 juta jiwa, terutama mereka yang tinggal di wilayah pedesaan.
"Untuk di Aceh, tingkat buta aksara sampai tahun 2019 ini hanya tersisa sekitar 1,75 persen. Terbanyak berada di wilayah pedesaan," tegas Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah yang diwakili Bupati Aceh Tamiang, Mursil di Kualasimpang, Selasa.
Hal ini dikatakan Mursil ketika membuka perhelatan akbar Hari Aksara Internasional (HAI) ke-54 tingkat provinsi diikuti perwakilan 23 kabupaten/kota di Aceh, dan beberapa kepala daerah diantaranya Bupati Pidie Ronie Ahmad, Wakil Wali Kota Subulussalam Salmaza, Wakil Wali Kota Langsa Marzuki Hamid, dan pejabat terkait.
Jika diukur secara nasional, lanjut Mursil membacakan kata sambutan plt gubernur Aceh, maka provinsi ini tergolong sukses dalam memerangi buta aksara ini.
Sebab, lanjutnya secara nasional pada tahun 2000 tercatat angka buta aksara di Indonesia mencapai enam persen, dan dewasa ini menurun tajam menjadi 2,07 persen atau sekitar 3,4 juta orang.
Mayoritas penduduk di negara ini yang tidak bisa baca tulis tinggal di kawasan pedesaan, dan umumnya mereka berusia di atas 50 tahun. Indonesia termasuk negara yang memberi perhatian sangat besar dalam melawan buta aksara ini.
"Upaya kita untuk menghapus buta aksara akan terus ditingkatkan, dan Pemerintah Aceh menargetkan agar dalam dua tahun ke depan provinsi ini bebas dari buta aksara," jelas dia.
Seperti diketahui, Hari Aksara Internasional merupakan salah satu agenda PBB setelah melihat kenyataan masih banyak penduduk di dunia yang tidak bisa baca tulis. Peristiwa itu saat berlangsung Kongres Menteri Pendidikan se-dunia di Taheran, Iran pada 8 September 1965 dengan tingkat kebutaaksaraan diperkirakan mencapai 40 persen.
Kondisi ini terjadi terutama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Atas dasar hal tersebut, maka PBB menegaskan setiap tanggal 8 September diperingati sebagai Hari Aksara Internasional.
"Untuk itu, sangat diperlukan dukungan dari semua pihak dalam rangka memperkuat tekad melawan buta huruf di Aceh, sehingga upaya kita mencerdaskan rakyat dapat terwujud," ungkap Mursil.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tamiang, Zulkarnain Putra dalam laporannya menyebut, kegiatan HAI ke-54 ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya aksara bagi individu, komunitas, dan masyarakat di Aceh.
Ia mengatakan, perhelatan kali ini akan diisi beberapa kegiatan, yakni lomba tutor, pamong pelajar, penilik, kontingen favorit, pendidikan keaksaraan, dan lain sebagainya berlangsung dari tanggal 22 hingga 25 Oktober 2019.
"Ada 22 kontingen dari 23 kabupaten/kota di Aceh dengan sekitar 3.000 peserta akan meramaikan berbagai kegiatan tersebut, yang bertujuan memberantas buta aksara" ucap dia yang juga ketua panitia lokal.
Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Rachmat Fitri menambahkan, berbagai perlombaan yang digelar pihaknya berkaitan erat dengan budaya lokal dan literasi masyarakat menuju "Aceh Carong".
"Perlombaan ini kita gelar, sebagai bentuk penghargaan kepada pihak-pihak yang telah berdedikasi terhadap dunia pendidikan di Aceh," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
"Untuk di Aceh, tingkat buta aksara sampai tahun 2019 ini hanya tersisa sekitar 1,75 persen. Terbanyak berada di wilayah pedesaan," tegas Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah yang diwakili Bupati Aceh Tamiang, Mursil di Kualasimpang, Selasa.
Hal ini dikatakan Mursil ketika membuka perhelatan akbar Hari Aksara Internasional (HAI) ke-54 tingkat provinsi diikuti perwakilan 23 kabupaten/kota di Aceh, dan beberapa kepala daerah diantaranya Bupati Pidie Ronie Ahmad, Wakil Wali Kota Subulussalam Salmaza, Wakil Wali Kota Langsa Marzuki Hamid, dan pejabat terkait.
Jika diukur secara nasional, lanjut Mursil membacakan kata sambutan plt gubernur Aceh, maka provinsi ini tergolong sukses dalam memerangi buta aksara ini.
Sebab, lanjutnya secara nasional pada tahun 2000 tercatat angka buta aksara di Indonesia mencapai enam persen, dan dewasa ini menurun tajam menjadi 2,07 persen atau sekitar 3,4 juta orang.
Mayoritas penduduk di negara ini yang tidak bisa baca tulis tinggal di kawasan pedesaan, dan umumnya mereka berusia di atas 50 tahun. Indonesia termasuk negara yang memberi perhatian sangat besar dalam melawan buta aksara ini.
"Upaya kita untuk menghapus buta aksara akan terus ditingkatkan, dan Pemerintah Aceh menargetkan agar dalam dua tahun ke depan provinsi ini bebas dari buta aksara," jelas dia.
Seperti diketahui, Hari Aksara Internasional merupakan salah satu agenda PBB setelah melihat kenyataan masih banyak penduduk di dunia yang tidak bisa baca tulis. Peristiwa itu saat berlangsung Kongres Menteri Pendidikan se-dunia di Taheran, Iran pada 8 September 1965 dengan tingkat kebutaaksaraan diperkirakan mencapai 40 persen.
Kondisi ini terjadi terutama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Atas dasar hal tersebut, maka PBB menegaskan setiap tanggal 8 September diperingati sebagai Hari Aksara Internasional.
"Untuk itu, sangat diperlukan dukungan dari semua pihak dalam rangka memperkuat tekad melawan buta huruf di Aceh, sehingga upaya kita mencerdaskan rakyat dapat terwujud," ungkap Mursil.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tamiang, Zulkarnain Putra dalam laporannya menyebut, kegiatan HAI ke-54 ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya aksara bagi individu, komunitas, dan masyarakat di Aceh.
Ia mengatakan, perhelatan kali ini akan diisi beberapa kegiatan, yakni lomba tutor, pamong pelajar, penilik, kontingen favorit, pendidikan keaksaraan, dan lain sebagainya berlangsung dari tanggal 22 hingga 25 Oktober 2019.
"Ada 22 kontingen dari 23 kabupaten/kota di Aceh dengan sekitar 3.000 peserta akan meramaikan berbagai kegiatan tersebut, yang bertujuan memberantas buta aksara" ucap dia yang juga ketua panitia lokal.
Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Rachmat Fitri menambahkan, berbagai perlombaan yang digelar pihaknya berkaitan erat dengan budaya lokal dan literasi masyarakat menuju "Aceh Carong".
"Perlombaan ini kita gelar, sebagai bentuk penghargaan kepada pihak-pihak yang telah berdedikasi terhadap dunia pendidikan di Aceh," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019