Dolar AS kehilangan kekuatan terutama terhadap mata uang safe haven tradisional seperti yen Jepang dan franc Swiss di tengah ketidakpastian perdagangan global dan data ekonomi AS yang suram.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali melepaskan 'tembakan' untuk menggelorakan perang dagang. Namun kali ini bukan dengan China, negara yang juga masih terlibat perang dagang dengan AS dalam dua tahun terakhir.
Pada Senin (2/12/2019), Trump memulai perang dagang dengan dua kawasan sekaligus, yakni Amerika Latin dan Eropa. Trump mengumumkan pemberlakuan kembali tarif pada baja dan aluminium Brazil serta Argentina, menuduh kedua negara tersebut telah mendevaluasi mata uangnya secara besar-besaran sehingga merugikan daya saing petani Amerika Serikat.
Trump juga mengancam segera mengenakan tarif hingga 100 persen atas barang-barang Prancis senilai 2,4 miliar dolar AS. Alasannya karena negara itu telah memberlakukan tarif yang tinggi pada perusahaan teknologi AS, seperti Google, Apple, Facebook, dan Amazon.
Dolar juga tertekan setelah sektor manufaktur AS terus menurun pada bulan lalu di tengah data persediaan dan pesanan baru yang lemah, laporan yang dirilis oleh lembaga riset Institute for Supply Management (ISM) menunjukkan pada Senin (2/12/2019).
Menurut laporan tersebut, indeks pembelian manajer (PMI) sektor manufaktur Amerika Serikat turun menjadi 48,1 persen pada November dari angka Oktober di 48,3 persen.
Ekonom yang disurvei oleh MarketWatch memperkirakan indeks PMI manufaktur AS akan mencatat angka 49,2 persen. Angka di bawah 50 persen mewakili kontraksi.
Indeks dolar AS yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, turun 0,12 persen menjadi 97,7379 pada akhir perdagangan.
Dolar AS dibeli 108,57 yen Jepang, lebih rendah dari 108,96 yen Jepang pada sesi sebelumnya. Dolar AS turun menjadi 0,9867 franc Swiss dari 0,9914 franc Swiss, dan naik menjadi 1,3300 dolar Kanada dari 1,3297 dolar Kanada.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019