Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh (PA) bersama anggota DPRA dan DPRK dari Partai Aceh di seluruh Aceh mengeluarkan lima pernyataan sikap politik yang dihasilkan dan disepakati bersama dalam kegiatan Bimtek dan Pembekalan anggota legislatif itu di Sabang, Provinsi Aceh.

Juru Bicara Partai Aceh Muhammad Shaleh mengatakan deklarasi dari daerah nol kilometer Indonesia itu sebagai pesan khusus untuk rakyat Aceh bahwa PA akan terus berikhtiar untuk berbenah, memperjuangkan dan mempertegas perjuangannya terhadap hak-hak rakyat Aceh.

"Selain itu sebagai pesan moral dan konstitusional untuk Pemerintah Republik Indonesia agar tetap konsistensi, memenuhi berbagai kesepakatan yang tertuang dalam MoU Helsinki dan turunannya yaitu Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), yang merupakan hak khusus bagi Aceh," kata Shaleh, di Sabang, Minggu.

Deklarasi itu disaksikan Ketua Umum dan Sekjen DPA Partai Aceh Muzakir Manaf atau Mualem dan Kamaruddin Abu Bakar atau Abu Razak. Katanya dipilih nol kilometer itu sebagai semangat partai lokal ini untuk terus berkarya dan berbuat lebih nyata bagi rakyat Aceh serta mempertegas flatform perjuangan maupun pemantapan ideologi bagi wakilnya di parlemen seluruh Aceh.

“Pernyataan politik ini merupakan kesepakatan dan rekomundasi dari 18 anggota DPRA dan 119 anggota DPRK Partai Aceh se Aceh. Kami menyebutnya sebagai manifesto nol kilometer," katanya.

Dia menyebutkan isi sikap politik tersebut yakni pertama mendukung pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota di Aceh pada 2022, hal itu sesuai ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemeritah Aceh.

“Keputusan ini kami lakukan dengan pertimbangan dan kajian mendalam terhadap berbagai aspek seperti efektivitas tata kelola pemerintahan, kondisi sosial, politik dan ekonomi Aceh bila Pilkada Aceh laksanakan serentak pada 2024,” katanya.

Menurut dia bila pemilihan umum dilaksanakan 2024, maka terjadi dua tahun masa transisi atau pelaksana tugas pemerintahan di Aceh. Kondisi ini dinilai sangat tidak sehat dan tidak menguntungkan bagi Aceh dari aspek apa pun.

Sebab itu Partai Aceh mengajak seluruh elemen rakyat Aceh, termasuk partai politik nasional (Parnas) dan Partai Lokal (Parlok), akademisi, mahasiswa, aktivis LSM maupun media pers, untuk bersama melakukan kajian mendalam masalah tersebut.

“Selain itu yang paling utama adalah mempertahankan UUPA secara konsekwen, sehingga tidak membuka berbagai ruang bagi pihak tertentu yang ingin merusak kekhususan Aceh,” katanya.

Lebih lanjut, kedua, DPA Partai Aceh bersama seluruh anggota legislatifnya memastikan anggaran pembangunan 2020, baik tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota wajib berpihak pada ekselerasi pembangunan dan kesejahteraan rakyat, yang tercermin pada besarnya porsi belanja rakyat dibandingkan aparatur pemerintahan.

“Misalnya peningkatan kualitas sumber daya manusia di sektor pendidikan umum, dayah dan pesantren serta pelayanan kesehatan maupun peningkatan pembangunan yang mampu meransang tumbuhnya ekonomi mikro dan makro, sehingga mampu membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat Aceh. Karena itu anggota DPRA diperintahkan Partai Aceh untuk mengkaji dan mengawasi secara kritis perjalanan APBA 2020,” katanya.

Kemudian, ketiga, anggota legislatif Partai Aceh akan mengevaluasi qanun-qanun yang sudah disahkan, dengan tujuan dapat dilaksanakan sesuai kehendak perdamaian, demi meningkatkan pelayanan publik, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Aceh.

“Secara internal kami sedang mengodoknya. Dan finalisasi kerja besar ini, akan kami libat sejumlah elemen masyarakat sehingga produk yang dihasilkan nantinya benar-benar menjadi satu keputusan politik bersama,” katanya.

Selanjutnya keempat, kata dia, masih munculnya konflik regulasi terhadap pengelolaan minyak dan gas (Migas) Aceh, dan semakin menuntut adanya sikap tegas dari Pemerintah Aceh. Karena itu wakil rakyat mereka meminta agar regulasi yang telah tercantum dalam MoU Helsinki dan UUPA harus terus diperjelas dengan tegas.

“Pengelolaan Migas Aceh dengan hak pembagian hasil sebesar 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk pemerintah pusat. Termasuk pengelolaan Migas di atas 12 mil laut teritorial Aceh sebesar 50 persen untuk Aceh dan 50 persen untuk pemerintah pusat,” kata dia.

Dan poin terakhir, lanjutnya, sesuai semangat reforma agraria yang dicanangkan Presiden RI Joko Widodo dan surat edaran Gubernur Aceh tentang pengentasan kemiskinan dengan penyediaan lahan untuk eks kombatan, korban konflik dan tapol-napol, maka sesuai amanat MoU Helsinki perlu segera dilaksanakan evaluasi dan audit keberadaan konsesi kepemilikan lahan dan audit kepemilikan lahan dengan skema HGU yang ada di Aceh.

“DPA Partai Aceh dan seluruh anggota DPRA dan DPRK se Aceh mendesak Pemerintah Aceh untuk memperjelas otoritas tata kelola pertanahan di Aceh, menjadi kewenangan mutlak Pemerintah Aceh,” katanya.

Pewarta: Khalis Surry

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019