Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh (PA) bersama anggota DPRA dan DPRK dari Partai Aceh di seluruh Aceh mengeluarkan lima pernyataan sikap politik, salah satunya mendukung pelaksanaan pemilihan gubernur (Pilgub) Aceh pada 2022.

Juru Bicara Partai Aceh Muhammad Shaleh mengatakan tidak hanya Pilgub Aceh tetapi pada tahun itu juga dilakukakan pemilihan bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, hal itu sesuai ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemeritah Aceh.

"Keputusan ini kami lakukan dengan pertimbangan dan kajian mendalam terhadap berbagai aspek seperti efektivitas tata kelola pemerintahan, kondisi sosial, politik dan ekonomi Aceh bila Pilkada Aceh laksanakan serentak pada 2024,” katanya di Sabang, Minggu.

Penyataan itu merupakan satu dari lima sikap politik Partai Aceh yang dihasilkan dan disepakati bersama dalam kegiatan Bimtek dan Pembekalan anggota DPRA dan DPRK dari Partai Aceh se Aceh di Sabang, Provinsi Aceh.

Dia menyebutkan, bila pemilihan umum dilaksanakan 2024 maka terjadi dua tahun masa transisi atau pemerintahan di Aceh dipimpin oleh pelaksana tugas. Kondisi ini dinilai sangat tidak sehat dan tidak menguntungkan bagi Aceh dari aspek apa pun.

Sebab itu, kata dia, Partai Aceh mengajak seluruh elemen rakyat Aceh, termasuk partai politik nasional (Parnas) dan Partai Lokal (Parlok), akademisi, mahasiswa, aktivis LSM maupun media pers, untuk bersama melakukan kajian mendalam masalah tersebut.

“Selain itu yang paling utama adalah mempertahankan UUPA secara konsekwen, sehingga tidak membuka berbagai ruang bagi pihak tertentu yang ingin merusak kekhususan Aceh,” katanya.

Lebih lanjut, empat manifesto lainnya yang dilahirkan yakni DPA Partai Aceh bersama seluruh anggota legislatifnya memastikan anggaran pembangunan 2020, baik tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota wajib berpihak pada akselerasi pembangunan dan kesejahteraan rakyat, yang tercermin pada besarnya porsi belanja rakyat dibandingkan aparatur pemerintahan.

“Misalnya peningkatan kualitas sumber daya manusia di sektor pendidikan umum, dayah dan pesantren serta pelayanan kesehatan maupun peningkatan pembangunan yang mampu merangsang tumbuhnya ekonomi mikro dan makro," katanya.

Kemudian, anggota legislatif Partai Aceh akan mengevaluasi qanun-qanun yang sudah disahkan, dengan tujuan dapat dilaksanakan sesuai kehendak perdamaian, demi meningkatkan pelayanan publik, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Aceh.

Selanjutnya, kata dia, masih munculnya konflik regulasi terhadap pengelolaan minyak dan gas (Migas) Aceh, dan semakin menuntut adanya sikap tegas dari Pemerintah Aceh. Karena itu wakil rakyat mereka meminta agar regulasi yang telah tercantum dalam MoU Helsinki dan UUPA harus terus diperjelas dengan tegas.

“Pengelolaan Migas Aceh dengan hak pembagian hasil sebesar 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk pemerintah pusat. Termasuk pengelolaan Migas di atas 12 mil laut teritorial Aceh sebesar 50 persen untuk Aceh dan 50 persen untuk pemerintah pusat,” kata dia.

Poin terakhir, kata dia semangat reforma agraria yang dicanangkan Presiden RI Joko Widodo dan surat edaran Gubernur Aceh tentang pengentasan kemiskinan dengan penyediaan lahan untuk eks kombatan, korban konflik dan tapol-napol, maka sesuai amanat MoU Helsinki perlu segera dilaksanakan evaluasi dan audit keberadaan konsesi kepemilikan lahan dan audit kepemilikan lahan dengan skema HGU yang ada di Aceh.

“DPA Partai Aceh dan seluruh anggota DPRA dan DPRK se Aceh mendesak Pemerintah Aceh untuk memperjelas otoritas tata kelola pertanahan di Aceh, menjadi kewenangan mutlak Pemerintah Aceh,” katanya.

Pewarta: Khalis Surry

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019