Banda Aceh (ANTARA) - Jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen, Provinsi Aceh, menyelesaikan kasus penadahan sepeda motor berdasarkan keadilan restoratif atau restoratif justice.
Kepala Kejari Bireuen Munawal Hadi di Banda Aceh, Jumat, mengatakan penyelesaian kasus atau perkara penadahan sepeda motor tersebut setelah korban dan tersangka berdamai. Perdamaian para pihak disaksikan keluarga dan perangkat desa atau gampong.
"Kasus ini dengan tersangka berinisial M. Penyelesaian kasus ini secara keadilan restoratif setelah kejaksaan memfasilitasi perdamaian para pihak," kata Munawal.
Mantan Kepala Seksi Penerangan Hukum dam Humas Kejaksaan Tinggi Aceh itu menyebutkan perkara tersebut bermula ketika M berkomunikasi dengan Z melalui aplikasi pesan WhatsApp pada 28 Februari 2024.
"Saat itu, M meminta Z mencarikan sepeda motor dengan harga Rp3 juta. Selanjutnya, Z meminta panjar Rp500 ribu. Kemudian, M mengirimkan uang Rp500 ribu ke aplikasi DANA milik Z," kata Munawal Hadi.
Selang beberapa waktu kemudian, Z menghubungi M agar keduanya bertemu di sebuah tempat di Kabupaten Bireuen. Dalam pertemuan itu, Z menyerahkan sepeda motor Honda Supra tanpa dilengkapi surat kendaraan.
"Selanjutnya, M menyerahkan uang sebesar Rp2,4 juta kepada Z. Perbuatan tersangka M membeli sepeda motor tanpa surat melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang penadahan. Ancaman hukumannya paling lama empat tahun penjara," katanya.
Dalam proses perdamaian tersebut, kata Munawal Hadi, tersangka M berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Tersangka M juga menyatakan baru pertama kali membeli sepeda motor tanpa dilengkapi surat kendaraan.
"Jaksa penuntut umum segera menyampaikan hasil perdamaian kasus penadahan tersebut ke Kejaksaan Tinggi Aceh untuk selanjutnya dilakukan ekspose perkara guna mendapatkan persetujuan penghentian penuntutan dari Jaksa Agung Pidana Umum," katanya.
Munawal Hadi mengatakan penyelesaian perkara secara keadilan restoratif sesuai dengan pedoman Jaksa Agung. Tujuan keadilan restoratif tersebut agar penyelesaian perkara tidak harus dilakukan dalam persidangan di pengadilan.
Ada beberapa persyaratan dalam menyelesaikan perkara secara keadilan restoratif. Di antaranya para pihak sudah berdamai serta pelaku baru pertama melakukan tindak pidana dan ancaman hukuman tidak lebih dari lima tahun.
"Penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh. Penghukuman pelaku dalam sebuah perkara adalah upaya terakhir," kata Munawal Hadi.
Baca juga: Kejari Bireuen hentikan dua perkara berdasarkan keadilan restoratif