Dari luar, tampak bangunan Rumah Sakit Hasri Ainun Habibie berdiri megah dan terdiri dari beberapa bangunan besar.
Halamannya masih memiliki banyak pepohonan, namun aktivitas di luar tak seramai rumah sakit pada umumnya.
Hanya tampak beberapa baris kendaraan parkir di sisi depan bangunan utama.
Bila masuk ke bangunan, pengunjung langsung mendapati pusat pelayanan dan bangku-bangku di ruang tunggu, sebelum masuk ke bagian Unit Gawat Darurat (UGD).
Bangunan yang berfungsi sebagai rumah sakit dan kantor, hanya yang berada di bagian depan.
Sedangkan bangunan besar di belakangnya adalah bekas sebuah mal yang kondisinya sudah retak dan sebagian ambruk.
Lokasi tersebut merupakan aset Pemerintah Kabupaten Gorontalo, yang dihibahkan ke Pemprov Gorontalo pada tahun 2012 untuk dimanfaatkan sebagai rumah sakit.
Pemprov Gorontalo saat itu menargetkan RS Ainun yang berstatus RSUD itu, mulai beroperasi tahun 2013.
Hingga tahun 2019, RS Ainun masih masuk kategori tipe C, dengan fasilitas 63 kamar inap, 19 dokter serta 75 tenaga medis.
Keinginan membangun rumah sakit tersebut, bermula dari kebutuhan pelayanan kesehatan di tingkat rujukan khusus penyakit mata, ginjal dan jantung.
Namun, selama beberapa tahun setelah beroperasi, rumah sakit tersebut baru fokus pada pelayanan kesehatan mata dan telah melakukan operasi katarak terhadap lebih dari 2.500 pasien.
Kepala Bapppeda Provinsi Gorontalo, Budiyanto Sidiki mengatakan keberadaan rumah sakit tersebut adalah kebutuhan mendesak.
Menurutnya rata-rata ada sekitar 2.481 pasien asal Gorontalo, yang dirujuk ke rumah sakit di luar daerah setiap tahun.
Para pasien itu dirujuk dari Rumah Sakit Aloei Saboe di Kota Gorontalo dan RS M.M Dunda di Kabupaten Gorontalo.
Rata-rata pasien dari Gorontalo dirujuk ke Manado, Makassar, Jakarta dan Surabaya.
"Jika dihutung biaya berobat ke luar daerah sekitar 12 hingga 15 juta, maka ada Rp59,4 miliar uang milik pasien yang habis untuk berobat selama satu minggu. Biaya ini bisa saja lebih, karena banyak kebutuhan lain," ungkapnya.
Di sisi lain, pemerintah provinsi hanya mampu mengalokasikan anggaran Rp1,25 miliar per tahun untuk pasien rujukan.
"Artinya hanya bisa mengakomodir 20-25 pasien kurang mampu, tergantung lokasi daerah dan rumah sakit yang dituju," tambahnya.
Skema KPBU
Meskipun sudah melayani pasien selama enam tahun, namun pembangunan rumah sakit tersebut masih jauh dari ekspektasi warga dan pemerintah sendiri.
Pemerintah berdalih, pembiayaan rumah sakit rujukan membutuhkan biaya besar, yang tidak mungkin dibebankan sepenuhnya pada APBD.
Sejak beroperasi, Pemprov Gorontalo hanya mampu mengalokasikan dana sebesar Rp279 miliar untuk pembangunan gedung dan operasional rumah sakit.
Sedangkan untuk belanja alat kesehatan, RS Ainun hanya mengandalkan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Kementrian Kesehatan.
Atas dasar itu, pemprov bersama sejumlah pihak terkait membahas peluang pembiayaan pembangunan RS Ainun melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).
Skema KPBU yang ditawarkan oleh pemerintah pusat, memungkinkan daerah yang tidak punya fasilitas layanan dasar untuk menggandeng pihak ketiga dalam hal pembangunan infrastruktur.
Dengan KPBU, pemda dapat membayar kepada pihak ketiga dengan cara dicicil dalam jangka waktu 18 hingga 20 tahun ke depan.
Secara kelembagaan KPBU terbentuk dari Kementerian Keuangan, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Bappenas, Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN) serta PT PII.
Ketentuan KPBU diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Ketentuan teknisnya diatur dalam Permen PPN/Bappenas Nomor 4 tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Ada juga Permendagri Nomor 96 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pembayaran Ketersediaan Layanan (Avaibility Payment) Dalam Rangka Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha untuk Penyediaan Infrastruktur di Daerah.
Rencana tersebut, langsung menuai kritik dari sejumlah pihak karena KPBU menggiring pemprov untuk berhutang dalam jangka waktu lama.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) sempat mengungkapkan penolakannya terhadap skema yang digunakan.
Ia mengaku khawatir pilihan untuk berhutang tersebut, akan merugikan rakyat karena membebani APBD.
Apalagi jika masa kepemimpinan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie berakhir dan berganti dengan kebijakan lain.
Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah Kemendagri, Mohamad Ardian Noverianto menjelaskan KPBU untuk pembangunan infrastruktur bukan termasuk hutang.
Ia menjelaskan ada tiga skema pembiayaan pemerintah yakni pinjaman, obligasi dan KPBU.
Dua pilihan pertama memiliki resiko bunga atau kupon untyuk obligasi, sedangkan KPBU tidak demikian.
"Kalo pilihannya adalah pinjaman, maka ada beban pokok pinjaman yang berartihutang, angkanya tidak bisa dicicil berpuluh tahun. Nah di Permendagri 96, pembayar AP (Avaibility Payment) itu bukan belanja hutang, tapi barang dan jasa. AP ini juga bisa sampai 50 tahun," ungkapnya.
Dalam rapat paripurna DPRD Provinsi Gorontalo pada November 2019, empat dari tujuh fraksi menyatakan setuju dengan pembangunan RS Ainun dan menggunakan sistem KPBU.
Fraksi Golkar menerima dan menyetujui, sedangkan Fraksi PPP, Gerindra dan Demokrat Nurani Bangsa menerima dengan berbagai catatan.
Fraksi Nasdem Amanat menyatakan belum mendapatkan keyakinan yang utuh dengan pola KPBU, Fraksi PKS memilih menerima tapi menolak sistem KPBU, dan Fraksi PDIP menyatakan belum menerima pola KPBU.
Persetujuan DPRD menjadi bagian paling penting dalam tahapan KPBU RS Ainun.
Setelah itu, tahapan berikutnya yakni proses lelang kepada calon investor yang berminat membangun dengan taksiran biaya lebih dari Rp800 miliar.
Jika tercapai kesepakatan maka rumah sakit itu akan dibangun sekaligus, lengkap dengan alat kesehatan dan standar pelayanan medis rumah sakit rujukan tipe B.
"Bagus juga kalau rumah sakit ini segera dibenahi, karena bagi kami pasien rumah sakit ini masih banyak kekurangannya. Dari segi kebersihan sih terjamin, tapi cari toilet saja susah, karena banyak yang sudah rusak dan tidak lancar airnya," ungkap salah seorang warga, Hartati Suleman. **
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
Halamannya masih memiliki banyak pepohonan, namun aktivitas di luar tak seramai rumah sakit pada umumnya.
Hanya tampak beberapa baris kendaraan parkir di sisi depan bangunan utama.
Bila masuk ke bangunan, pengunjung langsung mendapati pusat pelayanan dan bangku-bangku di ruang tunggu, sebelum masuk ke bagian Unit Gawat Darurat (UGD).
Bangunan yang berfungsi sebagai rumah sakit dan kantor, hanya yang berada di bagian depan.
Sedangkan bangunan besar di belakangnya adalah bekas sebuah mal yang kondisinya sudah retak dan sebagian ambruk.
Lokasi tersebut merupakan aset Pemerintah Kabupaten Gorontalo, yang dihibahkan ke Pemprov Gorontalo pada tahun 2012 untuk dimanfaatkan sebagai rumah sakit.
Pemprov Gorontalo saat itu menargetkan RS Ainun yang berstatus RSUD itu, mulai beroperasi tahun 2013.
Hingga tahun 2019, RS Ainun masih masuk kategori tipe C, dengan fasilitas 63 kamar inap, 19 dokter serta 75 tenaga medis.
Keinginan membangun rumah sakit tersebut, bermula dari kebutuhan pelayanan kesehatan di tingkat rujukan khusus penyakit mata, ginjal dan jantung.
Namun, selama beberapa tahun setelah beroperasi, rumah sakit tersebut baru fokus pada pelayanan kesehatan mata dan telah melakukan operasi katarak terhadap lebih dari 2.500 pasien.
Kepala Bapppeda Provinsi Gorontalo, Budiyanto Sidiki mengatakan keberadaan rumah sakit tersebut adalah kebutuhan mendesak.
Menurutnya rata-rata ada sekitar 2.481 pasien asal Gorontalo, yang dirujuk ke rumah sakit di luar daerah setiap tahun.
Para pasien itu dirujuk dari Rumah Sakit Aloei Saboe di Kota Gorontalo dan RS M.M Dunda di Kabupaten Gorontalo.
Rata-rata pasien dari Gorontalo dirujuk ke Manado, Makassar, Jakarta dan Surabaya.
"Jika dihutung biaya berobat ke luar daerah sekitar 12 hingga 15 juta, maka ada Rp59,4 miliar uang milik pasien yang habis untuk berobat selama satu minggu. Biaya ini bisa saja lebih, karena banyak kebutuhan lain," ungkapnya.
Di sisi lain, pemerintah provinsi hanya mampu mengalokasikan anggaran Rp1,25 miliar per tahun untuk pasien rujukan.
"Artinya hanya bisa mengakomodir 20-25 pasien kurang mampu, tergantung lokasi daerah dan rumah sakit yang dituju," tambahnya.
Skema KPBU
Meskipun sudah melayani pasien selama enam tahun, namun pembangunan rumah sakit tersebut masih jauh dari ekspektasi warga dan pemerintah sendiri.
Pemerintah berdalih, pembiayaan rumah sakit rujukan membutuhkan biaya besar, yang tidak mungkin dibebankan sepenuhnya pada APBD.
Sejak beroperasi, Pemprov Gorontalo hanya mampu mengalokasikan dana sebesar Rp279 miliar untuk pembangunan gedung dan operasional rumah sakit.
Sedangkan untuk belanja alat kesehatan, RS Ainun hanya mengandalkan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Kementrian Kesehatan.
Atas dasar itu, pemprov bersama sejumlah pihak terkait membahas peluang pembiayaan pembangunan RS Ainun melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).
Skema KPBU yang ditawarkan oleh pemerintah pusat, memungkinkan daerah yang tidak punya fasilitas layanan dasar untuk menggandeng pihak ketiga dalam hal pembangunan infrastruktur.
Dengan KPBU, pemda dapat membayar kepada pihak ketiga dengan cara dicicil dalam jangka waktu 18 hingga 20 tahun ke depan.
Secara kelembagaan KPBU terbentuk dari Kementerian Keuangan, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Bappenas, Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN) serta PT PII.
Ketentuan KPBU diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Ketentuan teknisnya diatur dalam Permen PPN/Bappenas Nomor 4 tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Ada juga Permendagri Nomor 96 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pembayaran Ketersediaan Layanan (Avaibility Payment) Dalam Rangka Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha untuk Penyediaan Infrastruktur di Daerah.
Rencana tersebut, langsung menuai kritik dari sejumlah pihak karena KPBU menggiring pemprov untuk berhutang dalam jangka waktu lama.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) sempat mengungkapkan penolakannya terhadap skema yang digunakan.
Ia mengaku khawatir pilihan untuk berhutang tersebut, akan merugikan rakyat karena membebani APBD.
Apalagi jika masa kepemimpinan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie berakhir dan berganti dengan kebijakan lain.
Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah Kemendagri, Mohamad Ardian Noverianto menjelaskan KPBU untuk pembangunan infrastruktur bukan termasuk hutang.
Ia menjelaskan ada tiga skema pembiayaan pemerintah yakni pinjaman, obligasi dan KPBU.
Dua pilihan pertama memiliki resiko bunga atau kupon untyuk obligasi, sedangkan KPBU tidak demikian.
"Kalo pilihannya adalah pinjaman, maka ada beban pokok pinjaman yang berartihutang, angkanya tidak bisa dicicil berpuluh tahun. Nah di Permendagri 96, pembayar AP (Avaibility Payment) itu bukan belanja hutang, tapi barang dan jasa. AP ini juga bisa sampai 50 tahun," ungkapnya.
Dalam rapat paripurna DPRD Provinsi Gorontalo pada November 2019, empat dari tujuh fraksi menyatakan setuju dengan pembangunan RS Ainun dan menggunakan sistem KPBU.
Fraksi Golkar menerima dan menyetujui, sedangkan Fraksi PPP, Gerindra dan Demokrat Nurani Bangsa menerima dengan berbagai catatan.
Fraksi Nasdem Amanat menyatakan belum mendapatkan keyakinan yang utuh dengan pola KPBU, Fraksi PKS memilih menerima tapi menolak sistem KPBU, dan Fraksi PDIP menyatakan belum menerima pola KPBU.
Persetujuan DPRD menjadi bagian paling penting dalam tahapan KPBU RS Ainun.
Setelah itu, tahapan berikutnya yakni proses lelang kepada calon investor yang berminat membangun dengan taksiran biaya lebih dari Rp800 miliar.
Jika tercapai kesepakatan maka rumah sakit itu akan dibangun sekaligus, lengkap dengan alat kesehatan dan standar pelayanan medis rumah sakit rujukan tipe B.
"Bagus juga kalau rumah sakit ini segera dibenahi, karena bagi kami pasien rumah sakit ini masih banyak kekurangannya. Dari segi kebersihan sih terjamin, tapi cari toilet saja susah, karena banyak yang sudah rusak dan tidak lancar airnya," ungkap salah seorang warga, Hartati Suleman. **
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019