Jakarta (ANTARA) - Tahun 2019 menjadi catatan sejarah bangsa Indonesia khususnya dalam perkembangan demokrasi dalam negeri karena pada tahun tersebut terlaksana pemilu legilatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) yang dilaksanakan secara langsung dan serentak.
Pemilu 2019 menjadi tonggak tegaknya kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya secara langsung meskipun kritikan tajam dilancarkan dari berbagai pihak, misalnya menguatnya politik identitas hingga terbelahnya masyarakat di tingkat akar rumput.
Keserentakan pileg dan pilpres tersebut diatur dalam Pasal 167 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan pelaksanaannya dilakukan langsung yang diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 2 UU Pemilu.
Hiruk pikuk Pemilu 2019 sangat didominasi pilpres dengan persaingan kontestasi dua kubu pasangan calon presiden/wakil presiden: Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Banyak pihak yang menyebut pertarungan tersebut merupakan "pertandingan ulang" antara Jokowi dan Prabowo karena di Pilpres 2014 keduanya menjadi rival dan pertarungan dimenangi Jokowi.
Pertarungan dua capres tersebut merupakan imbas dari aturan ambang batas partai politik ataupun gabungan parpol mengajukan capres/cawapres sebesar 20 persen.
Jokowi-Ma'ruf didukung enam partai yang ada di parlemen, yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai NasDem, PKB, PPP, dan Partai Hanura, yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja. Koalisi tersebut terbentuk pada bulan Agustus 2018 dan di dalamnya juga diisi parpol nonparlemen, yaitu PSI, Partai Perindo, PKPI, dan PBB.
Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) dipegang Erick Thohir yang membawahi 11 direktorat, yakni perencanaan, konten, komunikasi politik, media dan sosmed, kampanye, pemilih muda, penggalangan dan penjaringan, logistik dan alat peraga kampanye, hukum dan advokasi, serta saksi dan sukarelawan.
Sementara itu, Prabowo-Sandi didukung empat parpol yang ada di parlemen, yaitu Partai Gerindra, PKS, PAN, dan Partai Demokrat, yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur. Koalisi tersebut dibentuk pada bulan September 2018 dan di dalam koalisi tersebut juga diisi parpol nonparlemen, yaitu Partai Berkarya.
Koalisi tersebut dipimpin Djoko Santoso membawahi 19 direktorat yang membidangi konsolidasi nasional, pengamanan dan pengawasan, satuan tugas, penggalangan, sukarelawan, kampanye, komunikasi dan media, logistik, pemberdayaan potensi caleg, kelembagaan, informasi dan teknologi, advokasi dan hukum, saksi, serta monitor analisis dan evaluasi.
Koalisi tersebut akhirnya bubar pada bulan Juni 2019 setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pasangan Prabowo-Sandi dalam sengketa hasil Pilpres 2019.
Marak Kasus Hoaks
Meski Pemilu 2019 dilaksanakan pada tanggal 17 April, hiruk pikuknya sudah berlangsung jauh sebelum itu, misalnya maraknya kasus hoaks atau berita bohong yang mewarnai dinamika politik Indonesia menjelang pemilu.
Maraknya hoaks tersebut terjadi ketika mudahnya akses teknologi dalam menerima informasi yang berkembang. Namun, sayangnya tidak diiringi dengan logika dalam menangkap informasi yang ternyata bohong tersebut.
Berdasarkan data Kemenkominfo, terjadi peningkatan hoaks menjelang Pemilu 2019, misalnya pada bulan Februari 2019 ada 300 kasus hoaks, kemudian 1—20 Maret 2019 terdapat 200 peredaran hoaks. Hoaks yang bertebaran banyak menyorot soal cara-cara yang digunakan kedua calon presiden untuk meraih kemenangan dalam Pemilu 2019.
Untuk mengatasi permasalahan hoaks tersebut, Kemenkominfo membuat kanal khusus bagi aduan masyarakat yang menerima informasi elektronik yang patut diduga diragukan kebenarannya.
Selain itu, Pemilu 2019 juga menampilkan rivalitas yang keras dan sengit antara kubu Jokowi-Ma'ruf dan kubu Prabowo-Sandi, keduanya sama-sama menggunakan narasi kampanye yang saling menjelekan, saling serang, bahkan menjatuhkan pihak lawan.
Hal itu yang menjadi kritikan banyak pihak bahwa ide, gagasan, serta visi dan misi para kandidat belum bisa mewarnai arena kontestasi Pilpres 2019. Narasi saling menjatuhkan tersebut ternyata makin menegaskan "garis" polarisasi di tengah masyarakat sehingga masing-masing pendukung mengambil sikap bermusuhan untuk membela "jagoannya" dalam kontestasi.
Pemilu serentak yang baru pertama kali dilaksanakan, meninggalkan persoalan seperti sebanyak 469 penyelenggara pemilu meninggal dunia dan 4.602 orang sakit. Penyelenggara yang dimaksud meliputi panitia pemilihan kecamatan (PPK), panitia pemungutan suara (PPS), dan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).
Kejadian tersebut disebabkan kelelahan saat menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu karena harus bekerja lebih dari 24 jam sampai penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS).
Namun, yang patut digarisbawahi adalah Pemilu 2019 memang berfokus pada arena pertarungan pilpres, sedangkan pileg sepi dari hiruk pikuk kontestasi sehingga imbasnya, pertarungan gagasan antarcalon anggota legislatif tidak seramai pilpres.
Masalah lain adalah pemilih dihadapi kebingungan dalam memilih calon anggota legislatif karena fokus masyarakat pada pilpres.
Di Pemilu 2019, pemilih harus mencoblos lima surat suara dalam satu waktu, yaitu Presiden/Wakil Presiden, DPR RI, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, dan DPD RI sehingga menimbulkan kebingungan dalam menentukan pilihannya.
Kebingungan para pemilih tersebut diduga menjadi penyebab tingginya suara tidak sah dalam Pemilu 2019, misalnya suara sah pilpres sebanyak 154.257.601, sedangkan suara tidak sah berjumlah 3.754.905. Sementara itu, suara sah pileg sebanyak 139.971.260, sedangkan suara tidak sah mencapai 17.503.953.
Sementara itu, pemilu serentak juga mencatatkan keberhasilan dalam penyelenggaraannya, misalnya tingkat partisipasi politik masyarakat sebesar 81 persen, atau meningkat 10 persen dibandingkan Pemilu 2014. Angka tersebut melampaui target nasional terkait dengan partisipasi pemilih yang mematok angka 77,5 persen.
Berdasarkan data KPU RI, jumlah pemilih di Pemilu 2019 yang berada di dalam maupun luar negeri mencapai 199.987.870 orang, sedangkan pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 158.012.506 orang.
Langkah Perbaikan Pemilu
Hasil Pemilu 2019 menunjukkan pasangan Jokowi-Ma'ruf memperoleh 85.607.362 atau 55,50 persen suara, unggul dari pasangan Prabowo-Sandi yang mendapatkan 68.650.239 atau 44,50 persen suara sehingga selisih suara kedua pasangan tersebut mencapai 16.957.123 atau 11 persen suara.
Hasil tersebut menegaskan bahwa Jokowi-Ma'ruf memenangi pertarungan Pilpres 2019, dan menjadi Presiden-Wakil Presiden 2019—2024. Meskipun kubu Prabowo-Sandi mengajukan gugatan sengketa pilpres, ditolak MK.
Setelah pengumuman pemenang Pilpres 2019, ada satu persoalan yang harus diselesaikan oleh semua elite politik dalam negeri, yaitu mengakhiri polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat karena dampak Pilpres 2019.
Semua pihak menyadari bahwa polarisasi yang berkepanjangan akan membuat dampak negatif bagi bangsa Indonesia sehingga penting disadari langkah mengakhiri polarisasi harus segera dilakukan.
Salah satu momentum yang menjadi catatan penting pasca-Pilpres 2019 adalah pertemuan Jokowi dengan Prabowo Subianto di Stasiun Lebak Bulus Jakarta pada pekan kedua Juli 2019. Pertemuan tersebut diapresiasi semua pihak karena merupakan upaya mengakhiri polarisasi masyarakat sekaligus menegaskan bahwa masyarakat Indonesia harus bersatu pasca-Pilpres 2019.
Jokowi dan Prabowo sama-sama menegaskan bahwa saat ini sudah tidak ada lagi kubu "01" dan "cebong" yang merupakan sebutan untuk pendukung Jokowi-Ma'ruf serta tidak ada "02" dan "kampret" untuk pendukung Prabowo-Sandi.
Peristiwa tersebut merupakan momen yang menarik sebelum Jokowi-Ma'ruf dilantik menjadi Presiden-Wapres 2019—2024 pada tanggal 20 Oktober 2019. Hal ini agar tidak ada "ganjalan" di tengah masyarakat yang merupakan efek Pilpres 2019.
Langkah untuk mengakhiri polarisasi masyarakat juga dilakukan dengan menyatunya dua kubu yang saling berebut kekuasaan di Pilpres 2019, yaitu bergabungnya Partai Gerindra di dalam pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Tidak tanggung-tanggung, Prabowo yang menjadi rival Jokowi di Pilpres menjadi Menteri Pertahanan dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Banyak pihak yang menentang masuknya Gerindra dalam pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Ada yang menilai dibutuhkan peran oposisi yang kuat sehingga mekanisme check and balances berjalan baik sehingga Gerindra bisa memainkan peran tersebut bersama PKS, PAN, dan Partai Demokrat di luar pemerintahan.
Selain itu, ada juga yang menilai kalau Gerindra bergabung dalam pemerintahan, koalisi akan sangat "gemuk" karena sebelumnya telah diisi lima partai di DPR RI, yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar, NasDem, PKB, dan PPP, lalu beberapa parpol di luar DPR, seperti PSI, PKPI, Partai Perindo, dan PBB.
Namun, tetap saja Gerindra masuk dalam koalisi pemerintahan dengan mendapatkan dua kursi menteri, sedangkan empat partai politik yang dahulu mengusung Prabowo-Sandi di Pilpres 2019 memilih di luar pemerintahan, yaitu PKS, Partai Demokrat, PAN, dan Partai Berkarya.
Berbagai permasalahan yang terjadi di Pemilu 2019, mulai dari meninggalnya ratusan penyelenggara pemilu, polarisasi masyarakat, hingga kisruh daftar pemilih tetap menyebabkan mulai menguatnya evaluasi terhadap pelaksanaan pemilu.
Revisi UU Pemilu
Wacana tersebut menguat setelah dilantiknya anggota DPR RI periode 2019—2024, atau menjelang akhir tahun 2019 dan "pintu masuk" evaluasi tersebut adalah merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Ada beberapa wacana yang menguat dalam revisi UU Pemilu tersebut, misalnya memisahkan pelaksanaan pilpres dan pileg karena keserentakan pemilu dianggap membuat beban penyelenggara pemilu makin berat sehingga menyebabkan banyak yang meninggal.
Selain itu, langkah untuk meringankan beban kerja penyelenggara pemilu adalah dengan cara menggunakan rekap elektronik karena bisa memangkas waktu kerja penyelenggara yang selama ini melakukan penghitungan dan rekap secara manual.
Usulan lain adalah mengubah ambang batas partai politik atau gabungan parpol mengajukan capres/cawapres atau presidential threshold yang sebelumnya 20 persen. Usulannya pun beragam, ada yang mengusulkan 10 persen, 15 persen, dan bahkan ada usulan disamakan dengan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.
Presidential threshold yang tinggi dinilai menyebabkan hanya ada dua pasangan calon yang ikut kontestasi pilpres sehingga memperkuat polarisasi masyarakat. Oleh karena itu, diharapkan ketika presidential threshold turun, pasangan calon makin banyak dan polarisasi masyarakat tidak terlalu menguat.
Proses berdemokrasi yang dijalani Indonesia pada tahun 2019 memang harus diakui sangat berat karena banyak yang dikorbankan dalam mewujudkan suksesi kepemimpinan pada tahun tersebut. Tentu saja proses berdemokrasi di Indonesia seharusnya minim kesalahan dan korban karena terlalu naif kalau dikatakan pendewasaan politik dan demokrasi harus dibayar dengan jatuhnya korban jiwa dari anak bangsa ini.
Oleh karena itu, kesadaran politik jangan hanya diberikan kepada masyarakat di akar rumput. Namun, ditekankan kepada para elite, yaitu jangan menggunakan isu-isu yang dapat memecah belah masyarakat hanya untuk kepentingan elektoral sesaat.
Elite politik harus sadar bahwa kedaulatan rakyat harus diwujudkan dengan menjauhkan masyarakat dari narasi-narasi berdemokrasi yang saling menghina dan saling menjelekkan.
Kilas balik Pemilu 2019 dan penguatan sistem demokrasi
Sabtu, 28 Desember 2019 11:22 WIB