Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Aceh mencatat sepanjang tahun 2019 terdapat 123 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mereka tangani atau mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2018 dengan 115 kasus.

Dilihat dari wilayah yang paling banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani oleh LBH APIK Aceh adalah Lhokseumawe 41 kasus, Bener Meriah 40 kasus, Aceh Utara 37 kasus, Bireuen 2 kasus, Banda Aceh 1 kasus, Aceh Tamiang 1 kasus.

"Dari jumlah perkara tersebut, kasus KDRT masih mendominasi, pada tahun 2019 terdapat 67 kasus, kemudian disusul kasus pemerkosaan 31 kasus dan delapan kasus pelecehan serta diikuti dengan kasus lainnya," kata Direktur LBH APIK Aceh Roslina Rasyid di Lhokseumawe, Senin (24/2).

Roslina menyebutkan, dari ranah pelaku, 71 persen pelaku dikenal korban dan memiliki hubungan personal dengan korbannya. Sedangkan 29 persen pelaku yang melakukan kekerasan berada di ranah publik atau tidak kenal.

"Sebanyak 38 persen korban kekerasan seksual berusia 3 sampai 18 tahun dan sisanya 62 persen korban berusia diatas 19 tahun," katanya.

Dikatakannya, kekerasan terhadap perempuan dan anak ini masih dipicu beberapa faktor. Salah satunya karena belum terimplementasikan dengan baik penegakan hukum kepada kaum perempuan.

"Sistem pembuktian yang tidak berperspektif, menyebabkan sebagian besar pelaku kejahatan bebas dari jeratan hukum. Selain itu faktor utama lainnya yakni kurangnya pondasi ketahanan dalam rumah tangga, terkait ekonomi, komunikasi," katanya.

Kemudian, kata dia, data LBH APIK Aceh memperlihatkan bahwa korban kekerasan dapat mengalami lebih dari satu jenis kekerasan dan memiliki dampak yang sangat buruk bagi korban.

"Berbagai kekerasan yang dialami perempuan memiliki beragam dampak, namun yang paling besar adalah dampak psikologis yaitu sebesar 95 persen. Hal ini kemudian menyebabkan korban menanggung beban mental yang berat dan stres serta timbul keinginan bunuh diri akibat tekanan psikologis," katanya.

Roslina mengharapkan dengan adanya regulasi yang jelas serta dapat diimplementasi, kasus kekerasan di Aceh dapat ditangani dengan baik dan korban kekerasan dapat mengakses keadilan dan pemulihan yang menjadi hak mereka.

"Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memastikan komitmen dan dukungan dengan menyediakan anggaran, karena selama ini anggaran sangat minim untuk menangani kasus-kasus tersebut," katanya.

Kemudian, pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga harus menjamin perlindungan dan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan seksual.

Pewarta: Dedy Syahputra

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020