Corona baru virus yang viral setelah ditemukan pertama kali menimpa warga Wuhan, China akhir tahun lalu, kemudian merambah ke berbagai negara di dunia, dan saat ini menjadi persoalan serius di negeri kepulauan, ini.
Virus corona baru yang kemudian ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan sebutan COVID-19 menerpa dunia hingga tataran pandemi, bukan hanya menerjang manusia berdaya tahan drop atau menjadi picu sakit yang diidapnya makin parah hingga mengantar sampai ujung napas dan detak jantung kehidupan terakhir.
Data terkait dengan pasien corona terus mengalami perubahan. Hingga Selasa (31/3) petang, layanan percakapan daring COVID19.GO.ID yang dibuka Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 memberikan informasi bahwa secara global virus itu merambah 204 negara atau kawasan dengan 697.244 kasus dan 33.257 kematian, sedangkan di Indonesia 1.528 positif, 136 meninggal dunia, dan 81 sembuh.
Sejumlah media melaporkan tiga negara dengan kasus terbesar, yakni Amerika Serikat, Italia, dan Spanyol. China di posisi keempat dan Indonesia ke-26 di antara 50 negara dengan kasus cukup banyak. Italia dengan korban terbesar meninggal dunia, disusul Spanyol, China, dan Amerika Serikat.
Di antara 34 provinsi di Indonesia, lima provinsi dengan serangan terbesar, yakni DKI Jakarta 747 orang terkonfirmasi positif, 83 meninggal dunia, 48 sembuh, Jawa Barat 198 positif, 21 meninggal dunia, dan 11 sembuh, Banten 142 positif, empat meninggal, dan 11 sembuh, Jawa Tengah 93 positif, tujuh meninggal, dan belum ada yang sembuh, serta Jawa Timur 93 positif, delapan meninggal, dan 16 sembuh.
Virus corona baru memang serangan dahsyat mengarah kepada kesehatan manusia menjalar kepada penularan. Oleh karena dahsyatnya pandemi COVID-19 itu, perlawanannya pun mengedepankan kekuatan kesehatan sebagai panglima.
Dampak pandemi dirasakan luar biasa, meskipun dalam catatan sejarah menunjukkan virus bukan hanya menyerang pada abad 21 ini. Sejak berabad-abad lalu serangan, entah karena virus atau penyebab penyakit menular lainnya, dalam skala luas dengan korban massal, hingga saat ini populer dengan sebutan wabah.
Dalam dunia kesehatan ada tingkatan serangan penyakit secara merebak, seperti endemi, epidemi atau wabah, dan pandemi, sedangkan dalam masyarakat Jawa ada sebutan kondang, yakni pagebluk dengan sawan sebagai sebutan untuk suatu penyakit yang tiba-tiba menyerang dan merebak, serta mengakibatkan kematian.
Serangan masif virus corona baru bukan hanya mengakibatkan gangguan kesehatan dan peningkatan jumlah kematian, namun dampak viralnya ke berbagai sendi kehidupan manusia, seperti ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, dan bahkan politik.
Popularitas kata viral kini bukan hanya tersekat dalam dunia informasi melalui kemajuan teknologi informatika abad ini dalam wujud telepon cerdas, internet, dan media sosial. COVID-19 viral juga hingga menyerang berbagai aspek kehidupan.
Sebut saja misalnya menyerang nilai rupiah yang melemah, pasar-pasar sepi, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan penanganan, seperti pembatasan sosial, pengaturan jarak antarorang, memperluas skala pembatasan sosial, menganjurkan ibadah berjamaah sementara waktu ditiadakan, kegiatan sekolah dan perkuliahan dialihkan secara daring dari rumah, aparatur bekerja dari rumah, tradisi budaya bersalaman atau cipika cipiki terhenti, tradisi budaya Jawa, "Ruwahan" (menjelang Bulan Puasa Ramadhan) harus disetel ulang wujudnya, termasuk penundaan tahapan pesta demokrasi.
Corona dan jejak budaya
Gegara virus corona baru pula kalangan pelaku seni dan budaya melahirkan ciptaan barunya, seperti yang telah nampak mengemuka di internet maupun viral di media sosial berupa karya-karya baru dan semarak tentang musik dan lagu bernuansa COVID-19.
Begitu pula terjadinya penguatan kesadaran atas tradisi budaya masyarakat Jawa minum jamu (berbahan baku empon-empon) yang makin dimengerti sebagai bermanfaat memperkuat daya tahan tubuh dalam menghadapi sentuhan COVID-19.
Seorang pelukis di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Easting Medi, bahkan memperkuat olah kesenimanannya secara autodidak selama ini, dengan penggunaan pewarna berbahan baku jamu yang telah dirintis setidaknya sejak 2002 dengan memanfaatkan potensi empon-empon di lingkungan desanya.
Alam budaya Jawa menunjuk lampor yang diwujudkan orang-orang desa secara berbeda-beda menggambarkan suasana horor yang tak lepas dari peristiwa kematian.
Ada kalangan menggambarkan lampor sebagai kereta kencana dengan kuda yang aksesorisnya berupa krincing membawa Nyai Roro Kidul (penguasa Laut Selatan Jawa) melintasi Sungai Progo untuk menuju Gunung Merapi.
Ketika orang mendengar suara itu, maka mereka harus berdiam diri di dalam rumah masing-masing supaya tidak mendapatkan malapetaka dan kematian.
Namun ada juga kalangan lain menggambarkan lampor sebagai sosok-sosok sedang mengusung keranda pada malam hari dengan suasana senyap dan bergegas melintasi desa sehingga suasana menjadi horor. Orang desa harus segera berada di dalam rumah ketika melihat tanda-tanda lampor lewat.
Sosok banaspati dimengerti sebagai pembawa kabar kematian massal warga desa dalam wujud kilatan-kilatan api membentuk naga, sehingga mereka harus waspada dan berhati-hati, termasuk lebih banyak tinggal di rumah untuk sementara waktu.
Begitu seorang pemimpin salah satu kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Sujono Keron, ketika mengungkapkan cara pandang warga desanya di kawasan antara Gunung Merapi dan Merbabu tentang banaspati.
Demikian pula dengan tradisi masyarakat Jawa tentang penggunaan irisan dlingo dan bengle teronce menjadi gelang untuk jabang bayi yang dianggap sebagai tolak balak. Boleh jadi tradisi itu sebagai upaya orang Jawa menangkal sawan.
Penempatan berbagai sesaji dalam rumah atau lingkungan pemukiman warga dusun dalam tradisi Jawa, barangkali tidak lepas dari kisah nyata nenek moyang Jawa menghalau sawan secara massal.
Mirisnya, tradisi itu malah dianggap sebagai klenik yang dianggap bagian jalan perdukunan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Bukankah dunia perdukunan dan pertabiban sesungguhnya tidak lepas dari sektor kesehatan dan pengobatan manusia dari sakit, setidaknya pada zamannya.
"Karena sudah dianggap tradisi, lalu jadi pakem, dan orang tidak berpikir lagi, melakukan pembaruan makna dan menalar. Bahkan, kalau tidak sama dianggap melanggar tradisi dan menimbulkan pagebluk. 'Sing penting sajene komplit' (Yang penting sesaji sudah lengkap)," kata budayawan Magelang Sutanto Mendut.
Peristiwa dahsyat baik karena alam maupun nonalam melahirkan karya budaya pada zamannya. Letusan Gunung Krakatau pada 26-28 Agustus 1883 membuat pengarang, Muhammad Saleh melahirkan "Syair Lampung Karam" terdiri 374 bait dan bercerita secara jurnalistik-sastra tentang air dan hujan abu menerjang Lampung.
Letusan dahsyat Gunung Tambora pada April 1815 membuat hilangnya hampir separuh gunung berapi di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, melenyapkan tiga kerajaan, yakni Tambora, Pekat, serta Sanggar. Dampak letusan itu, Eropa gelap, tanpa cahaya Matahari, dan tak ada musim panas selama 1816. Langit Eropa tertutup abu vulkanik dari letusan Tambora.
Peristiwa besar itu bukan saja mengakibatkan krisis pangan dan penularan penyakit, serta kematian, tetapi juga melahirkan novel "Frankenstein" (Mary Shelley) dengan kisah horor tentang vampir yang masih dijumpai dalam berbagai variannya, hadir melalui media seni dan budaya hingga saat ini.
Demikian pula virus corona dengan kekuatan viralnya pada era kemajuan teknologi informasi saat ini, bukan hanya melahirkan kesedihan saat pandemi itu menerjang, tetapi boleh jadi melahirkan karya-karya seni budaya untuk menandai zaman milenial ini.
Setidaknya, bagi Sujono Keron yang sedang bertafakur atas inspirasi pandemi COVID-19 untuk menjadi karya baru atas eksplorasi dunia pewayangan serangga yang diciptakan selama ini, menjadi wayang sawan serangga atau wayang korona serangga.
Begitu juga dengan pelukis Borobudur, Easting Medi, dengan kekhasan karya lukisnya berupa kepala Buddha dan relief candi selama ini. Boleh jadi penggunaan pewarna empon-empon untuk lukisannya, menginspirasi pemanfaatan jamu untuk karya dan ciptaan baru beragam seni budaya lainnya.
Barangkali pula serangan COVID-19 membuat kampanye hidup bersih dan sehat orang dalam hidup sehari-hari, disiplin terhadap aturan, pemuliaan terhadap karakter dan nilai luhur bangsa, beroleh momentum menjadi tradisi budaya yang mengakar secara kukuh di negeri ini.
Pandemi virus itu bukan sekadar potongan peristiwa masyarakat global, tetapi memviralkan suatu kekuatan dahsyat bagi masa depan sendi-sendi kehidupan manusia.
Mungkin boleh diimpikan bahwa munculnya virus corona baru abad ini bakal melahirkan jejak baru kebudayaan bangsa ini dan cara masyarakat global membangun peradaban baru.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020
Virus corona baru yang kemudian ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan sebutan COVID-19 menerpa dunia hingga tataran pandemi, bukan hanya menerjang manusia berdaya tahan drop atau menjadi picu sakit yang diidapnya makin parah hingga mengantar sampai ujung napas dan detak jantung kehidupan terakhir.
Data terkait dengan pasien corona terus mengalami perubahan. Hingga Selasa (31/3) petang, layanan percakapan daring COVID19.GO.ID yang dibuka Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 memberikan informasi bahwa secara global virus itu merambah 204 negara atau kawasan dengan 697.244 kasus dan 33.257 kematian, sedangkan di Indonesia 1.528 positif, 136 meninggal dunia, dan 81 sembuh.
Sejumlah media melaporkan tiga negara dengan kasus terbesar, yakni Amerika Serikat, Italia, dan Spanyol. China di posisi keempat dan Indonesia ke-26 di antara 50 negara dengan kasus cukup banyak. Italia dengan korban terbesar meninggal dunia, disusul Spanyol, China, dan Amerika Serikat.
Di antara 34 provinsi di Indonesia, lima provinsi dengan serangan terbesar, yakni DKI Jakarta 747 orang terkonfirmasi positif, 83 meninggal dunia, 48 sembuh, Jawa Barat 198 positif, 21 meninggal dunia, dan 11 sembuh, Banten 142 positif, empat meninggal, dan 11 sembuh, Jawa Tengah 93 positif, tujuh meninggal, dan belum ada yang sembuh, serta Jawa Timur 93 positif, delapan meninggal, dan 16 sembuh.
Virus corona baru memang serangan dahsyat mengarah kepada kesehatan manusia menjalar kepada penularan. Oleh karena dahsyatnya pandemi COVID-19 itu, perlawanannya pun mengedepankan kekuatan kesehatan sebagai panglima.
Dampak pandemi dirasakan luar biasa, meskipun dalam catatan sejarah menunjukkan virus bukan hanya menyerang pada abad 21 ini. Sejak berabad-abad lalu serangan, entah karena virus atau penyebab penyakit menular lainnya, dalam skala luas dengan korban massal, hingga saat ini populer dengan sebutan wabah.
Dalam dunia kesehatan ada tingkatan serangan penyakit secara merebak, seperti endemi, epidemi atau wabah, dan pandemi, sedangkan dalam masyarakat Jawa ada sebutan kondang, yakni pagebluk dengan sawan sebagai sebutan untuk suatu penyakit yang tiba-tiba menyerang dan merebak, serta mengakibatkan kematian.
Serangan masif virus corona baru bukan hanya mengakibatkan gangguan kesehatan dan peningkatan jumlah kematian, namun dampak viralnya ke berbagai sendi kehidupan manusia, seperti ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, dan bahkan politik.
Popularitas kata viral kini bukan hanya tersekat dalam dunia informasi melalui kemajuan teknologi informatika abad ini dalam wujud telepon cerdas, internet, dan media sosial. COVID-19 viral juga hingga menyerang berbagai aspek kehidupan.
Sebut saja misalnya menyerang nilai rupiah yang melemah, pasar-pasar sepi, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan penanganan, seperti pembatasan sosial, pengaturan jarak antarorang, memperluas skala pembatasan sosial, menganjurkan ibadah berjamaah sementara waktu ditiadakan, kegiatan sekolah dan perkuliahan dialihkan secara daring dari rumah, aparatur bekerja dari rumah, tradisi budaya bersalaman atau cipika cipiki terhenti, tradisi budaya Jawa, "Ruwahan" (menjelang Bulan Puasa Ramadhan) harus disetel ulang wujudnya, termasuk penundaan tahapan pesta demokrasi.
Corona dan jejak budaya
Gegara virus corona baru pula kalangan pelaku seni dan budaya melahirkan ciptaan barunya, seperti yang telah nampak mengemuka di internet maupun viral di media sosial berupa karya-karya baru dan semarak tentang musik dan lagu bernuansa COVID-19.
Begitu pula terjadinya penguatan kesadaran atas tradisi budaya masyarakat Jawa minum jamu (berbahan baku empon-empon) yang makin dimengerti sebagai bermanfaat memperkuat daya tahan tubuh dalam menghadapi sentuhan COVID-19.
Seorang pelukis di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Easting Medi, bahkan memperkuat olah kesenimanannya secara autodidak selama ini, dengan penggunaan pewarna berbahan baku jamu yang telah dirintis setidaknya sejak 2002 dengan memanfaatkan potensi empon-empon di lingkungan desanya.
Alam budaya Jawa menunjuk lampor yang diwujudkan orang-orang desa secara berbeda-beda menggambarkan suasana horor yang tak lepas dari peristiwa kematian.
Ada kalangan menggambarkan lampor sebagai kereta kencana dengan kuda yang aksesorisnya berupa krincing membawa Nyai Roro Kidul (penguasa Laut Selatan Jawa) melintasi Sungai Progo untuk menuju Gunung Merapi.
Ketika orang mendengar suara itu, maka mereka harus berdiam diri di dalam rumah masing-masing supaya tidak mendapatkan malapetaka dan kematian.
Namun ada juga kalangan lain menggambarkan lampor sebagai sosok-sosok sedang mengusung keranda pada malam hari dengan suasana senyap dan bergegas melintasi desa sehingga suasana menjadi horor. Orang desa harus segera berada di dalam rumah ketika melihat tanda-tanda lampor lewat.
Sosok banaspati dimengerti sebagai pembawa kabar kematian massal warga desa dalam wujud kilatan-kilatan api membentuk naga, sehingga mereka harus waspada dan berhati-hati, termasuk lebih banyak tinggal di rumah untuk sementara waktu.
Begitu seorang pemimpin salah satu kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Sujono Keron, ketika mengungkapkan cara pandang warga desanya di kawasan antara Gunung Merapi dan Merbabu tentang banaspati.
Demikian pula dengan tradisi masyarakat Jawa tentang penggunaan irisan dlingo dan bengle teronce menjadi gelang untuk jabang bayi yang dianggap sebagai tolak balak. Boleh jadi tradisi itu sebagai upaya orang Jawa menangkal sawan.
Penempatan berbagai sesaji dalam rumah atau lingkungan pemukiman warga dusun dalam tradisi Jawa, barangkali tidak lepas dari kisah nyata nenek moyang Jawa menghalau sawan secara massal.
Mirisnya, tradisi itu malah dianggap sebagai klenik yang dianggap bagian jalan perdukunan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Bukankah dunia perdukunan dan pertabiban sesungguhnya tidak lepas dari sektor kesehatan dan pengobatan manusia dari sakit, setidaknya pada zamannya.
"Karena sudah dianggap tradisi, lalu jadi pakem, dan orang tidak berpikir lagi, melakukan pembaruan makna dan menalar. Bahkan, kalau tidak sama dianggap melanggar tradisi dan menimbulkan pagebluk. 'Sing penting sajene komplit' (Yang penting sesaji sudah lengkap)," kata budayawan Magelang Sutanto Mendut.
Peristiwa dahsyat baik karena alam maupun nonalam melahirkan karya budaya pada zamannya. Letusan Gunung Krakatau pada 26-28 Agustus 1883 membuat pengarang, Muhammad Saleh melahirkan "Syair Lampung Karam" terdiri 374 bait dan bercerita secara jurnalistik-sastra tentang air dan hujan abu menerjang Lampung.
Letusan dahsyat Gunung Tambora pada April 1815 membuat hilangnya hampir separuh gunung berapi di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, melenyapkan tiga kerajaan, yakni Tambora, Pekat, serta Sanggar. Dampak letusan itu, Eropa gelap, tanpa cahaya Matahari, dan tak ada musim panas selama 1816. Langit Eropa tertutup abu vulkanik dari letusan Tambora.
Peristiwa besar itu bukan saja mengakibatkan krisis pangan dan penularan penyakit, serta kematian, tetapi juga melahirkan novel "Frankenstein" (Mary Shelley) dengan kisah horor tentang vampir yang masih dijumpai dalam berbagai variannya, hadir melalui media seni dan budaya hingga saat ini.
Demikian pula virus corona dengan kekuatan viralnya pada era kemajuan teknologi informasi saat ini, bukan hanya melahirkan kesedihan saat pandemi itu menerjang, tetapi boleh jadi melahirkan karya-karya seni budaya untuk menandai zaman milenial ini.
Setidaknya, bagi Sujono Keron yang sedang bertafakur atas inspirasi pandemi COVID-19 untuk menjadi karya baru atas eksplorasi dunia pewayangan serangga yang diciptakan selama ini, menjadi wayang sawan serangga atau wayang korona serangga.
Begitu juga dengan pelukis Borobudur, Easting Medi, dengan kekhasan karya lukisnya berupa kepala Buddha dan relief candi selama ini. Boleh jadi penggunaan pewarna empon-empon untuk lukisannya, menginspirasi pemanfaatan jamu untuk karya dan ciptaan baru beragam seni budaya lainnya.
Barangkali pula serangan COVID-19 membuat kampanye hidup bersih dan sehat orang dalam hidup sehari-hari, disiplin terhadap aturan, pemuliaan terhadap karakter dan nilai luhur bangsa, beroleh momentum menjadi tradisi budaya yang mengakar secara kukuh di negeri ini.
Pandemi virus itu bukan sekadar potongan peristiwa masyarakat global, tetapi memviralkan suatu kekuatan dahsyat bagi masa depan sendi-sendi kehidupan manusia.
Mungkin boleh diimpikan bahwa munculnya virus corona baru abad ini bakal melahirkan jejak baru kebudayaan bangsa ini dan cara masyarakat global membangun peradaban baru.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020