Perseroan Terbatas Pos Indonesia mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos karena merasa kehilangan hak eksklusif sebagai pos negara.
Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi, Jumat, PT Pos Indonesia bersama pengguna layanan pos perseorangan bernama Harry Setya Putra mengajukan pengujian Pasal 1 angka 2, Pasal 15, Pasal 51, serta Pasal 1 angka 8, Pasal 27 Ayat (2), Pasal 29 Ayat (2), Pasal 30, dan Pasal 46 UU Pos.
Dalam permohonannya, pembuat undang-undang disebut lebih condong melakukan upaya liberalisasi penyelenggaraan pos dengan banyaknya penyedia jasa layanan pos dan pengiriman swasta.
Undang-undang itu disebut para pemohon membuka akses bebas terbentuknya penyelenggara pos sehingga perusahaan pelat merah itu kesulitan dalam bersaing.
PT Pos Indonesia merasa tidak berbeda dengan penyelenggara pos nonnegara, padahal masih dibebani kewajiban menyelenggarakan pelayanan umum berupa layanan pos universal di seluruh Tanah Air.
"Penyelenggara pos swasta tidak dibebani dengan kewajiban tersebut. Hal inilah yang menjadikan pemohon sebagai penyelenggara pos negara menjadi tidak bisa optimal dalam memberikan pelayanan," kata pemohon dalam permohonannya.
Sementara itu, pengguna layanan pos Harry Setya Putra yang haknya merasa berpotensi dilanggar mempersoalkan undang-undang itu menyamakan surat dengan paket, logistik, dan uang karena istilah yang digunakan sama-sama "kiriman".
Ia khawatir kerahasiaan surat tidak lagi terjaga karena penyelenggara pos memiliki kewenangan untuk membuka dan memeriksa isi surat.
Untuk itu, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Pos bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020
Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi, Jumat, PT Pos Indonesia bersama pengguna layanan pos perseorangan bernama Harry Setya Putra mengajukan pengujian Pasal 1 angka 2, Pasal 15, Pasal 51, serta Pasal 1 angka 8, Pasal 27 Ayat (2), Pasal 29 Ayat (2), Pasal 30, dan Pasal 46 UU Pos.
Dalam permohonannya, pembuat undang-undang disebut lebih condong melakukan upaya liberalisasi penyelenggaraan pos dengan banyaknya penyedia jasa layanan pos dan pengiriman swasta.
Undang-undang itu disebut para pemohon membuka akses bebas terbentuknya penyelenggara pos sehingga perusahaan pelat merah itu kesulitan dalam bersaing.
PT Pos Indonesia merasa tidak berbeda dengan penyelenggara pos nonnegara, padahal masih dibebani kewajiban menyelenggarakan pelayanan umum berupa layanan pos universal di seluruh Tanah Air.
"Penyelenggara pos swasta tidak dibebani dengan kewajiban tersebut. Hal inilah yang menjadikan pemohon sebagai penyelenggara pos negara menjadi tidak bisa optimal dalam memberikan pelayanan," kata pemohon dalam permohonannya.
Sementara itu, pengguna layanan pos Harry Setya Putra yang haknya merasa berpotensi dilanggar mempersoalkan undang-undang itu menyamakan surat dengan paket, logistik, dan uang karena istilah yang digunakan sama-sama "kiriman".
Ia khawatir kerahasiaan surat tidak lagi terjaga karena penyelenggara pos memiliki kewenangan untuk membuka dan memeriksa isi surat.
Untuk itu, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Pos bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020