Mesir telah menandatangani kontrak dengan Prancis untuk membeli 30 jet tempur Rafale, kata kementerian pertahanannya dalam sebuah pernyataan pada Selasa pagi.
Menurut laman investigasi Disclose pada Senin (3/5), kontrak itu tertuang dalam kesepakatan yang bernilai 3,75 miliar euro (Rp65,1 triliun).
Presiden Emmanuel Macron mengatakan pada Desember dia tidak akan menjual
senjata ke Mesir atas dasar pertimbangan pada hak asasi manusia karena dia tidak ingin melemahkan kemampuan Kairo untuk melawan terorisme di kawasan itu.
Pernyataan itu memicu kemarahan para kritikus.
Kementerian pertahanan Mesir mengatakan kesepakatan itu akan dibiayai melalui pinjaman yang akan dibayar kembali selama setidaknya 10 tahun, tetapi tidak mengungkapkan nilai kesepakatan atau rincian lebih lanjut.
Mengutip dokumen rahasia, Disclose mengatakan kesepakatan itu telah diteken pada akhir April dan dapat dijamin kepastiannya pada Selasa ketika delegasi Mesir tiba di Paris.
Kesepakatan ini akan menjadi dorongan lebih lanjut untuk pesawat tempur buatan Dassault setelah kesepakatan 2,5 miliar euro (Rp43,5 triliun) diselesaikan pada Januari untuk penjualan 18 Rafale ke Yunani.
Kesepakatan Mesir juga dilaporkan mencakup kontrak untuk penyedia rudal MBDA dan penyedia peralatan Safran Electronics & Defense yang bernilai 200 juta euro (Rp3,4 triliun) lagi.
Kementerian keuangan, luar negeri, dan angkatan bersenjata Prancis belum dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Prancis adalah pemasok senjata utama ke Mesir antara 2013-2017, termasuk penjualan 24 pesawat tempur dengan opsi 12 lagi. Kontrak-kontrak itu telah selesai, termasuk kesepakatan untuk lebih banyak jet Rafale dan kapal perang yang telah berada pada tahap lanjutan.
Para diplomat mengatakan penjualan senjata Prancis ke Mesir sangat berkaitan dengan masalah pembiayaan karena kekhawatiran tentang kemampuan jangka panjang Kairo untuk membayar kembali pinjaman yang dijaminkan yang didukung negara, daripada kekhawatiran Paris atas situasi hak asasi manusia di Mesir.
Benedicte Jeannerod, direktur Human Rights Watch untuk Prancis, langsung mengecam kesepakatan itu.
"Dengan menandatangani kontrak mega-senjata dengan pemerintahan Presiden Mesir Abdel Fattah as-Sisi sementara yang terakhir memimpin penindasan terburuk dalam beberapa dekade di Mesir, pemberantasan komunitas hak asasi manusia di negara itu, dan melakukan pelanggaran yang sangat serius di bawah dalih perang melawan terorisme, Prancis hanya mendorong penindasan yang kejam ini," kata Jeannerod kepada Reuters.
Disclose mengatakan pembiayaan untuk kesepakatan itu akan sampai 85 persen dijamin oleh negara Prancis. BNP Paribas SA, Credit Agricole, Societe Generale dan CIC, yang mendanai kesepakatan awal, mengajukan kesepakatan lagi. Bank-bank itu belum dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Prihatin dengan kevakuman politik di Libya, ketidakstabilan di seluruh kawasan, dan ancaman dari kelompok-kelompok jihadis di Mesir, kedua negara telah memupuk hubungan ekonomi dan militer yang lebih erat sejak Sisi naik ke tampuk kekuasaan.
Organisasi hak asasi menuduh Macron menutup mata terhadap apa yang mereka katakan sebagai peningkatan pelanggaran kebebasan oleh pemerintah Sisi.
Pejabat Prancis menolak tuduhan itu dan mengatakan Paris mengikuti kebijakan untuk tidak mengkritik negara secara terbuka atas hak asasi manusia agar lebih efektif secara partikelir atas dasar kasus per kasus.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021
Menurut laman investigasi Disclose pada Senin (3/5), kontrak itu tertuang dalam kesepakatan yang bernilai 3,75 miliar euro (Rp65,1 triliun).
Presiden Emmanuel Macron mengatakan pada Desember dia tidak akan menjual
senjata ke Mesir atas dasar pertimbangan pada hak asasi manusia karena dia tidak ingin melemahkan kemampuan Kairo untuk melawan terorisme di kawasan itu.
Pernyataan itu memicu kemarahan para kritikus.
Kementerian pertahanan Mesir mengatakan kesepakatan itu akan dibiayai melalui pinjaman yang akan dibayar kembali selama setidaknya 10 tahun, tetapi tidak mengungkapkan nilai kesepakatan atau rincian lebih lanjut.
Mengutip dokumen rahasia, Disclose mengatakan kesepakatan itu telah diteken pada akhir April dan dapat dijamin kepastiannya pada Selasa ketika delegasi Mesir tiba di Paris.
Kesepakatan ini akan menjadi dorongan lebih lanjut untuk pesawat tempur buatan Dassault setelah kesepakatan 2,5 miliar euro (Rp43,5 triliun) diselesaikan pada Januari untuk penjualan 18 Rafale ke Yunani.
Kesepakatan Mesir juga dilaporkan mencakup kontrak untuk penyedia rudal MBDA dan penyedia peralatan Safran Electronics & Defense yang bernilai 200 juta euro (Rp3,4 triliun) lagi.
Kementerian keuangan, luar negeri, dan angkatan bersenjata Prancis belum dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Prancis adalah pemasok senjata utama ke Mesir antara 2013-2017, termasuk penjualan 24 pesawat tempur dengan opsi 12 lagi. Kontrak-kontrak itu telah selesai, termasuk kesepakatan untuk lebih banyak jet Rafale dan kapal perang yang telah berada pada tahap lanjutan.
Para diplomat mengatakan penjualan senjata Prancis ke Mesir sangat berkaitan dengan masalah pembiayaan karena kekhawatiran tentang kemampuan jangka panjang Kairo untuk membayar kembali pinjaman yang dijaminkan yang didukung negara, daripada kekhawatiran Paris atas situasi hak asasi manusia di Mesir.
Benedicte Jeannerod, direktur Human Rights Watch untuk Prancis, langsung mengecam kesepakatan itu.
"Dengan menandatangani kontrak mega-senjata dengan pemerintahan Presiden Mesir Abdel Fattah as-Sisi sementara yang terakhir memimpin penindasan terburuk dalam beberapa dekade di Mesir, pemberantasan komunitas hak asasi manusia di negara itu, dan melakukan pelanggaran yang sangat serius di bawah dalih perang melawan terorisme, Prancis hanya mendorong penindasan yang kejam ini," kata Jeannerod kepada Reuters.
Disclose mengatakan pembiayaan untuk kesepakatan itu akan sampai 85 persen dijamin oleh negara Prancis. BNP Paribas SA, Credit Agricole, Societe Generale dan CIC, yang mendanai kesepakatan awal, mengajukan kesepakatan lagi. Bank-bank itu belum dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Prihatin dengan kevakuman politik di Libya, ketidakstabilan di seluruh kawasan, dan ancaman dari kelompok-kelompok jihadis di Mesir, kedua negara telah memupuk hubungan ekonomi dan militer yang lebih erat sejak Sisi naik ke tampuk kekuasaan.
Organisasi hak asasi menuduh Macron menutup mata terhadap apa yang mereka katakan sebagai peningkatan pelanggaran kebebasan oleh pemerintah Sisi.
Pejabat Prancis menolak tuduhan itu dan mengatakan Paris mengikuti kebijakan untuk tidak mengkritik negara secara terbuka atas hak asasi manusia agar lebih efektif secara partikelir atas dasar kasus per kasus.
Sumber: Reuters
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021