Dua saksi fakta saat memberi keterangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jakarta, Senin, menegaskan unjuk rasa menolak Undang-Undang Omninus Law Cipta Kerja bukan hasil provokasi cuitan aktivis buruh dan demokrasi Jumhur Hidayat.
Bagi keduanya, unjuk rasa yang berlangsung pada Oktober 2020 itu, didorong oleh keresahan dan penolakan bersama terhadap proses pembahasan, penyusunan, sampai pengesahan UU Cipta Kerja.
Dalam keterangannya di persidangan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati selaku saksi fakta yang dihadirkan oleh tim kuasa hukum Jumhur, mengatakan, pihaknya berunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja karena produk hukum itu bertentangan dengan upaya pelindungan lingkungan hidup serta keadilan sosial.
“Kami juga melakukan penolakan dengan berbagai cara. Kami melakukan press conference (jumpa pers, Red), aksi di DPR untuk menghentikan UU Cipta Kerja. Kami juga membuat kajian-kajian yang menganalisis substansi UU Cipta Kerja,” kata Nur Hidayati saat menjawab pertanyaan tim kuasa hukum Jumhur.
Karena itu, ia berpendapat aksi ribuan massa menolak UU Cipta Kerja tidak terkait dengan cuitan Jumhur, karena saat beleid itu akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tahun lalu, penolakan juga datang dari berbagai kelompok masyarakat baik secara langsung (offline) maupun lewat dunia maya (online).
“Setahu saya, berbagai penolakan masyarakat sipil juga banyak di online seperti Twitter, Instagram, hingga Youtube,” kata dia menambahkan.
Nur juga menambahkan massa aksi saat berunjuk rasa juga selalu mengikuti prosedur, seperti melapor ke kepolisian dan mengikuti aturan protokol kesehatan.
Dalam persidangan yang sama, saksi fakta lainnya, Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Damar Panca Mulya menegaskan, pihaknya berunjuk rasa menolak UU Omnibus Law karena isi beleid itu bertentangan dengan upaya pelindungan dan peningkatan kesejahteraan buruh.
Ia menegaskan aksi unjuk rasa kelompoknya bukan karena cuitan Jumhur di media sosial Twitter.
“Kami menolak mulai sejak (UU Cipta Kerja, Red) diwacanakan, sejak draf RUU Ciptaker sampai dimasukkan ke DPR kami menolak dalam bentuk aksi protes, demonstrasi baik ke DPR maupun Pemerintah bahwa banyak hak-hak dasar buruh yang terdegradasikan,” kata Damar saat persidangan.
Setidaknya ada beberapa perubahan yang menjadi keberatan pihak serikat buruh dalam UU Cipta Kerja, antara lain aturan mengenai penghitungan pesangon, ketentuan pegawai kontrak dan outsourcing, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan penghapusan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), kata Damar.
Terkait tuduhan cuitan Jumhur berpotensi menyebabkan keonaran, Damar menerangkan unjuk rasa massa menolak UU Cipta Kerja pada tahun lalu berjalan tertib dan sesuai prosedur.
“Ada beberapa elemen, kami (kelompok masyarakat sipil, Red) tergabung dalam Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak). [...] Saat aksi tidak ada yang anarkis (merusak, Red). Kegiatan berjalan tertib dan aman, khusus Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat tidak pernah sekali pun kami rusuh, chaos, karena kami meminimalisir benturan dengan aparat,” kata dia menegaskan.
Dalam persidangan, Jumhur Hidayat selaku terdakwa juga bertanya mengenai insiden pembakaran halte saat unjuk rasa tolak Omnibus Law.
“Waktu saudara saksi demo, apa ada perintah bakar,” tanya Jumhur ke Damar.
“Tidak ada,” kata Damar singkat.
Jaksa sebelumnya mendakwa Jumhur dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang menimbulkan kericuhan.
Terkait dakwaan itu, Jumhur dijerat dua pasal alternatif, yaitu Pasal 14 ayat (1) juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2) UU No.19/2016 tentang Perubahan UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dakwaan jaksa itu bersumber pada cuitan Jumhur di media sosial Twitter tertanggal 7 Oktober 2020. Isi cuitan itu, “UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini: 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja. Klik untuk baca: kmp.im/AGA6m2”.
Dalam cuitannya, Jumhur turut mengutip tautan (link) berita yang disiarkan oleh Kompas.com berjudul “35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja”.
Massa dari berbagai kelompok, mahasiswa, buruh, pelajar, dan aktivis menggelar aksi demonstrasi serentak di berbagai daerah pada Oktober 2020 sebagai wujud penolakan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Aksi penolakan di beberapa kota, termasuk Jakarta berlangsung pada 6-8 Oktober 2020, dan demonstrasi itu berujung ricuh.
Setidaknya ada lima titik kebakaran di Jakarta selama demonstrasi berlangsung pada 8 Oktober, yaitu di Pos Polisi Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Pos Polisi Tugu Tani, pos polisi di Harmoni, Halte Bus Bundaran HI, dan Halte Bus Sarinah.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021
Bagi keduanya, unjuk rasa yang berlangsung pada Oktober 2020 itu, didorong oleh keresahan dan penolakan bersama terhadap proses pembahasan, penyusunan, sampai pengesahan UU Cipta Kerja.
Dalam keterangannya di persidangan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati selaku saksi fakta yang dihadirkan oleh tim kuasa hukum Jumhur, mengatakan, pihaknya berunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja karena produk hukum itu bertentangan dengan upaya pelindungan lingkungan hidup serta keadilan sosial.
“Kami juga melakukan penolakan dengan berbagai cara. Kami melakukan press conference (jumpa pers, Red), aksi di DPR untuk menghentikan UU Cipta Kerja. Kami juga membuat kajian-kajian yang menganalisis substansi UU Cipta Kerja,” kata Nur Hidayati saat menjawab pertanyaan tim kuasa hukum Jumhur.
Karena itu, ia berpendapat aksi ribuan massa menolak UU Cipta Kerja tidak terkait dengan cuitan Jumhur, karena saat beleid itu akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tahun lalu, penolakan juga datang dari berbagai kelompok masyarakat baik secara langsung (offline) maupun lewat dunia maya (online).
“Setahu saya, berbagai penolakan masyarakat sipil juga banyak di online seperti Twitter, Instagram, hingga Youtube,” kata dia menambahkan.
Nur juga menambahkan massa aksi saat berunjuk rasa juga selalu mengikuti prosedur, seperti melapor ke kepolisian dan mengikuti aturan protokol kesehatan.
Dalam persidangan yang sama, saksi fakta lainnya, Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Damar Panca Mulya menegaskan, pihaknya berunjuk rasa menolak UU Omnibus Law karena isi beleid itu bertentangan dengan upaya pelindungan dan peningkatan kesejahteraan buruh.
Ia menegaskan aksi unjuk rasa kelompoknya bukan karena cuitan Jumhur di media sosial Twitter.
“Kami menolak mulai sejak (UU Cipta Kerja, Red) diwacanakan, sejak draf RUU Ciptaker sampai dimasukkan ke DPR kami menolak dalam bentuk aksi protes, demonstrasi baik ke DPR maupun Pemerintah bahwa banyak hak-hak dasar buruh yang terdegradasikan,” kata Damar saat persidangan.
Setidaknya ada beberapa perubahan yang menjadi keberatan pihak serikat buruh dalam UU Cipta Kerja, antara lain aturan mengenai penghitungan pesangon, ketentuan pegawai kontrak dan outsourcing, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan penghapusan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), kata Damar.
Terkait tuduhan cuitan Jumhur berpotensi menyebabkan keonaran, Damar menerangkan unjuk rasa massa menolak UU Cipta Kerja pada tahun lalu berjalan tertib dan sesuai prosedur.
“Ada beberapa elemen, kami (kelompok masyarakat sipil, Red) tergabung dalam Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak). [...] Saat aksi tidak ada yang anarkis (merusak, Red). Kegiatan berjalan tertib dan aman, khusus Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat tidak pernah sekali pun kami rusuh, chaos, karena kami meminimalisir benturan dengan aparat,” kata dia menegaskan.
Dalam persidangan, Jumhur Hidayat selaku terdakwa juga bertanya mengenai insiden pembakaran halte saat unjuk rasa tolak Omnibus Law.
“Waktu saudara saksi demo, apa ada perintah bakar,” tanya Jumhur ke Damar.
“Tidak ada,” kata Damar singkat.
Jaksa sebelumnya mendakwa Jumhur dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang menimbulkan kericuhan.
Terkait dakwaan itu, Jumhur dijerat dua pasal alternatif, yaitu Pasal 14 ayat (1) juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2) UU No.19/2016 tentang Perubahan UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dakwaan jaksa itu bersumber pada cuitan Jumhur di media sosial Twitter tertanggal 7 Oktober 2020. Isi cuitan itu, “UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini: 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja. Klik untuk baca: kmp.im/AGA6m2”.
Dalam cuitannya, Jumhur turut mengutip tautan (link) berita yang disiarkan oleh Kompas.com berjudul “35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja”.
Massa dari berbagai kelompok, mahasiswa, buruh, pelajar, dan aktivis menggelar aksi demonstrasi serentak di berbagai daerah pada Oktober 2020 sebagai wujud penolakan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Aksi penolakan di beberapa kota, termasuk Jakarta berlangsung pada 6-8 Oktober 2020, dan demonstrasi itu berujung ricuh.
Setidaknya ada lima titik kebakaran di Jakarta selama demonstrasi berlangsung pada 8 Oktober, yaitu di Pos Polisi Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Pos Polisi Tugu Tani, pos polisi di Harmoni, Halte Bus Bundaran HI, dan Halte Bus Sarinah.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021