Jambi (ANTARA Aceh) - Kematian belasan jiwa Suku Anak Dalam atau "orang rimba" yang mendiami Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi telah menarik perhatian publik, tidak hanya lokal tapi juga nasional.
    
Pasalnya, kematian belasan "orang rimba" itu karena mereka mengalami kelaparan disebabkan berbulan-bulan krisis pangan.
    
Fasilator Kesehatan KKI WARSI, Yomi, menjelaskan kematian "orang rimba" secara beruntun itu diduga mereka kesulitan mendapatkan pangan yang layak dan air bersih.
    
Kematian beruntun itu menyerang tiga kelompok orang rimba dibagian timur TNBD, Kabupaten Sarolangun-Batanghari atau kelompok yang dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal dan Tumenggung Nyenong.
    
Dari 150 jiwa di tiga kelompok itu, kematian beruntun paling banyak terjadi pada Januari dan Februari 2014 dengan enam kasus kematian, yaitu empat anak-anak dan dua orang dewasa.
    
"Hutan semakin sempit sehingga orang rimba tidak lagi 'melangun' (berpindah-pindah) ke dalam hutan namun ke pinggir-pinggir desa dan ladang masyarakat, tentu saja di kawasan ini akan sedikit bahan pangan yang biasa di dapatkan orang rimba dari berburu dan meramu hasil hutan," ujar Yomi.
     
Dalam beberapa bulan terakhir, orang rimba setidaknya sudah berpindah ke tujuh lokasi baru yang sebagian besar merupakan daerah pinggir desa dan juga perkebunan masyarakat.
    
"Ketika 'melangun' pasokan makanan kurang, dan menyebabkan daya tahan tubuh mereka berkurang sehingga banyak yang sakit," katanya.
   
Sebagian ada yang mencoba berobat ke rumah sakit terdekat, seperti di Sarolangun, namun orang rimba tidak mau dirawat, akhirnya banyak yang meninggal dunia dan kemudian melangun lagi.
   
"Melangun" merupakan tabu kematian pada orang rimba, yaitu berpindah tempat hidup akibat kesedihan setelah ditinggalkan anggota kelompoknya. Karena kematiannya beruntun, menyebabkan mereka ketakutan dan panik.
   
Tengganai "orang rimba" kelompok Terap, Mangku Balas, juga mengatakan bahwa banyaknya orang rimba yang jatuh sakit disebabkan kurang makanan.
   
"Kami kekurangan pemakon (makanan), kalau 'melangun' seperti ini kami tidak bisa berburu, tempatnya juga susah, makanya banyak yang sakit, kami takut," ujar Mangku Balas.
    
Namun demikian, pemerintah terus berupaya melakukan langkah-langkah penyelamatan "orang rimba"  melalui pemberian bantuan pangan dan pengobatan sampai perawatan di rumah sakit terhadap mereka.
    
Pihak Kementerian Sosial RI mengaku bahwa kematian belasan "orang rimba" di wilayah Jambi itu akibat krisis pangan yang dialaminya berbulan-bulan.
    
Kasubdit Kerjasama Kelembagaan Evaluasi dan Pelaporan Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial Laude Taufik, mengakui kematian belasan "orang rimba" akibat krisis pangan.
   
Namun, menurut dia, salah satu langkah yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kesulitan pangan ini adalah memberikan anggaran khusus.
   
"Bantuan itu diberikan dalam bentuk sembako, karena kalau kita beri uang tunai mungkin bisa dibeli rokok oleh mereka, jadi yang lebih tepat adalah dalam bentuk pemberian sembako," kata Taufik.
    
Koordinator Unit Kajian Suku-Suku Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, Kristiawan, mengatakan saat ini dibutuhkan peran serta semua pihak untuk membantu "orang rimba" keluar dari masalah.
    
"Untuk saat ini yang dibutuhkan bantuan langsung berupa beras dan sembako serta juga posko kesehatan yang dekat dengan lokasi mereka 'melangun'," kata dia.

Desa adat
   
Sementara itu, dalam kunjungan langsung ke lokasi,
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa bertekad akan memberikan desa adat kepada "orang rimba" di Provinsi Jambi.
   
"Sesuai Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa Adat, maka pemerintah akan mengusahakan pemberikan desa adat kepada 'orang rimba' yang menghuni Taman Nasional Bukit XII yang ada di Jambi," katanya.
   
Menteri menjelaskan, pemberian desa adat itu dilakukan untuk menyelamatkan "orang rimba" di Jambi, sehingga bisa terhindar dari musibah seperti kematian akibat kelaparan," katanya.
   
Kemensos juga sudah berkoodinasi dengan pihak terkait untuk menanggani masalah yang menimpa "orang rimba" di Jambi seperti dengan Kemendagri dan Kemenkes untuk menyelesaikan kasus tersebut  dengan mencari solusi terbaik.
    
Khofifah juga mengharakan ada hasil yang kongkrit misalnya di kawasan Taman Nasional Bukit XII terdapat 13 temenggung "orang rimba" yang terdiri  atas 20 sampai 30 Kepala keluarga (KK).
    
Itu semua akan dikaji lagi untuk direkomendasikan bisa jadi kawasan desa adat oleh pemerintah
    
Untuk membentuk desa adat memang sudah ada tataran administrasinya dan payung hukumnya yang sudah disahkan.
    
"Dan jika mereka siap untuk menjadi desa adat maka pemerintah akan melakukan intervensi program-program perlindungan sosial yang bisa diintegrasikan oleh warga atau Suku Anak Dalam (SAD) disana," kata menteri.
    
Selanjutnya, langkah awal yang akan dilakukan pemerintah Kemensos yakni akan medesak perusahaan yang memiliki HTI untuk menyerahkan lahan seluas kurang lebih 200 Hektare kepada warga SAD kelompok  temenggung Maritua.
    
Khofifah juga sedang mengkoordiansikan dengan pihak terkait termasuk perusahaan PT Wana Printis untuk bisa secepatnya menyerahkan lahan tersebut kepada "orang rimba" yang mengakui itu milik nenek moyang mereka yang saat ini sudah menjadi HTI.
   
"Jika 'orang rimba' mau menjadikan kawasan itu sebagai desa adat maka mereka akan mendapatkan hak -hak administratif dan dana yang digulirkan pihak kementerian menjadi hak mereka." tegas Khofifah
    
Selain itu juga mereka mendapatkan program perlindungan sosial seperi kartu keluarga sejahtera, kartu Indoesia pintar dan kartu Indonesia sehat serta beras raskin.
    
Kemudian "orang rimba" juga akan diberdayakan untuk mengawal kawasan hutan taman nasional Bukit XII di Jambi dengan memberikan dukungan peningkatan sumber daya manusianya.
    
Namun, pemerintah tetap menghormati adat dari warga SAD untuk pembangunan fasilitas yang diberikan kepada mereka seperti rumah.
    
"Kita lebih dahulu akan melakukan pendekatan kepada warga SAD sehingga apapun keputusan dari mereka akan dihormati nantinya," kata Mensos.
    
Dipihak lain, menteri juga meminta agar "orang rimba" mengolah lahan jika diserahkan itu untuk bercocok tanam, tujuannya agar bisa mendapatkan makanan layak.
    
"Tapi jika nanti disahkan, salah satu temenggung harus ada yang menandatangani perjanjian penyerahan HTI itu ya, perjanjian itu supaya kita bisa mendapatkan lahan untuk bercocok tanam," ujar Menteri.
     
Selain lahan, Khofifah juga menawarkan anak-anak orang rimba untuk sekolah. Orang rimba diberi pilihan disekolahkan di luar dengan beasiswa atau ada sekolah di hutan.
    
Terkait pelayanan kesehatan, Khofifah berjanji untuk meningkatkannya namun tetap dengan memperhatikan kultur dan adat dari mereka.
    
Sementara temenggung Marituha meminta perusahaan Wahana Perintis yang memiliki lahan HTI untuk menyerahkan 114 hektare lahan yang dulunya merupakan tanah nenek moyang mereka. Dan selama ini mereka merasa sudah ditipu oleh perusahaan.
    
Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus mengatakan mendukung pemerintah pusat melalui menteri sosial untuk bisa lebih memberdayakan warga SAD di Bukit 12 khususnya temenggung Maritua.
    
"Yang saya harapkan agar pihak PT Wana Printis yang memiliki kawasan HTI dan beberapa perusahaan lainnya untuk menyerahkan lahan yang diminta warga SAD guna dijadikan desa adat," kata Hasan Basri Agus.
    
Data Pemerintah provinsi Jambi mencatat tujuh perusahaan  yang memiliki HTI seperti PT Wana Printis, Agro Nusa Alam Sejahterta, Jebus Maju, Tebo Multi Agro, Lestari Asri Jaya, Malaka Agro Perkara dan Alam Lestari Makmur.
    
Harapan agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat menyerahkan lima persen lahannya kepada masyarakat setempat termasuk untuk warga SAD atau orang rimba.
    
Menurut gubernur, meninggalnya "orang rimba" tersebut sesuatu yang tidak lazim terjadi. Apalagi katanya selama ini Pemerintah Provinsi Jambi selalu memperhatikan mereka.

Pewarta: Oleh Azhari

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2015