Kuala Simpang (ANTARA) - Banjir besar yang melanda Kabupaten Aceh Tamiang pada November 2025 bukan sekadar peristiwa hidrometeorologi yang menenggelamkan rumah, sawah, dan jalan. Ia adalah cermin retak dari sebuah peradaban tua yang sedang diuji ketahanannya.
Tamiang yang sejak berabad-abad lalu dikenal sebagai simpul penting peradaban Melayu di pesisir timur Sumatra kini berdiri di persimpangan sejarah, antara keberlanjutan kearifan lama dan tekanan modernitas yang kian brutal terhadap alam.
Dalam ingatan sejarah dan filosofi Melayu, sungai bukan musuh. Sungai adalah nadi peradaban. Ia menjadi jalur dagang, sumber pangan, sekaligus ruang kosmologis tempat manusia menata relasi dengan alam. Hikayat, adat, dan struktur pemukiman Melayu tumbuh dari kesadaran ekologis yang relatif seimbang mulai rumah panggung, zonasi ladang, hutan larangan, dan etika adat yang membatasi eksploitasi. Dalam kerangka ini, banjir bukan anomali, melainkan siklus alam yang dipahami dan diantisipasi.
Baca juga: Korban banjir bandang Aceh Tamiang butuh air bersih
Namun, banjir besar Tamiang 2025 menunjukkan sesuatu yang berbeda. Air datang bukan sebagai siklus, melainkan sebagai amukan. Ia melampaui daya adaptasi masyarakat, menembus batas ruang aman, dan meninggalkan jejak kehancuran sosial-ekologis yang dalam. Di titik inilah kita perlu bertanya, apa yang berubah dalam relasi antara manusia Tamiang dan alamnya?
Jawabannya tidak bisa dilepaskan dari perubahan lanskap ekologis yang sistemik. Dalam tiga dekade terakhir, wilayah Tamiang mengalami tekanan berat akibat ekspansi perkebunan skala besar, alih fungsi hutan, normalisasi sungai yang tidak berbasis ekologi, serta tata ruang yang meminggirkan logika adat. Hutan yang dahulu berfungsi sebagai penyangga air berkurang drastis. Daerah tangkapan hujan kehilangan kemampuan menyerap. Sungai yang dulu berkelok alami dipaksa lurus demi kepentingan teknokratis. Akibatnya, air kehilangan ruang untuk “bernapas”.
Dalam perspektif teori ecological modernization, modernisasi seharusnya memungkinkan masyarakat mengelola alam secara lebih rasional dan berkelanjutan. Namun yang terjadi di Tamiang justru sebaliknya, modernisasi berjalan tanpa koreksi ekologis. Infrastruktur dibangun, tetapi daya dukung alam diabaikan. Pertumbuhan ekonomi dijadikan legitimasi, sementara biaya ekologis dipindahkan ke tubuh masyarakat, terutama kelompok rentan di bantaran sungai dan dataran rendah.

Banjir November 2025 bukan sekedar bencana alam, melainkan krisis peradaban. Ia menandai runtuhnya kontrak ekologis lama antara masyarakat Melayu dan lingkungannya. Kontrak yang dahulu berbasis pada keseimbangan kini digantikan oleh relasi ekstraktif. Dalam bahasa sosiologi Ulrich Beck, ini adalah manifestasi risk society, risiko diproduksi oleh sistem sosial itu sendiri, lalu didistribusikan secara tidak adil.
Dampaknya terasa hingga ke lapisan kultural. Banjir memutus ritme kehidupan, sekolah terhenti, ruang ibadah rusak, tradisi komunal melemah karena warga sibuk bertahan hidup. Dalam masyarakat Melayu, ruang sosial seperti meunasah, balai adat, dan surau bukan sekadar bangunan fisik, melainkan pusat reproduksi nilai. Ketika ruang-ruang ini lumpuh, peradaban ikut terguncang.
Lebih jauh, banjir juga memunculkan krisis kepercayaan. Negara hadir terutama dalam bentuk bantuan darurat, tetapi absen dalam pencegahan struktural. Narasi resmi sering mereduksi banjir sebagai “cuaca ekstrem”, seolah meniadakan peran kebijakan tata ruang, izin lahan, dan kegagalan pengawasan. Padahal, bagi masyarakat Tamiang, banjir ini terasa terlalu teratur untuk disebut kebetulan, dan terlalu besar untuk dianggap semata-mata takdir.
Di sinilah pentingnya membaca ulang peradaban Melayu bukan sebagai romantisme masa lalu, melainkan sebagai sumber rasionalitas ekologis. Kearifan lokal Melayu menyimpan prinsip kehati-hatian (prudence) yang relevan untuk masa kini. Larangan membuka hutan tertentu, penghormatan terhadap sungai, dan pembagian ruang hidup adalah bentuk pengetahuan ekologis yang teruji oleh waktu. Ketika prinsip-prinsip ini disingkirkan oleh logika pasar dan birokrasi, kerentanan meningkat.
Baca juga: Jembatan putus, warga Aceh Tamiang arungi sungai ke pusat kabupaten
Pasca banjir 2025, Tamiang membutuhkan lebih dari sekadar rehabilitasi fisik. Ia membutuhkan rekonstruksi peradaban. Rekonstruksi ini harus dimulai dari pengakuan bahwa krisis ekologis adalah krisis politik dan kultural. Penataan ulang daerah aliran sungai harus melibatkan komunitas adat dan pengetahuan lokal, bukan hanya konsultan teknis. Evaluasi izin perkebunan dan tambang harus menjadi agenda serius, bukan wacana seremonial. Tata ruang harus kembali berpihak pada daya dukung alam, bukan sekadar pertumbuhan angka.
Pada saat yang sama, masyarakat Melayu Tamiang juga menghadapi tantangan internal yaitu bagaimana mentransmisikan nilai-nilai ekologis lama kepada generasi muda yang hidup dalam tekanan ekonomi dan budaya instan. Tanpa itu, peradaban Melayu berisiko menjadi identitas simbolik tanpa substansi ekologis.

Banjir besar November 2025 seharusnya dibaca sebagai peringatan sejarah. Ia menandai batas toleransi alam yang telah terlampaui. Jika peradaban Melayu Tamiang ingin bertahan, ia harus berani melakukan koreksi arah. Bukan kembali ke masa lalu secara utopis, tetapi memulihkan prinsip dasarnya yaitu keseimbangan, kehati-hatian, dan hormat pada alam.
Di atas air banjir yang surut, Tamiang kini menyimpan pertanyaan besar, apakah ia akan membangun masa depan dengan mengulang kesalahan yang sama, atau menjadikan krisis ini sebagai titik balik peradaban.
Sejarah Melayu mengajarkan bahwa peradaban besar bukan yang paling cepat tumbuh, melainkan yang paling mampu membaca tanda-tanda alam dan menyesuaikan diri. Tamiang, hari ini, sedang diuji untuk membuktikan itu.
Baca juga: Paramedis Polri beri layanan kesehatan korban banjir di Aceh Tamiang
*Penulis Dr. Safriady S.sos, M.I.kom adalah pemerhati isu strategis, akademisi, praktisi media, pengajar di Sesko TNI AL dan BAIS, dan Doktor Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjajaran.
