Banda Aceh (ANTARA) - Bencana banjir yang kembali melanda sejumlah wilayah di Aceh bukan hanya menguji ketangguhan infrastruktur dan kesiapsiagaan negara, tetapi juga menguji daya tahan jurnalisme di daerah. Di tengah genangan air, listrik yang padam berhari-hari, jaringan komunikasi yang putus-sambung, dan akses lapangan yang terhambat, jurnalis tetap bekerja.
Bukan dari ruang redaksi berpendingin udara, melainkan dari warung kopi (warkop) bermodalkan kabel rol panjang, wifi pinjaman, dan secangkir kopi yang tak pernah benar-benar habis.
Aceh memiliki tradisi warkop yang khas. Ia bukan sekadar tempat minum kopi, tetapi ruang publik, pusat pertukaran informasi, bahkan arena diskusi sosial-politik.
Baca juga: Update Bencana Aceh, 60 persen listrik di Aceh masih padam
Dalam konteks bencana, warkop di Aceh menjelma menjadi newsroom darurat. Di sanalah jurnalis mengisi daya gawai, menulis berita, mengirim foto, dan memastikan suara warga terdampak tetap sampai ke publik nasional. Kabel rol menjulur dari satu stopkontak ke meja-meja menjadi simbol keterbatasan sekaligus keteguhan. Listrik boleh langka, tetapi berita tidak boleh padam.
Banjir Aceh, seperti banyak bencana ekologis lain di Sumatra, datang bukan sebagai peristiwa tunggal. Ia merupakan akumulasi dari curah hujan ekstrem, degradasi daerah aliran sungai, pembukaan lahan, dan tata kelola ruang yang lemah.
Namun di tengah kompleksitas sebab-sebab struktural itu, jurnalis dituntut bekerja cepat. Publik membutuhkan informasi segera daerah mana yang terendam, berapa korban, bagaimana akses evakuasi, dan apa respons pemerintah.
Kecepatan ini sering kali harus dibayar mahal oleh jurnalis daerah, yang bekerja tanpa perlindungan memadai, tanpa logistik khusus, dan dengan peralatan pribadi.
Dalam situasi normal, jurnalis masih bergulat dengan tekanan ekonomi media, beban kerja berlapis, dan minimnya upah layak. Dalam situasi bencana, tekanan itu berlipat ganda. Banyak jurnalis Aceh juga merupakan bagian dari komunitas terdampak. Rumah mereka terendam, keluarga mereka mengungsi, namun mereka tetap meliput. Di pagi hari membantu evakuasi atau melakukan peliputan dan malamnya mereka duduk di warkop, menulis berita dengan sepatu yang belum kering sepenuhnya.
Wifi warkop menjadi nadi utama. Ketika jaringan seluler melemah, pemilik warkop sering kali dengan sukarela membuka akses internet lebih lama. Di sinilah terlihat relasi simbiotik antara jurnalisme dan komunitas. Warkop menyediakan ruang dan koneksi bagi jurnalis untuk cerita dan informasi.

Secangkir kopi bukan sekadar minuman, melainkan penunda lelah, pengikat fokus, dan saksi bisu proses produksi berita yang lahir dari keterbatasan.
Namun romantisasi perjuangan ini tidak boleh menutup mata terhadap persoalan struktural. Fakta bahwa jurnalis harus mengandalkan warkop dan kabel rol untuk memberitakan bencana menunjukkan rapuhnya ekosistem jurnalisme lokal. Negara kerap menuntut media berperan dalam mitigasi bencana menyebarkan peringatan dini, melawan hoaks, dan menjaga ketenangan publik, tetapi abai pada perlindungan dan dukungan bagi pekerja medianya. Tidak ada skema khusus perlindungan jurnalis bencana, tidak ada jaminan keselamatan kerja, dan sering kali tidak ada kompensasi risiko.
Baca juga: Nelayan keluhkan harga es di Abdya tembus Rp100 ribu per batang
Di sisi lain, tekanan editorial juga tidak kecil. Di tengah keterbatasan data resmi dan lambannya rilis, jurnalis dituntut tetap akurat. Kesalahan satu angka korban atau satu lokasi dapat berakibat fatal, baik bagi kredibilitas media maupun bagi warga yang membutuhkan bantuan.
Maka, di warkop itu pula jurnalis melakukan verifikasi berlapis menelepon aparat desa, mengonfirmasi relawan, mencocokkan laporan warga dengan foto lapangan. Semua dilakukan dengan sinyal yang naik-turun dan baterai yang selalu terancam habis.
Perjuangan ini jarang terlihat oleh pembaca di kota-kota besar. Berita tentang banjir Aceh hadir rapi di layar gawai dengan judul singkat, paragraf padat, foto dramatis. Yang tak terlihat adalah proses di baliknya. Malam panjang di warkop, suara genset yang berdengung, dan kopi yang dingin sebelum sempat diteguk. Jurnalisme bencana sering kali dinilai dari hasil akhirnya, bukan dari kondisi produksinya.
Padahal, kualitas informasi sangat bergantung pada kondisi kerja jurnalis. Jurnalis yang kelelahan, kekurangan akses, dan bekerja tanpa dukungan rentan melakukan kesalahan.
Dalam konteks bencana, kesalahan informasi bukan sekadar masalah etika jurnalistik, tetapi persoalan kemanusiaan. Ia dapat menghambat distribusi bantuan, menyesatkan relawan, atau memicu kepanikan.
Karena itu, memperkuat jurnalisme bencana bukanlah kepentingan media semata, melainkan kepentingan publik.
Aceh memiliki sejarah panjang berhadapan dengan bencana besar, dari konflik bersenjata hingga tsunami 2004. Dari pengalaman itu, seharusnya lahir kesadaran bahwa informasi adalah bagian dari sistem penyelamatan.
Jurnalis adalah aktor kunci dalam sistem tersebut. Mereka bukan relawan, tetapi pekerja profesional yang menjalankan fungsi publik. Mengandalkan heroisme individual, kabel rol, wifi warkop, dan kopi tidak bisa menjadi standar permanen.
Opini ini ditulis untuk mengingatkan bahwa di balik setiap berita dan cerita banjir Sumatera ada perjuangan sunyi yang berlangsung di sudut-sudut warkop. Ada dedikasi yang sering kali tidak diimbangi dengan kebijakan.
Jika negara serius membangun ketangguhan bencana, maka dukungan terhadap jurnalisme harus menjadi bagian dari agenda dari akses informasi yang terbuka, perlindungan keselamatan, hingga penguatan ekonomi media lokal.
Hingga hari itu tiba, warkop akan tetap menjadi ruang redaksi alternatif. Kabel rol akan terus digelar, wifi akan terus dibagi, dan secangkir kopi akan terus menemani jurnalis Aceh menulis tentang banjir yang datang silih berganti. Dalam keterbatasan itulah, jurnalisme menemukan kembali maknanya yang paling dasar yaitu memastikan bahwa penderitaan tidak sunyi, dan suara dari daerah tetap terdengar, meski harus lahir dari meja kayu warkop yang sederhana.
Baca juga: Update Bencana Aceh, Prabowo: Saya tidak punya tongkat Nabi Musa
*Penulis Dr. Safriady S.sos, M.I.kom adalah pemerhati isu strategis, akademisi, praktisi media, dan Doktor Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjajaran.
