Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Safaruddin menilai Aceh memiliki sumber daya pangan yang melimpah, namun belum terkelola dengan baik sehingga membuat Aceh masih ketergantungan terhadap Provinsi Sumatera Utara (Sumut).

"Selama ini Aceh juga masih ketergantungan beberapa sumber pangan dengan provinsi tetangga, Sumatera Utara, seperti beras kualitas premium, tepung, minyak, telur, susu," kata Safaruddin di Banda Aceh, Sabtu.

Hal tersebut disampaikan Safaruddin dalam webinar nasional bertema ‘Membangun Kedaulatan Pangan Berkelanjutan Aceh' yang digagas Badan Pengurus Wilayah (BPW) Perhimpunan Sarjana Pertanian Indoensia (PISPI) Aceh.

Turut hadir Ketua Presedium BPP Pispi Jamhari, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh Cut Huzaimah, Dewan Pakar BPW Pispi Aceh Prof Sabaruddin dan pengusaha milenial Sarbaini.

Safaruddin menjelaskan sebenarnya Aceh memiliki potensi sebagai lumbung pangan Indonesia, tentunya dengan berbagai beragam sumber daya pangan untuk menuju kedaulatan pangan.

Sayangnya, kata dia, potensi yang ada tersebut belum termanfaatkan dengan baik. Apalagi, Aceh juga belum memiliki Qanun Aceh tentang Kedaulatan dan Kamandirian Pangan Aceh untuk memberikan kepastian hukum.

"Saat ini baru ada Pergup (Peraturan Gubernur) Nomor 52 Tahun 2020 tentang Gerakan Aceh Mandiri Pangan. Seharusnya Aceh sudah memiliki qanun dan ini juga menjadi tugas kita DPR Aceh untuk melahirkan qanun ini," katanya.

Selain itu, politikus Partai Gerindra itu menilai, Aceh belum memiliki skema yang jelas dalam mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan sehingga muncul berbagai permasalahan di lapangan.

Aceh memang memiliki sumber bahan baku yang melimpah, namun pabrik produksi bahan mentah untuk menjadi hasil produksi atau barang juga belum ada di bumi Serambi Mekkah itu.

"Potensi sumber daya alam, potensi geografis, potensi geo-strategik, dan geo-politik Aceh belum dapat dimanfaatkan secara baik dan menguntungkan dalam kemandirian ketahanan dan kedaulatan pangan Aceh," kata Safarudin.

Oleh karena itu, kata dia, dampak saat ini ialah angka stunting Aceh yang masih tinggi, disebabkan penyajian makanan dalam rumah tangga belum terpenuhi gizi yang mempengaruhi masa usia atau angka harapan hidup.

“Ini juga menjadi pembicaraan dua tahun terakhir. Bahwa di samping kemiskinan, stunting juga menjadi pekerjaan rumah berat bagi Pemerintah Aceh dan membutuhkan perhatian serius,” katanya.

Ia menilai kondisi ini menjadi sebuah keanehan bagi Aceh yang memiliki kekayaan potensi alam serta didukung anggaran yang besar, namun masih memiliki angka stunting yang tinggi.

Apalagi, negara terancam krisis pangan akibat pandemi COVID-19 yang harus diantisipasi segera sebagaimana peringatan World Health Organization (WHO) dan The Food and Agriculture Organization (FAO) serta Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

"Karenanya diperlukan upaya terukur untuk terpenuhinya ketahanan pangan dalam rangka mengantisipasi krisis pangan ini,” kata Safaruddin.

DPRA, kata dia, memastikan agar adanya perlindungan terhadap masyarakat atas kebutuhan pangan sebagai hak asasi manusia dan keadilan bagi seluruh rakyat Aceh, serta memastikan dunia usaha dapat menghasilkan industri pangan.
 

Pewarta: Khalis Surry

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021