Sepanjang 2021 Pemerintah Indonesia kian mantap menjadikan listrik bersih sebagai sumber energi primer menggantikan bahan bakar fosil batu bara dan minyak solar yang tinggi polusi.

Secara perlahan komitmen pemerintah berpihak kepada setrum bersih tersebut terlihat dari beberapa regulasi yang telah ditetapkan atau diusulkan untuk memperkuat landasan hukum dalam menjalankan proyek pembangunan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia.

Pemerintah secara tegas menyatakan tidak lagi menerima usulan proyek baru pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara mengingat arah kebijakan energi nasional yang bertumpu pada energi bersih.

"Pembangunan PLTU yang baru tidak lagi menjadi opsi kecuali yang saat ini sudah committed dan dalam tahap konstruksi. Hal ini juga untuk membuka peluang dan ruang cukup besar untuk pengembangan energi baru terbarukan," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada awal Oktober 2021.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listik (RUPTL) periode 2021-2030  PT PLN (Pesero), pembangunan PLTU yang saat ini berlangsung adalah proyek yang sebelumnya telah menandatangani kontrak proyek 35.000 megawatt atau proyek yang telah memasuki tahap konstruksi.

Peta jalan yang disahkan pada 28 September 2021 tersebut memproyeksikan penambahan kapasitas pembangkit energi fosil dalam 10 tahun ke depan hanya sebesar 19,6 gigawatt atau 48,4 persen.

Adapun rencana penambahan kapasitas pembangkit setrum bersih cukup ambisius mencapai 20,9 gigawatt atau sekitar 51,6 persen.

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang pengesahan Persetujuan Paris, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen sampai 41 persen pada 2030.

Dari target tersebut sektor energi diharapkan dapat berkontribusi menurunkan emisi karbon dioksida sebesar 314 juta ton sampai 398 juta ton melalui pengembangan listrik  bersih, pelaksanaan efisiensi energi dan konservasi energi, serta melakukan penerapan teknologi setrum bersih.

Selain menghentikan usulan proyek baru pembangunan PLTU batu bara, dalam rencana kerja jangka panjang, Indonesia secara tegas menyatakan akan memensiunkan PLTU batu bara demi mencapai target netralitas karbon pada 2060.

Saat ini PLN telah menyusun peta jalan untuk menghentikan pengoperasian PLTU batu bara melalui lima tahapan, lalu menggantikannya dengan setrum bersih yang rendah emisi.

Tahap pertama akan dilaksanakan pada 2030, PLN akan mulai memensiunkan pembangkit-pembangkit PLTU batu bara subcritical sebesar satu gigawatt, yakni PLTU Muarakarang, Tambaklorok, dan Gresik.

Pada 2035 PLN akan menjalankan rencana tahap kedua dengan menghentikan pengoperasian PLTU batu bara subcritical sebesar 9,0 gigawatt.

Tahap ketiga pada 2040, PLN akan kembali memensiunkan pembangkit supercritical sebesar 10 gigawatt. Lalu, lima tahun kemudian perseroan akan memensiunkan PLTU batu bara ultra supercritical sebesar 24 gigawatt.

Adapun tahap terakhir berupa menghentikan pengoperasian PLTU batu bara ultra supercritical sebesar 5,0 gigawatt pada 2055.

PLN menjamin seluruh pembangkit listrik yang dikelola perseroan di Indonesia akan menghasilkan produk setrum bersih mulai tahun 2060.

Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, total potensi energi bersih di Indonesia mencapai 3.686 gigawatt dengan rincian surya 3.295 gigawatt, hidro 95 gigawatt, bioenergi 57 gigawatt, angin 155 gigawatt, panas bumi 24 gigawatt, dan laut 60 gigawatt.

Sedangkan nilai pemanfaatan baru mencapai 10,88 gigawatt atau setara 10.889 megawatt dengan rincian surya 195 megawatt, hidro 6.632 megawatt, bioenergi 1.923 megawatt, angin 154 megawatt, dan panas bumi 2.186 megawatt.

Selain itu Indonesia juga memiliki potensi uranium sebanyak 89.483 ton dan torium 143.234 ton yang bisa digunakan sebagai bahan baku pada pembangkit listrik tenaga nuklir.




Setrum Nuklir

Isu tentang energi nuklir yang akan digunakan secara bisnis dan komersial dalam memenuhi porsi setrum bersih dan mengurangi emisi karbondioksida dari sektor energi, ramai menjadi perbincangan publik dalam setahun terakhir.

Sejauh ini penggunaan nuklir di Indonesia masih sebatas untuk ilmu pengetahuan karena regulasi yang ada belum mendukung untuk menjadikannya energi alternatif.

Namun, pemerintah telah mempersiapkan nuklir sebagai opsi sumber listrik di Indonesia. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, pemerintah mendorong langkah penelitian, pengembangan, mendorong penguasaan teknologi, membangun kerja sama, melakukan analisis multi kriteria, dan menyusun peta jalan nuklir.

Opsi penyediaan listrik untuk masa depan dalam RPJM, salah satunya pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Bengkayang, Kalimantan Barat.

Proyek pembangunan setrum nuklir di wilayah barat Pulau Borneo ini atas alasan Kalimantan tidak masuk ke dalam zona cincin api, sehingga rendah potensi gempa tektonik dan tsunami. Selain itu, rencana ini juga untuk mengatasi impor listrik dari Malaysia yang telah berlangsung selama lima tahun.

Kementerian ESDM menyatakan opsi penggunaan nuklir direncanakan akan dimulai pada 2045, proyek pembangkit setrum nuklir itu proyeksikan mencapai 35 gigawatt pada 2060.

Sementara itu PLN juga sudah memiliki modul pengembangan setrum nuklir untuk mengimbangi listrik bersih di masa depan.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan pihaknya telah merencanakan pembangunan pembangkit setrum nuklir pada 2038.

Di sisi lain Badan Legislasi DPR RI telah menerima masukan dari para ahli energi nuklir Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri melalui Swabessy Initiative.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Ibnu Multazam mengatakan masukan itu tentang penajaman pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT  yang sedang dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi DPR RI.

"Indonesia sudah harus memulai dengan benar mengusahakan pembangkit listrik tenaga nuklir,” kata Ibnu.

Saat ini regulasi tentang pengembangan energi nuklir sudah tertuang dalam draf RUU EBT karena aturan mengenai energi baru terbarukan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 dinilai tidak bisa lagi mengakomodasi pengembangannya di dalam energi, sehingga Indonesia memerlukan payung hukum baru sesuai perkembangan dan kebutuhan zaman.


Pekerjaan Rumah

Sejumlah lembaga riset menilai komitmen Pemerintah Indonesia yang ingin beralih dari setrum fosil ke setrum bersih sudah cukup positif, namun masih banyak pekerjaan rumah untuk mencapai tujuan tersebut.

Institute for Essential Services Reform (IESR) meminta pemerintah untuk melengkapi dan memperbaiki kerangka regulasi yang memungkinkan pengembangan setrum bersih agar bisa lebih cepat.

Berbagai regulasi yang menghambat pengembangan setrum bersih perlu diganti agar bisa meningkatkan daya tarik investasi karena pembangunan pembangkit setrum bersih tidak harus melalui pemberian insentif, tetapi kepastian hukum dalam regulasi.

Komitmen pemerintah dalam menghentikan PLTU batu bara dan arah kebijakan keuangan hijau merupakan kemajuan dari program transisi energi pada tahun ini.

Manajer Program Prakarsa Herni Ramdlaningrum mengatakan pemerintah masih memerlukan upaya keras untuk mencapai target bauran setrum bersih 23 persen pada 2025.

Dari sisi pembiayaan, pemerintah perlu mendorong ekosistem keuangan berkelanjutan, salah satunya dokumen taksonomi hijau yang sekarang sedang disusun oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan memastikan tidak ada peluang greenwashing.

Dalam upaya mempercepat transisi energi dan penanganan perubahan iklim, pemerintah juga diminta untuk berani menghilangkan subsidi energi fosil karena itu menghambat daya saing pengembangan setrum bersih di Indonesia.

Berdasarkan laporan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum pada 2021, Indonesia memiliki indeks transisi energi sebesar 56 poin, sehingga menempatkannya pada posisi keenam di Asia Tenggara atau urutan ke-71 negara dunia.





 

Pewarta: Sugiharto Purnama

Editor : M Ifdhal


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021