Pemerintah Aceh diminta untuk membentuk qanun atau peraturan daerah yang mengatur tentang penanganan pengungsi dari luar negeri, belajar dari pengalaman penanganan pengungsi etnis Rohingya terdampar di Aceh dalam satu dekade terakhir.

“Saat ini masih proses penyusunan draft, dan sedang konsultasi dengan beberapa pihak dalam menyiapkan naskah akademi,” kata Tim Monitoring Evalution Yayasan Geutanyoe Iskandar di Banda Aceh, Kamis.

Menurut dia, qanun tersebut penting bagi Aceh. Pihaknya menginisiasikan pembentukan qanun ini beranjak dari semangat penanganan pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh dari tahun ke tahun, namun masih lemah dari segi regulasi.

Data Yayasan Geutanyoe, lanjut dia, sejak 2009 - 2022 terdapat 17 kali pengungsi etnis Rohingya yang terdampar di daerah Tanah Rencong itu dan penanganan yang dilakukan dari pemerintah daerah masih bersifat seadanya.

“Qanun ini untuk mempermudah kita dalam melakukan penanganan ke depan. Tidak hanya untuk Rohingya, tapi siapa saja, ketika terdampar di Aceh maka sudah ada metode penanganan yang baik,” katanya.

Ia menjelaskan sejak ada Peraturan Presiden (Perpres) No 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri, penanganan pengungsi Rohingya di Aceh sudah sedikit membaik. Salah satunya seperti terbentuknya Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (PPLN) di Kota Lhokseumawe.

Namun, kata dia, selama ini etnis Rohingya tidak hanya terdampar di Lhokseumawe, tetapi juga di daerah-daerah lain seperti Kabupaten Bireuen, Aceh Timur, Aceh Utara, namun daerah-daerah ini masih belum memiliki Satgas PPLN.

“Ketika 2015 lalu, belum ada Perpres nomor 125 ini maka penanganannya biasa-biasa aja. Setelah ada Perpres ini mulai terbentuk Satgas PPLN, tapi tidak semua daerah, seperti di Bireuen belum ada,” katanya.

Apalagi, kata Iskandar, Perpres nomor 125 tersebut juga lahir berkat keterlibatan pemerintah daerah dalam penanganan pengungsi Rohingya saat itu, yakni Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur dan Kota Langsa.

“Daerah-daerah ini terlibat secara utuh dari proses awal hingga penampungan pengungsi, dan itu mempercepat lahirnya Perpres nomor 125 ini. Maka kita coba memperkuat yang sudah ada ini melalui qanun Aceh tentang penanganan pengungsi luar negeri,” katanya.

Sebelumnya, Satgas PPLN Kota Lhokseumawe menyatakan sebanyak 119 imigran Rohingya di Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe, Aceh, dipindahkan ke Pekanbaru, Riau pada Sabtu (21/5) lalu.

Juru Bicara Satgas PPLN Kota Lhokseumawe Marzuki di Lhokseumawe mengatakan relokasi seratusan imigran tersebut difasilitasi Pemerintah Kabupaten Bireuen, Pemerintah Kota Lhokseumawe dan lembaga migrasi internasional, International Organizational for Migration (IOM).

"Dari 119 orang yang dipindahkan tersebut, sebanyak 95 imigran Rohingya dari Kabupaten Bireuen dan 24 lainnya Rohingya dari Kota Lhokseumawe," kata Marzuki.

Tercatat, sebanyak 114 imigran etnis Rohingya terdampar Kuala Muara Raja, Kecamatan Kuala, Kabupaten Bireuen, Aceh. Mereka terdampar pada Ahad (6/3) sekira pukul 02.00 WIB.

Dari 114 imigran Rohingya tersebut, sebanyak 68 di antaranya pria dewasa dan 21 perempuan dewasa serta 35 anak-anak. Mereka sempat ditampung di meunasah Gampong Alue Buya Pasie, Kecamatan Ganda Pura, Kabupaten Bireuen.

Sedangkan imigran Rohingya di Lhokseumawe, terdampar dua gelombang, Juni 2020, sebanyak 99 orang dan September 2020 sebanyak 297 orang.

Sebagian dari imigran Rohingya tersebut sudah dipindahkan sebelumnya. Serta lebih dari seratus orang lainnya melarikan diri di penampungan di Lhokseumawe.
 

Pewarta: Khalis Surry

Editor : Azhari


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022