Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh drh Teuku Reza Ferasyi M Sc PhD menilai Pemerintah Aceh perlu memperketat pengawasan lalu lintas hewan ternak agar wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) di daerah itu tidak semakin parah.

“Kalau tidak kita akan membutuhkan biaya pengobatan yang semakin besar dan waktu semakin lama. Karena dengan vaksin saja dalam dua tahun baru bisa bebas, apalagi ini belum ada vaksinnya,” katanya di Banda Aceh, Senin.

Setiap hari angka kasus PMK yang menyerang hewan ternak sapi dan kerbau semakin meningkat di Aceh. Bahkan di Kabupaten Aceh Besar, penambahan kasus baru PMK mencapai rata-rata 85 ekor per hari.

Baca juga: Pemkab Aceh Utara wajibkan hewan kurban miliki surat bebas PMK

Hingga kini, Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh mencatat sebanyak 19.830 ekor sapi dan kerbau yang terinfeksi wabah PMK, di antaranya 108 ekor mati, 20 ekor potong paksa dan sebanyak 7.675 ekor dinyatakan sembuh.

Tentu, kata Teuku Raza, angka ini tidak mengherankan jika belum ada upaya peningkatan kekebalan tubuh ternak, pembatasan lalu lintas ternak hingga penutupan wilayah dan pasar hewan untuk sementara sebagai langkah cepat mencegah penyebaran.

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah sudah harus bergerak cepat menutup wilayah penyebaran dan memperketat lalu lintas ternak antar kabupaten/kota maupun provinsi, tentu dengan pengawasan ketat dari lintas sektor.

Baca juga: PMK di Aceh Besar serang 85 ekor ternak per hari

Di samping terus melakukan pembebasan kuman melalui desinfeksi, sekaligus meningkatkan pemahaman masyarakat tentang upaya pencegahan agar ternak mereka tidak ikut terinfeksi.

Memang, menurut Teuku Reza, tingkat kematian dari wabah ini cukup rendah, karena bisa segera diobati. Namun ketika ternak terinfeksi, dan kondisinya tidak bisa bergerak dan makan, maka pada akhirnya juga akan mati.

“Ternak ini bisa membawa virus dalam waktu lama di tubuhnya, yang disebut carrier (pembawa), kalau tidak berangsur sembuh maka semakin banyak virus yang keluarkan dan menyebar,” katanya.

Baca juga: Dinas Pertanian Abdya buka posko antisipasi PMK

Ia menambahkan, bukan hanya kali ini PMK mewabah di Indonesia, tetapi pada tahun 80-an kasus yang sama sudah pernah muncul. Tentu upaya yang dilakukan melalui penutupan wilayah dan pasar, pemusnahan ternak, serta didukung dengan vaksinasi massal, hingga akhirnya Indonesia terbebas dari penyakit ini.

Di negara maju yang memiliki modal cukup dari segi keuangan, kata dia, mereka tidak hanya memusnahkan ternak yang terinfeksi, tetapi juga ternak yang dinilai sehat namun berada dalam kawasan wabah, tujuannya untuk mengantisipasi ternak ini menjadi carrier, tentu pemerintah membayar ganti rugi bagi ternak sehat.

“Penutupan wilayah sangat dibutuhkan agar tidak masuk ternak dari daerah tertular ke daerah bebas wabah, kecuali dari daerah bebas ini ke daerah tertular, itu boleh, guna memenuhi kebutuhan ternak, misalnya dalam rangka menjelang Idul Adha seperti ini,” katanya.

Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh menyebutkan sebaran wabah PMK paling tinggi di Aceh Tamiang yakni mencapai 8.463 ekor, selanjutnya Kota Langsa 1.645 ekor, Aceh Timur 720 ekor, Bireuen 1.628 ekor, Aceh Besar 2.218 ekor, Aceh Utara 3.956 ekor.

Kemudian Pidie Jaya 42 ekor, Kota Lhokseumawe 241 ekor, Pidie 27 ekor, Aceh Barat 644 ekor, Aceh Jaya 102 ekor, Kota Sabang 11 ekor, Kota Banda Aceh 36 ekor, Gayo Lues enam ekor, dan Aceh Barat Daya 91 ekor.
 

Pewarta: Khalis Surry

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022