Banda Aceh (ANTARA) - Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen, Aceh, menghentikan penuntutan perkara penganiayaan melalui mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice, sehingga penyelesaiannya tidak dilakukan di pengadilan.
Kepala Kejari Bireuen Munawal Hadi di Bireuen, Kamis, mengatakan penghentian penuntutan perkara penganiayaan tersebut merupakan yang pertama pada 2025. Penghentian perkara tersebut setelah para pihak berdamai.
"Perkara penganiayaan ini dengan tersangka berinisial EA. Tersangka dengan korban sudah berdamai yang difasilitasi jaksa fasilitator Kejari Bireuen. Para pihak juga sepakat tidak saling menuntut," katanya.
Munawal Hadi mengatakan proses perdamaian tersangka dengan korban turut disaksikan pihak keluarga kedua pihak serta perangkat desa masing-masing pihak, baik tersangka maupun korban.
Munawal menyebutkan penganiayaan dilakukan EA terjadi di sebuah toko di Desa Bandar Bireuen, Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, pada 6 April 2024 sekira pukul 23.00 WIB.
"Penganiayaan dipicu masalah utang tersangka kepada korban. Pada saat itu, tersangka membayar utangnya Rp500 ribu. Namun, korban menolak karena masih ada sisa utang tersangka Rp1 juta lagi," kata Munawal
Kemudian, tersangka marah dan mendorong korban keluar toko. Tersangka juga menarik jilbab dan menjambak rambut korban. Korban juga ditendang hingga jatuh. Penganiayaan tersebut berakhir setelah beberapa orang melerai kejadian tersebut.
"Perbuatan tersangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP dengan ancaman paling lama dua tahun delapan bulan. Dalam proses perdamaian tersebut, tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya," kata Munawal Hadi.
Kepala Kejari Bireuen itu menyebutkan penyelesaian perkara berdasarkan restoratif merupakan tindak lanjut program Jaksa Agung. Di mana penyelesaian sebuah perkara tidak harus melalui proses peradilan atau persidangan di pengadilan.
Penghukuman pelaku dalam sebuah perkara adalah upaya terakhir. Jadi, apa bila ada persoalan hukum diupayakan diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif dan tidak harus ke pengadilan.
"Akan tetapi, ada syarat penyelesaian perkara hukum berdasarkan keadilan restoratif. Di antaranya, para pihak, baik korban maupun pelaku sudah berdamai. Pelaku berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan korban juga tidak lagi menuntut," katanya.
Persyaratan lainnya, pelaku baru pertama melakukan tindak pidana. Penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut tidak berlaku bagi pelaku residivis atau orang yang pernah dipidana.
Serta ancaman pidananya kurang dari lima tahun. Semua syarat tersebut harus terpenuhi apabila ingin menghentikan perkara berdasarkan keadilan restoratif, kata Munawal Hadi.
Ia menyebutkan penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut merupakan yang pertama di wilayah hukum Kejari Bireuen pada 2025. Sedangkan jumlah kasus yang selesai berdasarkan keadilan restoratif pada 2024 sebanyak 17 perkara.
"Penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh, di mana penyelesaian sebuah perkara dimusyawarahkan kedua pihak yang disaksikan tokoh masyarakat," kata Munawal Hadi.