Banda Aceh (ANTARA Aceh) - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) berharap Rancangan Qanun (Raqan) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang sedang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kota dan Pemerintah Kota Banda Aceh dapat mempertimbangkan keberlangsungan aspek ekonomi industri hasil tembakau (IHT).

"Kami berharap qanun/peraturan daerah yang diterbitkan tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya. Peraturan daerah dan peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang hirarkinya lebih tinggi," kata Ketua umum AMTI, Budidoyo di Banda Aceh, Selasa.

Ia menjelaskan ada beberapa pasal dalam Raqan KTR Kota Banda Aceh yang dinilai bertentangan dengan PP 109/2012 khususnya terkait kegiatan penjualan, iklan, dan promosi produk tembakau.

Menurut dia seharusnya kegiatan tersebut dibatasi dan bukan dilarang total seperti yang tertuang dalam Raqan Kawasan Tanpa Rokok, karena larangan tersebut akan memberikan dampak negatif bagi seluruh pihak yang terlibat dalam IHT.

Ia berharap qanun yang diterbitkan di ibu kota Provinsi Aceh itu benar-benar dapat dipatuhi dan dimplementasikan serta dijalankan oleh masyarakat di daerah setempat.

Pihaknya juga berharap DPR Kota dan Pemkot Banda Aceh dapat mengacu pada PP 109 Tahun 2012 dalam menyusun Raqan tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Ia menyebutkan industri hasil tembakau Indonesia menyerap lebih dari 6 juta tenaga kerja dan tahun lalu berkontribusi Rp139,5 triliun terhadap penerimaan cukai negara.

Salah satu pedagang rokok Ramli mengatakan peraturan yang akan ditertbitkan tersebut harus memperhatikan keadilan berimbang dan menjawab kekhawatiran masyarakat terkait perlindungan kesehatan, serta pada saat yang sama menjaga keberlangsungan ekonomi industri hasil tembakau di mana jutaan orang menggantungkan penghidupannya.

Ramli mencontohkan dalam Raqan KTR, definisi tempat kerja dan tempat umum yang terdapat pada Pasal 1 ayat 6  (Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau) agar diperjelas sehingga tidak terjadi multitafsir dalam pelaksanaan di lapangan.

Ia mengatakan Lingkup KTR pada Pasal 4 ayat 1, perlu disesuaikan dengan PP 109 Tahun 2015 Pasal 50.  Pasal tersebut bertentangan dengan PP 109/2012 pasal 31 dan pasal 50 ayat (2) mengenai kawasan dimana aktifitas mempromosikan, mengiklankan, menjual dan membeli rokok dapat dilakukan.

"Pasal-pasal tersebut merupakan pembunuhan perdata karena menghilangkan hak para pedagang," katanya.

Pendapat yang sama juga disampaikan Musrialdi dari pelaku usaha periklanan di Banda Aceh. Dalam Raqan KTR Kota Banda Aceh tidak ada jaminan diperbolehkannya penempatan iklan media luar ruang sesuai kriteria di PP 109/2012.

Menurut dia hal tersebut bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas informasi mengenai produk barang dan/atau jasa.

Musrialdi berharap, DPRK dan Pemkot Banda Aceh memperhatikan dan mendengarkan masukan dari para pemangku kepentingan terkait dengan industri hasil tembakau. Keberadaan Qanun yang implementatif akan memberi kepastian hukum sekaligus kepastian berusaha.

Pewarta: Pewarta : Muhammad Ifdhal

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2016