Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud Al-Haytar menjajaki kerjasama heritage (warisan budaya) dengan Republik Tatarstan (Negara bagian Rusia), karena mayoritas penduduk di daerah tersebut muslim dan banyak peninggalan sejarahnya.

"Dari yang saya perhatikan, historis Islam di Aceh sama umurnya dengan Republik Tatarstan,” kata Tgk Malik Mahmud Al-Haytar dalam keterangannya, di Banda Aceh, Senin. 

Terkait penjajakan kerjasama tersebut Tgk Malik Mahmud melakukan pertemuan dengan Ketua Komite Perlindungan Situs Warisan Budaya Republik Tatarstan Ivan Gushin Nikolayevich, di Kazan. 

Tgk Malik mengatakan, negara bagian Rusia tersebut penduduknya mayoritas muslim dan memiliki peninggalan sejarah dan budaya yang masuk dalam daftar situs warisan dunia UNESCO. Sehingga itu menjadi salah satu pertimbangannya.

Dalam pertemuan tersebut, Tgk Malik ikut mengulas tentang sejarah Aceh, mulai masa kedatangan Portugis, Belanda, Jepang, konflik bersenjata dengan Pemerintah RI, hingga bencana tsunami 2004 silam serta menjadi daerah dengan kekhususan dan keistimewaan.

Tgk Malik menyampaikan, dengan sejarah panjang dan keanekaragaman budaya, Aceh sebenarnya memiliki banyak warisan sejarah dan kebudayaan. Namun karena perang dan bencana tsunami, banyak dari warisan tersebut hancur dan hilang. 

“Tatarstan sangat baik dalam menjaga heritage, kami ingin mempelajari bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat di sini,” ujarnya. 

Wali Nanggroe mengakui bahwa Aceh masih kekurangan tenaga ahli dalam bidang perlindungan maupun restorasi heritage. Karena itu, ia menyampaikan keinginan untuk mengirimkan pelajar ke Tatarstan atau mengundang para ahli datang ke Aceh.

Dalam kesempatan itu, Ivan Gushin Nikolayevich mengatakan, Tatarstan sendiri memiliki lebih dari 5.000 objek heritage, dan 3.000 diantaranya merupakan heritage arkeologi. 

Melindungi dan merestorasi heritage yang ada, kata Ivan, Pemerintah Tatarstan membentuk sebuah komite serta memiliki institute arkeologi dengan 60 orang ahli di bidang masing-masing. 

“Sama seperti di Aceh, kita juga memiliki masa-masa sulit, yaitu pada saat Soviet Union dan perang dunia kedua. Kita kehilangan banyak sekali heritage bersejarah,” kata Ivan.

Ivan menjelaskan, dalam upaya merestorasi situs-situs sejarah yang hancur, Pemerintah Tatarstan memberlakukan aturan ketat. Di mana hanya perusahaan yang telah memiliki lisensi diperbolehkan melakukan kegiatan restorasi.

Pemerintah Tatarstan telah banyak melakukan restorasi situs-situs bersejarah, seperti masjid, dan katedral. Ivan mengakui, proyek restorasi bukan pekerjaan mudah, karena itu dibutuhkan banyak ahli dalam upaya tersebut. 

“Karena itu kita punya sekolah khusus restorasi. Hanya ada sekitar 15 perusahaan yang memiliki lisensi restorasi. Tanpa lisensi ini mereka tidak bisa melakukan kegiatan,” ujarnya.

Terkait rencana pengiriman pelajar dari Aceh ke Tatarstan, lanjut Ivan, tidak tertutup kemungkinan untuk kerjasama tersebut, termasuk mendatangkan para ahli dari Tatarstan ke Aceh. 

“Ketika diundang kami akan datang. Tetapi harus direncanakan untuk  dikumpulkan dokumen-dokumen terlebih dahulu,” demikian Ivan.

 

Pewarta: Rahmat Fajri

Editor : Azhari


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022