Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud Al-Haytar mengajak masyarakat provinsi paling barat Indonesia itu untuk bersama-sama menjaga hutan Aceh dari kerusakan akibat pembalakan liar.
“Ini untuk anak cucu kita masa depan, dan ini juga untuk Indonesia. Sama-sama kita menjaga apa yang Allah berikan kepada kita kekayaan alam yang luar biasa, jangan kita rusak,” kata Malik Mahmud di Aceh Besar, Rabu.
Hal itu disampaikan Malik Mahmud di sela-sela rapat koordinasi pelaksanaan kajian pengelolaan hutan Aceh bersama Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Universitas Syiah Kuala.
Ia menjelaskan saat ini Aceh masih menjadi daerah yang memiliki sebaran hutan terluas di Sumatera, dengan beragam keanekaragaman hayati. Terutama satwa kunci harimau sumatera, gajah sumatera, badak sumatera dan orangutan sumatera.
“Jumlah satwa liar itu kini kian berkurangan disebabkan kehilangan habitat dan perburuan,” katanya.
Saat ini, menurut dia, ada 3,3 juta hektare atau 59 persen kawasan hutan yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Aceh. Dari data itu, hanya 2,9 juta hektare yang masih berstatus hutan, dan lebih 400 ribu hektare telah berubah fungsi menjadi non hutan.
“Seluas 1,7 juta hektare diantaranya adalah hutan lindung, dan 710 ribu hektare lebih sebagai hutan produksi,” kata Malik Mahmud.
Ia menyebut jutaan hektare luas hutan itu merupakan potensi kekayaan alam Aceh yang saat ini masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Ditambah lagi, setiap tahunnya, begitu banyak kawasan hutan Aceh yang dirusak secara sistematis.
Hal itu, lanjut dia, bukan hanya menyebabkan bencana ekologis seperti banjir dan tanah longsor yang terjadi di Aceh hampir setiap tahun, tapi juga menjadi penyebab terjadinya konflik manusia dengan satwa, terutama gajah dan harimau.
“Tidak maksimal pengelolaan hutan selama ini disebabkan pengelolaan yang tidak baik, rendahnya pengawasan, dan maraknya ilegal logging. Padahal Aceh merupakan satu dari empat provinsi yang memiliki hutan terluas di Indonesia,” katanya.
Sebab itu, Lembaga Wali Nanggroe, sebagai lembaga kekhususan di Aceh yang telah berupaya melakukan langkah-langkah penyelamatan yang berkelanjutan dengan menginisiasikan pembentukan sebuah badan tata kelola dan penyelenggaraan sumber daya hutan Aceh.
“Salah satu langkah yang akan dilakukan melalui lembaga adalah, merumuskan sistem informasi berbasis website database tentang sumber daya hutan di Aceh,” katanya.
Badan ini juga, menurut dia, secara mandiri akan mengelola potensi karbon hutan Aceh yang diperkirakan mencapai 6 juta ton carbon dioxide equivalent (co2e) per tahun.
Semua upaya-upaya akan terus diperjuangkan hingga nantinya terumuskan secara final pola pengelolaan hutan, yang tidak hanya menjaga dari kerusakan, tapi juga memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar.
“Saya telah bertekad, dan mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga hutan kita beserta kekayaan yang ada di dalamnya untuk anak cucu kita, demi masa depan Aceh,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022
“Ini untuk anak cucu kita masa depan, dan ini juga untuk Indonesia. Sama-sama kita menjaga apa yang Allah berikan kepada kita kekayaan alam yang luar biasa, jangan kita rusak,” kata Malik Mahmud di Aceh Besar, Rabu.
Hal itu disampaikan Malik Mahmud di sela-sela rapat koordinasi pelaksanaan kajian pengelolaan hutan Aceh bersama Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Universitas Syiah Kuala.
Ia menjelaskan saat ini Aceh masih menjadi daerah yang memiliki sebaran hutan terluas di Sumatera, dengan beragam keanekaragaman hayati. Terutama satwa kunci harimau sumatera, gajah sumatera, badak sumatera dan orangutan sumatera.
“Jumlah satwa liar itu kini kian berkurangan disebabkan kehilangan habitat dan perburuan,” katanya.
Saat ini, menurut dia, ada 3,3 juta hektare atau 59 persen kawasan hutan yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Aceh. Dari data itu, hanya 2,9 juta hektare yang masih berstatus hutan, dan lebih 400 ribu hektare telah berubah fungsi menjadi non hutan.
“Seluas 1,7 juta hektare diantaranya adalah hutan lindung, dan 710 ribu hektare lebih sebagai hutan produksi,” kata Malik Mahmud.
Ia menyebut jutaan hektare luas hutan itu merupakan potensi kekayaan alam Aceh yang saat ini masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Ditambah lagi, setiap tahunnya, begitu banyak kawasan hutan Aceh yang dirusak secara sistematis.
Hal itu, lanjut dia, bukan hanya menyebabkan bencana ekologis seperti banjir dan tanah longsor yang terjadi di Aceh hampir setiap tahun, tapi juga menjadi penyebab terjadinya konflik manusia dengan satwa, terutama gajah dan harimau.
“Tidak maksimal pengelolaan hutan selama ini disebabkan pengelolaan yang tidak baik, rendahnya pengawasan, dan maraknya ilegal logging. Padahal Aceh merupakan satu dari empat provinsi yang memiliki hutan terluas di Indonesia,” katanya.
Sebab itu, Lembaga Wali Nanggroe, sebagai lembaga kekhususan di Aceh yang telah berupaya melakukan langkah-langkah penyelamatan yang berkelanjutan dengan menginisiasikan pembentukan sebuah badan tata kelola dan penyelenggaraan sumber daya hutan Aceh.
“Salah satu langkah yang akan dilakukan melalui lembaga adalah, merumuskan sistem informasi berbasis website database tentang sumber daya hutan di Aceh,” katanya.
Badan ini juga, menurut dia, secara mandiri akan mengelola potensi karbon hutan Aceh yang diperkirakan mencapai 6 juta ton carbon dioxide equivalent (co2e) per tahun.
Semua upaya-upaya akan terus diperjuangkan hingga nantinya terumuskan secara final pola pengelolaan hutan, yang tidak hanya menjaga dari kerusakan, tapi juga memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar.
“Saya telah bertekad, dan mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga hutan kita beserta kekayaan yang ada di dalamnya untuk anak cucu kita, demi masa depan Aceh,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022