Hamparan sawah terbentang luas di Dusun Jogya Desa Sidodadi Ramunia Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang. Tiga pria paruh baya melindungi diri dari panas sinar matahari sembari memegang cangkul merapikan lahan untuk ditanami cabai. 

Tak pedulikan panas, para petani itu terus mencangkul membuat pematang yang akan ditanami cabai merah. Mereka tak saling sapa, fokus pada pekerjaan masing-masing sebagai anggota dari kelompok pertanian Juli Tani.

Di sebelah kiri mereka, tampak dua perempuan sedang duduk sambil bercerita di bawah terpal pelindung panas sinar matahari. Tapi, tangan mereka terus bergerak memegang tanah persemaian cabai. 

Tanah yang dipegang itu kemudian dimasukkan ke dalam kertas kraft yang telah berbentuk seperti pipa dengan ukuran panjang lima centi meter. 

Dua ibu rumah tangga itu bekerja membuat persemaian cabai untuk ditanami di lahan seluas 48 hektare milik kelompok Juli Tani. Sehari mereka bisa menyelesaikan sampai 2.000 semai. 

Kelompok Juli Tani ini sudah berdiri sejak 1982 dan anggotanya terus bertambah menjadi 105 orang. Usaha pertanian cabai mereka terus meningkat hingga menjadi salah satu penyedia untuk pulau sejumlah provinsi di Sumatera. 

Ketua Kelompok Juli Tani, Yareli mengatakan bahwa mereka tak hanya fokus pada pertanian melainkan juga melakukan kombinasi peternakan. Di mana mereka membuat pupuk kompos sendiri untuk kebutuhan pertanian dan juga pakan ternak. 

Di sektor peternakan, mereka hanya beternak unggas dan ruminansia. Kombinasi itu dilakukan karena keduanya saling berkaitan erat. 

"Kita sebut bahwa awal dari pertanian adalah akhir dari peternakan. Dan akhir dari peternakan menjadi awal dari pertanian. Jadi ada simbiosis mutualisme," kata Yareli.

Yareli menjelaskan, mereka menanam cabai itu dalam setahun dua kali atau dua musim yaitu pada Januari dan Juli, dengan sistem tanam serentak. Lahan pertanian cabai mereka tersebut bukan milik satu orang, melainkan punya masing-masing anggota dalam kelompok tersebut.

Dirinya menyebutkan, dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, hasil pertanian cabai mereka relatif stabil yaitu sekitar 20 ton per hektare setiap musimnya. 

Keuntungan yang didapatkan dari jumlah tersebut bisa mencapai satu miliar dengan harga jual Rp50 ribu per kilogram. Sedangkan untuk biaya produksi yang dikeluarkan pada satu hektare itu hanya Rp240 juta.

"Artinya, karena kita menanam di lahan 40 hektare, maka hasilnya per musim itu bisa mencapai 800 ton, dan setahunnya untuk dua musim berkisar 1.600 ton cabai yang kita hasilkan," ujarnya. 

Kata Yareli, cabai yang dipanen kan mereka itu kemudian dikirimkan ke pasar Deli Serdang dulu, kemudian selebihnya untuk daerah yang telah dijalin kerjasama seperti Riau, Pekanbaru, dan Palembang, Batam hingga ke Aceh. 

Lebih spesifik, Kelompok Juli Tani baru menjalin kerjasama dagang dengan Aceh pada Agustus 2022, dan itu terbangun setelah difasilitasi oleh Bank Indonesia Wilayah Aceh. Sehingga saat ini mereka sudah mulai mengirim cabai ke distributor di pasar Lambaro Kabupaten Aceh Besar.



Kehadiran Bank Indonesia

Kelompok Tani Juli ini mengalami peningkatan hasil panen sejak 2017 sampai sekarang. Bukan tanpa sebab, tingginya produktivitas cabai mereka itu tidak terlepas dari kehadiran Bank Indonesia Wilayah Sumatera Utara memberikan bimbingan hingga bantuan teknologi. 

Sebelum menjadi binaan Bank Indonesia, Juli Tani hanya mampu menghasilkan cabai 14 ton per hektare setiap musimnya. Namun, setelah kehadiran bank sentral itu hasil yang diperoleh meningkat menjadi 20 ton per hektare hingga hari ini.

"Sebelum menjadi binaan Bank Indonesia itu paling kencang hasil panen kita hanya pada kisaran 14 ton per hektare. Alhamdulillah sekarang kita sudah sampai 20 ton per hektare produksinya," kata Yareli.

Yareli menjelaskan, peran Bank Indonesia terhadap kelompok tani mereka sangat baik. Prosesnya dimulai dari awal hingga akhir, sehingga mereka merasakan perkembangannya.

Di mana, Bank Indonesia memberikan bimbingan, peningkatan kapasitas, diajarkan bagaimana menanam cabai dengan baik dan bena, pengolahan pupuk kompos yang sempurna.

Kemudian, mereka juga mendapatkan ilmu bagaimana pemanfaatan teknologi terhadap pengolahan lahan yang sempurna, sampai tata cara melihat unsur hara. 

"Saat sebelum menjadi binaan bank Indonesia, kita tidak tahu banyak, yang penting olah tanam. Waktu itu kami tanam tanpa ukuran sehingga hasilnya tidak pernah maksimal," ucapnya. 

"Sekarang kita sudah bisa memprediksi musim, berapa kelebihan dan kekurangan pupuk sehingga bisa membuat langkah antisipasi," terang Yareli. 
 
Dua ibu rumah tangga sedang melakukan persemaian cabai untuk di tanam oleh kelompok Juli Tani sedang mencangkul lahan untuk penanaman cabai, di Desa Sidodadi Ramunia Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Sabtu (5/11/2022) (ANTARA/Rahmat Fajri)


Selain memberikan pendampingan, lanjut Yareli, Bank Indonesia juga memberikan mereka bantuan teknologi pertanian Automatic Weather Station (AWS) untuk melihat kondisi udara, kecepatan angin, kelembaban udara, serta curah hujan . 

Kemudian, Bank Indonesia juga memberikan dukungan alat Jinawi yang berguna untuk melihat kondisi lahan, kondisi tanah. Dengan alat tersebut mereka bisa melihat berapa kebutuhan pupuk yang akan dipakai. Sehingga resiko gagal panen dapat dicegah.


Berperan cegah inflasi

Kelompok Juli Tani tanya berfikir bagaimana meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka juga berpikir agar tak menjadi salah satu penyumbang terjadi inflasi di daerah. 

Seiring banyaknya hasil cabai yang dipanen dan tingginya permintaan pasar setelah dilakukan kerjasama antar daerah. Mereka juga membatasi pemberian cabai, dilakukan agar stabilitas harga tetap terjaga. 

Seperti untuk pasar Lambaro Aceh, kepada kelompok Tani Juli diminta untuk mengirimkan 2 ton cabai per hari. Namun, tidak diberikan sepenuhnya. 

Bukan karena tidak tersedianya cabai, melainkan untuk menjaga tidak melimpahnya cabai di Aceh yang bisa membuat turunnya harga. Karena diketahui bahwa mereka bukan satu-satunya penyuplai ke tanah rencong. Sikap itu juga mencegah inflasi di tempat lain. 

"Kebutuhan di Aceh sebenarnya banyak sampai 2 ton per hari, tetapi tidak mungkin kita penuhi semua karena Deli Serdang dan daerah lain juga butuh cabai. Jangan nanti Aceh aman, tempat lain terjadi inflasi karena barang kurang," kata Yareli.

Apalagi, kata Yareli, mereka saat ini sudah bekerjasama lebih dulu dengan Riau, Palembang, Pekanbaru, batam hingga ke Aceh. Setiap tahun pembeli terus dicari supaya tidak ada daerah yang kekurangan cabai dan bisa terjadinya inflasi

"Kita panen itu satu hari sampai 7 ton cabai, karena itu kita penuhi dulu untuk daerah lokal. Sisanya baru ke wilayah lain sehingga semuanya dapat. Dengan seperti itu stabilitas harga selalu terjaga di satu daerah," tuturnya.

Dirinya menjelaskan, dalam kamus mereka juga tidak memprioritaskan daerah yang sedang mahal harga kebutuhan pokok. Karena kondisi tersebut bisa saja berubah dalam setiap waktu ketika barang tiba-tiba melimpah. Akhirnya harga kembali tidak stabil. 

"Jadi kita tidak ingin menguntungkan satu pihak saja atau kirim banyak ke daerah yang sedang tinggi harganya. Semua ini kita lakukan supaya kita tetap bisa selalu menjaga kestabilan harga," demikian Yareli.


Desa Pertanian

Masyarakat Desa Sidodadi Ramunia Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang mayoritasnya bergerak pada sektor pertanian, baik itu cabai, padi, bawang dan berbagai tanaman hortikultura lainnya. 

"Pada umumnya kurang lebih penduduk kita di sini mencapai 15 ribu jiwa, dan 70 persen dari penduduk itu bergerak di sektor pertanian," kata Kepala Desa Sidodadi Ramunia Suparmen.

Di Desa Sidodadi sendiri terdapat sebanyak 11 kelompok pertanian, tetapi umumnya menanam atau memproduksi padi. Khusus untuk cabai hanya di kelompok Tani Juli itu saja. 

Suparmen menjelaskan, semua pengurus dari kelompok pertanian di desa tersebut memiliki skill atau keahlian masing-masing. Mulai dari pembibitan, pembuatan pupuk kompos  dan lain sebagainya.

"Bahkan di desa kita ini juga ada klinik penelitian untuk pertanian, petani bisa berdiskusi juga menyampaikan persoalan pertanian ancaman gagal yang mereka alami, sehingga bisa dicarikan solusi," ujarnya. 

Saat ini, lanjut Suparmen, banyak dari generasi penerus desa tersebut sedang menempuh pendidikan pertanian baik Sumatera Utara sendiri maupun di perguruan tinggi ternama lainnya. 

Banyak dari mereka yang fokus pada pendidikan pertanian juga mendapatkan beasiswa dari kelompok Juli Tani yang dikirimkan ke kota pelajar Yogyakarta. Mereka yang dibiayai itu adalah anak-anak dari keluarga kurang mampu.

"Untuk sementara ini lebih kurang ada 50 orang anak-anak kita yang kurang mampu mendapatkan beasiswa dari Juli Tani untuk kuliah ke Yogyakarta untuk menekuni ilmu pertanian," tutup Suparmen.

 

Pewarta: Rahmat Fajri

Editor : M Ifdhal


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022