Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh menemukan lima kasus perdagangan, tujuh kematian, dan satu kasus akibat konflik manusia dengan satwa lindung pada 2022.
"Kami menemukan belasan kasus perburuan dan kematian satwa lindung sepanjang 2022," kata Koordinator Divisi Advokasi FJL Aceh Munandar Syamsudin, di Banda Aceh, Rabu.
Munandar mengatakan, satwa lindung yang kerap diperdagangkan yaitu sisik trenggiling seberat 57,19 kilogram pada enam kasus, lalu perdagangan lima rangka tulang-belulang serta kulit harimau, dan satu opsetan beruang madu serta burung tiong emas.
Kemudian, ada juga indikasi perdagangan gading gajah pada kasus kematian gajah tanpa gading di Aceh Tenggara yang hingga saat ini keberadaan gadingnya belum diketahui.
Dari sekian kasus perdagangan tersebut, kata Munandar, perdagangan kulit harimau oleh Mantan Bupati Bener Meriah Ahmadi beserta dua orang rekannya tergolong kasus yang paling menonjol tahun ini.
"Hal ini karena melibatkan mantan bupati yang baru keluar dari penjara karena kasus korupsi," ujarnya.
Kata Munandar, pada kasus lima kematian satwa lindung, terdapat tiga kasus satwa mati akibat jerat yaitu kematian tiga ekor harimau di Aceh Timur, kematian gajah di Peunaron, Aceh Timur, dan kematian gajah tanpa gading di Aceh Tenggara.
Selain itu, ada pula satwa mati karena dugaan dibunuh yaitu kematian orangutan di Gayo Lues, dan ada juga yang mati secara alami ataupun akibat konflik sesama, misalnya pada kasus kematian beruang di Penangkaran BKSDA Aceh, kematian gajah betina di peunaron, dan kematian gajah jinak di CRU Serbajadi.
Dari 13 kasus tersebut, ia menuturkan bahwa terdapat 12 perkara dengan jumlah 20 orang pelaku, dua terdakwa, 15 terpidana, dan tiga orang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
"Kita catat di tahun ini DPO ada Arif dan Aji sebagai pembeli sisik trenggiling dan Aman Subardi sebagai penjual. Sebagian besar pelaku berperan sebagai penjual, pembeli dan pemasang jerat," katanya.
Kemudian, FJL juga mencatat tiga kasus yang belum selesai dari segi penegakan hukum pada tahun ini, diantaranya kasus kematian gajah jantan di Peunaron, Aceh Timur, kematian gajah tanpa gading di Aceh Tenggara yang tubuhnya terkubur sebelah, dan kematian Orangutan di TNGL Gayo Lues yang diduga mati akibat digigit anjing pemburu.
Sementara itu, Manajer Lembaga Suar Galang (LSGK) Missi Muizzan menjelaskan terdapat tiga orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada kasus kematian gajah tanpa gading di Aceh Tenggara, yaitu satu sudah divonis, dan satu berkas yang menangani dua pelaku lagi sudah masuk P19.
"Sedangkan dua kasus kematian gajah sumatera di Aceh Timur, dan satu kasus kematian orangutan di Gayo Lues yang belum ditetapkan tersangka sampai saat ini masih dalam tahap penyelidikan belum penyidikan," katanya.
Tak hanya itu, lanjut Muizzan, kasus perdagangan dan kematian satwa cenderung meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan catatan LSGK ada 10 kasus tahun 2019, 11 kasus tahun 2020, 15 kasus tahun 2021, lalu 2022 naik menjadi 16 kasus.
Menurut dia, kasus cenderung meningkat karena lingkungan belum masuk kasus luar biasa sehingga tindakan hukum yang diberikan juga belum maksimal.
"Lingkungan belum masuk kasus luar biasa. Mereka masih berminat di bisnis ini walau sudah pernah terjerat kasus serupa," demikian Muizzan.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023
"Kami menemukan belasan kasus perburuan dan kematian satwa lindung sepanjang 2022," kata Koordinator Divisi Advokasi FJL Aceh Munandar Syamsudin, di Banda Aceh, Rabu.
Munandar mengatakan, satwa lindung yang kerap diperdagangkan yaitu sisik trenggiling seberat 57,19 kilogram pada enam kasus, lalu perdagangan lima rangka tulang-belulang serta kulit harimau, dan satu opsetan beruang madu serta burung tiong emas.
Kemudian, ada juga indikasi perdagangan gading gajah pada kasus kematian gajah tanpa gading di Aceh Tenggara yang hingga saat ini keberadaan gadingnya belum diketahui.
Dari sekian kasus perdagangan tersebut, kata Munandar, perdagangan kulit harimau oleh Mantan Bupati Bener Meriah Ahmadi beserta dua orang rekannya tergolong kasus yang paling menonjol tahun ini.
"Hal ini karena melibatkan mantan bupati yang baru keluar dari penjara karena kasus korupsi," ujarnya.
Kata Munandar, pada kasus lima kematian satwa lindung, terdapat tiga kasus satwa mati akibat jerat yaitu kematian tiga ekor harimau di Aceh Timur, kematian gajah di Peunaron, Aceh Timur, dan kematian gajah tanpa gading di Aceh Tenggara.
Selain itu, ada pula satwa mati karena dugaan dibunuh yaitu kematian orangutan di Gayo Lues, dan ada juga yang mati secara alami ataupun akibat konflik sesama, misalnya pada kasus kematian beruang di Penangkaran BKSDA Aceh, kematian gajah betina di peunaron, dan kematian gajah jinak di CRU Serbajadi.
Dari 13 kasus tersebut, ia menuturkan bahwa terdapat 12 perkara dengan jumlah 20 orang pelaku, dua terdakwa, 15 terpidana, dan tiga orang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
"Kita catat di tahun ini DPO ada Arif dan Aji sebagai pembeli sisik trenggiling dan Aman Subardi sebagai penjual. Sebagian besar pelaku berperan sebagai penjual, pembeli dan pemasang jerat," katanya.
Kemudian, FJL juga mencatat tiga kasus yang belum selesai dari segi penegakan hukum pada tahun ini, diantaranya kasus kematian gajah jantan di Peunaron, Aceh Timur, kematian gajah tanpa gading di Aceh Tenggara yang tubuhnya terkubur sebelah, dan kematian Orangutan di TNGL Gayo Lues yang diduga mati akibat digigit anjing pemburu.
Sementara itu, Manajer Lembaga Suar Galang (LSGK) Missi Muizzan menjelaskan terdapat tiga orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada kasus kematian gajah tanpa gading di Aceh Tenggara, yaitu satu sudah divonis, dan satu berkas yang menangani dua pelaku lagi sudah masuk P19.
"Sedangkan dua kasus kematian gajah sumatera di Aceh Timur, dan satu kasus kematian orangutan di Gayo Lues yang belum ditetapkan tersangka sampai saat ini masih dalam tahap penyelidikan belum penyidikan," katanya.
Tak hanya itu, lanjut Muizzan, kasus perdagangan dan kematian satwa cenderung meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan catatan LSGK ada 10 kasus tahun 2019, 11 kasus tahun 2020, 15 kasus tahun 2021, lalu 2022 naik menjadi 16 kasus.
Menurut dia, kasus cenderung meningkat karena lingkungan belum masuk kasus luar biasa sehingga tindakan hukum yang diberikan juga belum maksimal.
"Lingkungan belum masuk kasus luar biasa. Mereka masih berminat di bisnis ini walau sudah pernah terjerat kasus serupa," demikian Muizzan.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023