Banda Aceh (ANTARA) - Elemen sipil beserta ulama hingga akademisi mendorong Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dapat mengeluarkan kebijakan tata ruang Aceh berdasarkan perspektif Islam.
"Dorongan ini sesuai dengan hasil kesepakatan dan rekomendasi muzakarah kebijakan ruang Aceh berkeadilan ekologis," kata Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, di Banda Aceh, Selasa.
Shalihin mengatakan, pihaknya bersama Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh hingga civitas akademika telah melaksanakan muzakarah kebijakan ruang Aceh berkeadilan ekologis, dan menghasilkan tujuh rekomendasi kepada pemerintah dan DPRA.
Baca juga: Pemerintah Aceh sudah tetapkan 350 gampong iklim
Rekomendasi tersebut ditandatangani Warek III, UNISA Samalanga Dr Helmi Intan, Ketua MPU Aceh Faisal Ali, Direktur Ma'had Ali Darul Munawwarah Abiya Dr Anwar Usman, dan Direktur WALHI Aceh Ahmad Shalihin.
Shalihin menyebutkan, adapun rekomendasi hasil muzakarah tersebut terdapat tujuh poin yakni mendesak Gubernur Aceh dan DPRA segera mengesahkan Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh pada 2025.
Kedua, mendorong Gubernur Aceh dan DPRA menerapkan prinsip dasar dalam kebijakan ruang Aceh berdasarkan perspektif Islam antara lain, tauhid, yaitu kesadaran bahwa ruang adalah ciptaan Allah SWT yang harus diperlakukan penuh kehormatan dan tanggung jawab.
Kemudian, khalifah, yaitu manusia sebagai khalifah di bumi bertugas menjaga keseimbangan ekosistem dan membangun wilayah untuk kesejahteraan umat. Lalu, keadilan, yaitu keadilan dalam distribusi lahan, pemanfaatan ruang, dan alokasi sumber daya.
Selanjutnya, Maslahah, yakni mengutamakan kemanfaatan umum tanpa merugikan pihak tertentu atau merusak lingkungan. Dan Tawazun (keseimbangan) yaitu menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
Rekomendasi ketiga, lanjut Shalihin, mendesak Gubernur Aceh dan DPRA agar rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh berlandaskan syariat Islam dan mampu mewujudkan visi misi pembangunan yang seimbang antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan antar manusia, dan hubungan manusia dengan alam.
"Ke empat, kita juga mendesak Gubernur Aceh untuk membuka data dan informasi terkait pengelolaan
sumber daya alam mencakup sektor perkebunan, pertambangan, dan kehutanan," ujarnya.
Baca juga: Menhut tinjau lahan perusahaan milik Presiden Prabowo untuk area preservasi gajah di Aceh
Kelima, perumusan dan pembahasan rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh serta aturan lainnya dapat memberikan kesempatan partisipasi bagi unsur ulama, cendekiawan muslim, masyarakat adat, kelompok perempuan, rentan, dan pihak lainnya yang dianggap memiliki pengetahuan tentang rancangan qanun tersebut.
Keenam, mendesak Gubernur Aceh dan DPRA mengakui dan menetapkan kawasan perlindungan satwa, wilayah kelola masyarakat, hutan adat,
koridor satwa, dan kawasan ekosistem leuser (KEL) dalam Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh.
Terakhir, sebelum pengesahan Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, maka harus mendapatkan rekomendasi dari MPU Aceh. Karena hal tersebut sesuai dengan ketentuan Qanun Aceh Tentang Tata Cara Penyampaian pendapat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh.
"Kita berharap rekomendasi ini dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintahan Aceh dan menjadi pertimbangan semua pihak dalam pelaksanaan revisi rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh," demikian Shalihin.
Baca juga: WALHI: Keputusan Prabowo alihkan lahan untuk konservasi harus diikuti konsesi lain