Tapaktuan (Antara Aceh) - Yayasan Gunung Hutan Lestari (YGHL) menilai tidak ada dasar dan alasan yang jelas bagi Fraksi Partai Aceh DPRK Aceh Selatan untuk menolak Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) masuk dalam Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten.

"Penolakan itu, kami nilai tanpa dasar dan alasan yang jelas, sebab yang dimaksud KEL tersebut bukan kawasan lindung melainkan fungsinya yang dilindungi, sehingga bukan seluruh wilayah KEL tidak bisa dijamah oleh masyarakat," kata Direktur YGHL Sarbunis di Tapaktuan, Jumat.

Selain itu, sambung Sarbunis, keberadaan KEL tersebut secara jelas juga telah dimasukkan dalam RTRW Nasional dan RTRW Provinsi Aceh, sehingga RTRW Kabupaten Aceh Selatan yang notabenenya sebagai aturan hukum (qanun) yang posisinya lebih rendah wajib hukumnya mengikuti aturan yang lebih tinggi.

"KEL ini merupakan kawasan strategis nasional yang keberadaannya jelas-jelas telah dimasukkan dalam RTRW Nasional, sehingga dinilai sangat jangkal dan aneh jika dalam pengesahan RTRW Kabupaten Aceh Selatan tidak turut serta dimasukkan KEL sebab pembuatan RTRW kabupaten/kota wajib hukumnya merujuk kepada RTRW Provinsi dan RTRW Nasional," jelasnya.

Tidak hanya itu, kata Sarbunis, terkait keberadaan KEL di Provinsi Aceh juga tertera dalam Undang-undang Pemerintah Aceh (UU PA) Nomor 11 Tahun 2006 pada pasal 150.

Bahkan menurut Sarbunis, point mengenai keberadaan KEL dalam UU PA tersebut sama halnya dengan lahirnya partai politik lokal di Provinsi Aceh.

"Jika lahirnya parlok di Aceh berdasarkan UU PA, maka keberadaan KEL di Aceh juga berdasarkan UU PA karena sama-sama diatur dalam UU PA, sehingga sangat disayangkan jika keberadaan KEL tidak diakui sementara keberadaan parlok justru diakui oleh pihak eksekutif dan legislatif," tegas Sarbunis.

Pihaknya, sambung Sarbunis, juga tidak sepakat keputusan penolakan KEL oleh Fraksi PA DPRK Aceh Selatan atas dasar keresahan masyarakat karena merasa terganggu dengan keberadaan KEL selama ini.

Sebab, kata Sarbunis, tidak seluruh wilayah KEL tidak bisa disentuh oleh masyarakat kecuali khusus terhadap kawasan zona inti hutan lindung seperti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

"Demikian juga terkait belum adanya tapal batas yang jelas sampai saat ini, hal itu memang belum ada karena Qanun RTRW Aceh Selatan baru saja disahkan. Sebab terkait dengan tapal batas KEL tersebut nanti akan ditetapkan secara lebih jelas dan terperinci lagi dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Jika hal itu telah dilakukan maka nantinya akan terlihat jelas pembagian kawasan hutan dalam KEL tersebut," papar Sarbunis.

Meskipun demikian, Sarbunis tetap memberi apresiasi kepada empat fraksi lainnya di DPRK Aceh Selatan yang secara bulat telah mengambil keputusan menyetujui dimasukkan KEL dalam Qanun RTRW Aceh Selatan tahun 2015 - 2035.

"Kami menilai empat fraksi lainnya di DPRK Aceh Selatan telah sangat cerdas dalam menyikapi persoalan tersebut, karena telah mengerti dan memahami duduk persoalannya," ujar dia.

Ia juga mengucapkan terima kasih kepada DPRK Aceh Selatan karena telah mengesahkan Qanun RTRW tersebut, karena jika sampai akhir tahun 2016 ini belum disahkan maka dikhawatirkan pihak pemerintah pusat akan menjatuhkan  sanksi kepada Aceh Selatan berupa pemotongan dana alokasi khusus (DAK).

Ketua Fraksi Partai Aceh DPRK Aceh Selatan, Mizar mengatakan,  dasar masyarakat menolak keberadaan KEL di Aceh Selatan disamping karena tidak adanya sosialisasi yang jelas oleh pihak pengelola juga disebabkan tidak adanya tapal batas yang jelas yang menentukan dimana letak KEL dan dimana letak kawasan hutan yang bisa digarap oleh para petani.

"Perlu diketahui bahwa penetapan wilayah KEL tersebut sudah berlangsung secara serampangan, buktinya tidak saja sudah cukup banyak lahan perkebunan dan pertanian milik masyarakat yang sudah masuk ke dalam KEL, bahkan dapur rumah pendudukpun juga masuk ke dalam KEL sehingga hal ini telah menimbulkan keresahan dan kepanikan masyarakat karena sudah sangat terbatas ruang gerak mereka dalam mencari rezeki," ujar Mizar.

Padahal, sambung Mizar, jika dilihat dari sejarah zaman dulu sudah duluan masyarakat berada dalam wilayah KEL tersebut baik untuk bercocok tanam sebagai penghasilan mata pencahariannya maupun membangun rumah dibandingkan penetapan wilayah KEL di Kabupaten Aceh Selatan.

Akibatnya, kata Mizar, keberadaan KEL dalam wilayah pemukiman penduduk serta lahan pertanian dan perkebunan warga tersebut sangat sering memicu terjadinya konflik antara pihak masyarakat dengan pihak pengelola KEL serta melibatkan aparat penegak hukum.

"Satu sisi kita menilai bahwa masyarakat wajar mempertahankan lahan pertanian dan perkebunan serta wilayah pemukimannya karena sudah duluan mereka hadir di wilayah itu dibandingkan penetapan KEL oleh pihak pemerintah," ujar dia.      Dikatakan, konflik itu sudah cukup lama berlangsung namun hingga saat ini belum ada solusi penyelesaian secara konkrit oleh pihak pemerintah.

"Maka atas dasar itulah, kami atas nama Fraksi Partai Aceh DPRK Aceh Selatan secara tegas menyatakan menolak keberadaan KEL di daerah ini," katanya.

Pewarta: Hendrik

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2016