Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berharap penyelesaian rumah ibadah non muslim di Aceh terutama untuk wilayah Kabupaten Aceh Singkil segera diselesaikan oleh pemerintah serta para pemangku kepentingan.
Wakil Koordinator Kontras Aceh Fuadi Mardhatillah, di Banda Aceh, Jumat, mengatakan selama ini pendirian gereja katolik dan kristen di Aceh masih menghadapi berbagai persoalan yakni terkait perizinan. Bahkan, gereja sudah berdiri saat ini juga masih ada yang belum mendapatkan izin.
"Karena belum ada izin mereka khawatir bisa beresiko pembakaran, digugat, atau semacamnya. Jadi yang sekarang dilakukan kontras Aceh lakukan diskusi agar masalah ini dapat diselesaikan," kata Fuadi.
Hal itu disampaikan Fuadi dalam dialog keberagaman dengan para pemangku kebijakan dan tokoh kerukunan umat beragama di Aceh dalam rangka mendorong penyelesaian polemik pendirian rumah ibadah terutama gereja di Aceh Singkil.
Fuadi menyampaikan, sejak 1979 sebenarnya sudah ada kesepakatan pendirian rumah ibadah tersebut, tetapi tidak pernah ada hasil yang benar-benar disepakati kedua belah pihak karena aspek pemenuhan tidak terakomodasi.
Kemudian, terbentuk lagi kesepakatan hanya boleh mendirikan satu gereja pada 2001. Tetapi, komposisi jumlah pemeluk agama kristen dan katolik yang hampir mencapai 14.000 jiwa tidak memungkinkan hanya mendirikan satu gereja di Aceh Singkil.
Lalu, pada 2019 kembali terbentuk aturan kesepakatan mengenai pendirian rumah ibadah. Di mana hanya dapat melakukan renovasi gereja, tetapi tidak menjadikannya permanen.
"Pada kesepakatan 2019 itu hanya diperbolehkan dibuat secara terbuka dan lebih layak (untuk renovasi bangunan)," ujarnya.
Di Aceh Singkil sendiri, lanjut Fuadi, saat ini telah berdiri sekitar 20 gereja secara layak, tetapi belum mengantongi izin, serta juga ada yang terbuat dari tenda darurat karena dulu pernah dirobohkan.
"Gereja yang masih berdiri ini karena kerusuhan 2015, kemudian tahun berikutnya ada kesepakatan dari Forkopimda Aceh bahwa ada 12 gereja yang dibiarkan berdiri dengan mengajukan rekomendasi dan sisanya dirobohkan," katanya.
Lebih lanjut, Fuadi menjelaskan kendala pendirian rumah ibadah tersebut disebabkan karena belum mampu memenuhi syarat perizinan pendirian rumah ibadah sesuai yang telah diatur dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
"Persyaratan susah mereka penuhi karena banyak syarat dan juga ada ketentuan mengenai pengguna dan pendukung. Itu tidak dapat semua dipenuhi, kalau Qanun tidak dapat dipenuhi bagaimana caranya mereka mendirikan rumah ibadah," ujarnya.
Karena itu, perlu dilahirkan model penyelesaian baru di luar kesepakatan yang sudah ada, langkah itu perlu mengingat peraturan-peraturan pendirian ibadah sebelumnya belum dapat dipenuhi.
"Kalau kita lewat qanun Aceh susah, ayo kita bantu dengan cara lain, sebab ibadah merupakan hak setiap orang," kata Fuadi.
Sementara itu, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh Abdul Hamid Zain mengatakan, polemik pendirian rumah ibadah terutama gereja di Aceh Singkil disebabkan karena belum adanya kesepakatan antara berbagai kalangan antaragama.
"Masyarakat di sana tidak mengizinkan karena tidak ada kesepakatan tadi," kata pria yang akrab disapa Ayah Hamid itu.
Permasalahan lainnya, kata Hamid, karena di dalam agama kristen tersebut berbagai sekte-sekte sehingga diperlukan lagi kesepakatan mengenai jumlah gereja yang dibangun.
Karena itu, FKUB ingin menertibkan hal tersebut, yakni mengenai jumlah kebutuhan rumah ibadah serta pemeluk agamanya.
"Di sana itu, ada satu desa memiliki tiga gereja, ada satu kecamatan sampai lima gereja. Cuma di sini berapa yang dibutuhkan," ujarnya.
Untuk menyelesaikan persoalan itu, dirinya menyarankan agar para pemuka agama dapat membantu mendorong agar umat beragama lain dapat mendirikan rumah ibadah mereka secara baik.
"Kalau perlu kita dirikan bersama dan difasilitasi oleh pemerintah kabupaten/kota," demikian Ayah Hamid.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023