Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) Herman RN menyatakan bahwa Rumoh Geudong di Kabupaten Pidie sudah termasuk dalam situs sejarah meskipun belum ditetapkan secara resmi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh.
"Tentu saja Rumoh Geudong itu situs sejarah, hanya saja belum ditetapkan sebagaimana situs lainnya. Untuk sampai pada penetapan perlu proses. Mungkin karena itu belum ditetapkan atau belum ditempel palang nama situs sejarah," kata Herman RN, di Banda Aceh, di Banda Aceh, Selasa.
Dosen Sejarah FKIP USK itu menegaskan, pernyataannya tersebut juga merujuk pada definisi teoritis bahwa situs sejarah merupakan sebuah lokasi yang memiliki nilai sejarah atau peristiwa terkait militer, politik, budaya, dan sosial.
"Kalau melihat definisi ini, Rumoh Geudong sudah memadai dikategorikan sebagai situs sejarah. Hanya saja, secara regulasi belum ditulis dalam sebuah peraturan tertulis," ujarnya.
Karena itu, menurut dia, Rumoh Geudong tempat camp atau pos penyiksaan yang peristiwanya telah diakui Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu ini tidak sepatutnya dihancurkan atau dihilangkan jejak sejarahnya walaupun belum ada palang nama situs sejarah di sana.
Seperti diketahui, Rumoh Geudong merupakan tempat penyiksaan dan pembantaian terhadap masyarakat Aceh masa konflik 1989-1998 di Desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, dan telah diakui Pemerintah Indonesia.
Dalam kesempatan ini, Herman juga menyayangkan tindakan yang meratakan sisa bangunan Rumoh Geudong tersebut, karena bisa menghilangkan bukti sejarah atau pernah terjadi tragedi berdarah di Aceh.
"Semua orang Aceh keberatan terhadap pelenyapan Rumoh Geudong itu. Hanya orang yang tidak memiliki kepekaan masa lalu yang tega menghancurkan bukti sejarah kekerasan HAM tersebut," kata Herman RN.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa sisa bangunan peninggalan konflik pelanggaran HAM berat Rumoh Geudong tidak bakal dihancurkan.
“Jadi tidak ada yang dibongkar dan dibuang, sebelumnya juga hanya sisa-sisa saja. Ini dilanjutkan aja yang sisa bangunan tersebut," kata Mahfud.
Kata Mahfud, peristiwa Rumoh Geudong ini terjadi tahun 1989-1998, sementara Komnas HAM baru memutuskan tahun 2018 bahwa di sini pernah terjadi pelanggaran HAM berat, dan saat itu hanya diurus oleh masyarakat.
Di sisi lain, Pj Bupati Pidie Wahyudi Adisiswanto menyatakan bahwa di lokasi Rumoh Geudong tersebut nantinya bakal dibangun masjid atau tempat ibadah lainnya, sehingga tidak meninggalkan luka lama yang pernah di alami masyarakat setempat.
“Kita bangun masjid atau tempat ibadah nanti, karena kalau dibangun museum replika di Rumoh Geudong tersebut, maka sama halnya mewarisi dendam kepada generasi baru,” kata Wahyudi Adisiswanto.
Baca juga: Mahfud MD tegaskan sisa bangunan Rumoh Geudong akan dirawat
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023
"Tentu saja Rumoh Geudong itu situs sejarah, hanya saja belum ditetapkan sebagaimana situs lainnya. Untuk sampai pada penetapan perlu proses. Mungkin karena itu belum ditetapkan atau belum ditempel palang nama situs sejarah," kata Herman RN, di Banda Aceh, di Banda Aceh, Selasa.
Dosen Sejarah FKIP USK itu menegaskan, pernyataannya tersebut juga merujuk pada definisi teoritis bahwa situs sejarah merupakan sebuah lokasi yang memiliki nilai sejarah atau peristiwa terkait militer, politik, budaya, dan sosial.
"Kalau melihat definisi ini, Rumoh Geudong sudah memadai dikategorikan sebagai situs sejarah. Hanya saja, secara regulasi belum ditulis dalam sebuah peraturan tertulis," ujarnya.
Karena itu, menurut dia, Rumoh Geudong tempat camp atau pos penyiksaan yang peristiwanya telah diakui Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu ini tidak sepatutnya dihancurkan atau dihilangkan jejak sejarahnya walaupun belum ada palang nama situs sejarah di sana.
Seperti diketahui, Rumoh Geudong merupakan tempat penyiksaan dan pembantaian terhadap masyarakat Aceh masa konflik 1989-1998 di Desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, dan telah diakui Pemerintah Indonesia.
Dalam kesempatan ini, Herman juga menyayangkan tindakan yang meratakan sisa bangunan Rumoh Geudong tersebut, karena bisa menghilangkan bukti sejarah atau pernah terjadi tragedi berdarah di Aceh.
"Semua orang Aceh keberatan terhadap pelenyapan Rumoh Geudong itu. Hanya orang yang tidak memiliki kepekaan masa lalu yang tega menghancurkan bukti sejarah kekerasan HAM tersebut," kata Herman RN.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa sisa bangunan peninggalan konflik pelanggaran HAM berat Rumoh Geudong tidak bakal dihancurkan.
“Jadi tidak ada yang dibongkar dan dibuang, sebelumnya juga hanya sisa-sisa saja. Ini dilanjutkan aja yang sisa bangunan tersebut," kata Mahfud.
Kata Mahfud, peristiwa Rumoh Geudong ini terjadi tahun 1989-1998, sementara Komnas HAM baru memutuskan tahun 2018 bahwa di sini pernah terjadi pelanggaran HAM berat, dan saat itu hanya diurus oleh masyarakat.
Di sisi lain, Pj Bupati Pidie Wahyudi Adisiswanto menyatakan bahwa di lokasi Rumoh Geudong tersebut nantinya bakal dibangun masjid atau tempat ibadah lainnya, sehingga tidak meninggalkan luka lama yang pernah di alami masyarakat setempat.
“Kita bangun masjid atau tempat ibadah nanti, karena kalau dibangun museum replika di Rumoh Geudong tersebut, maka sama halnya mewarisi dendam kepada generasi baru,” kata Wahyudi Adisiswanto.
Baca juga: Mahfud MD tegaskan sisa bangunan Rumoh Geudong akan dirawat
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023