Masjid Biru atau yang lebih dikenal dengan Blue Mosque, ternyata tidak hanya ada di Turki. Armenia dengan penduduk beragama Islam kurang dari satu persen dari total tiga juta penduduk, juga memiliki Masjid Biru.
Armenia, negara yang secara geofrafis berada di Asia tapi secara sosial dan budaya lebih condong ke Eropa tersebut, memang pernah mengalami pasang surut sejarah di bawah kekuasaan Islam.
Negara yang tidak memiliki laut (landlock) itu, dikepung oleh budaya Islam karena di timur berbatasan dengan Turki, di selatan Iran, di barat Azerbaijan dan Georgia di utara.
Meski tidak sebesar dan semegah Masjid Biru milik Turki yang berlokasi di Kota Istanbul, Masjid Biru di Yerevan, Ibu Kota Armenia, setidaknya menjadi benteng terakhir kejayaan Islam di negara tersebut.
Masjid Biru yang terletak di Mashtots Avenue nomor 12 di pusat Kota Yerean itu, adalah satu-satunya masjid yang masih berdiri tegak dengan megah di Armenia dari tujuh mesjid yang ada sebelumnya. Enam mesjid lain tidak diketahui keberadaannya karena ditutup waktu pemerintah komunis Soviet dan berganti fungsi.
Pejalan kaki yang melintas di Jalan Mashtots tersebut dipastikan tidak akan mengetahui keberadaan Masjid Biru karena memilik pintu gerbang yang tidak besar dan tidak mencolok.
Sebagai satu-satunya penanda hanyalah sebuah pintu gerbang berukuran sekitar tiga meter dan tinggi dua setengah meter dengan tulisan kaligrafi di atasnya.
Tapi begitu melewati pintu gerbang, terbentang sebuah taman luas dan kolam air di tengahnya. Taman dengan pohon cukup besar serta berbagai tamanan yang ada di dalam komplek bangunan berbentuk segi empat itu, membuat suasana tampak asri dan sejuk.
Pada hari pertama Bulan Ramadhan beberapa waktu lalu, beberapa pengurus masjid yang umumnya adalah warga Armenia keturunan Persia, tampak sibuk menyiapkan tempat untuk mengaji dan berbuka puasa bersama.
"Oh, Anda dari Indonesia? Selamat datang my brother. Silahkan masuk dan berbuka bersama kami disini," kata Behnam Mokhtary, salah seorang pengurus masjid dengan ramah kepada Antara yang datang berkunjung.
Mokhtary kemudian memperkenalkan Antara kepada beberapa temannya yang sedang berada di dalam masjid. Ia senang karena menerima kunjungan dari sesama Muslim yang datang dari negara yang jaraknya ribuan kilometer.
"Saya tahu kalau Indonesia adalah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Memang banyak tantangan kalau kita berada dalam posisi minoritas. Tapi alhamdulillah, kebebasan beragama dijamin di Armenia," katanya menjelaskan.
Saat memasuki masjid dengan warna karpet serba merah itu, sekitar 15 orang pria dewasa sedang mengaji bergantian, dipimpin Imam Masjid Ahmed Shajaan, sementara di sudut ruangan lain, beberapa orang, termasuk anak-anak menyiapkan hidangan untuk berbuka.
Yang membedakan suasana di dalam masjid yang beraliran syiah itu dengan di Indonesia pada umumnya, tidak terlihat satu pun kaum wanita.
Hidangan berbuka yang disuguhkan di atas plastik sepanjang empat meter dengan diameter 50 cm adalah sepotong roti, segelas teh manis, tiga biji kurma, telur rebus, keju, irisan mentimun dan tomat.
Secara keseluruhan, terdapat tidak lebih dari 50 orang jamaah yang berada di masjid tersebut pada saat menjelang berbuka puasa. Dari jumlah tersebut dapat disimpulkan bahwa umat Islam benar-benar minoritas di Armenia.
Usai berbuka, Ahmed yang sudah 15 tahun bermukim di Yerevan mengakui bahwa tidak ada angka pasti mengenai jumlah penduduk Armenia yang menganut Islam.
"Memang tidak ada yang bisa menyebutkan angka pasti. Tapi penganut agama Islam di sini umumnya adalah warga Armenia keturunan Iran dan Kurdi," kata Ahmed.
Berdasarkan sensus 2011, demografi agama di Armenia menempatkan Kristen Apostolik sebagai agama terbesar dengan jumlah 94,8 persen dari tiga juta penduduk, disusul Katholik dan Kristen Ortodoks.
Sementara penganut agama Islam malah tidak sampai satu persen atau hanya dalam hitungan ribuan saja.
Meski sangat minoritas di Armenia yang sejak tahun 301 menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara, Islam setidaknya pernah menggapai kejayaan.
Menurut sejarah, Islam mulai masuk ke Armenia pada abad ketujuh. Bangsa Arab dan kemudian Suku Kurdi mulai menetap di Armenia setelah invasi Arab pertama dan memainkan peran cukup besar dalam sejarah politik dan sosial.
Sebagian wilayah Armenia dikuasai oleh penguasa Islam sampai dari abad ke-19, sebelum kemudian jatuh ke kekuasan Rusia setelah Perang Rusia-Persia pada 1826-1828.
Masjid Biru dibangun pada 1765 atas perintah Hussein Ali Khan yang kala itu menjadi Gubernur Yerevan. Terdapat ruang shalat seluas 442 meter persegi, kubah utama setinggi 20 meter dan menara setinggi 24 meter. Juga terdapat sebuah ruangan perpustakaan, 26 ruang kelas.
Atas bantuan dana dari Pemerintah Iran yang bekerja sama dengan Yayasan Mostazafan va Janbazan, komplek masjid tersebut direnovasi pada 1996 dan selesai 1999.
Sekarang ini, komplek masjid tersebut tidak hanya berfungsi sebagai rumah ibadah, tapi juga tempat belajar bahasa Persia, perpustakaan, galeri foto serta tempat tujuan wisata, terutama bagi turis asing yang beragama Islam.
Selama kekuasaan komunis Uni Soviet, Masjid Biru ditutup dan dijadikan Museum Sejarah. Tapi setelah Armenia memperoleh kemerdekaan pada 1991, mesjid tersebut kembali dibuka dan direnovasi dengan bantuan Pemerintah Iran, negara tetangga.
Pada 1995, Pemerintah Kota Yerevan menyerahkan kepemilikan Masjid Biru kepada Pemerintah Iran dan pada Desember 2015, Pemerintah Armenia memutuskan untuk memperpanjang kepemilikan untuk masa 99 tahun kemudian.
Tapi renovasi total terhadap Masjid Biru tersebut bukan tanpa kontroversi.
Azerbaijan, negara tetangga yang mayoritas Islam, pernah menyampaikan keberatan atas renovasi Mesjid Biru karena diklaim sebagai masjid yang merepresentasikan Iran.
Padahal, menurut klaim pihak Azerbaijan, masjid tersebut merupakan peninggalan sejarah bangsa mereka yang pernah memiliki komunitas besar di Armenia.
Meski penuh kontroversi, keberadaan Masjid Biru setidaknya menjadi bukti sejarah bahwa kekuasaan Islam pernah berjaya di Armenia.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2017