Banda Aceh (ANTARA) - Suka cita menyelimuti bumi "Serambi Mekah" 14 tahun lalu, ketika "beduk" untuk mengakhiri konflik bersenjata mulai ditabuh pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Letusan senjata dan dentuman bom yang hari-hari menyelimuti Aceh saat itu pun mereda, setelah perwakilan Pemerintah RI dan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dimediasi Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, sepakat mengakhiri konflik bersenjata.
Kesepakatan damai antara RI dan GAM itu menjadi mementum awal kebangkitan Aceh dari keterpurukan akibat konflik bersenjata, ditambah lagi dengan hancurnya berbagai fasilitas umum karena bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004.
Tidak kurang dari 10 ribu nyawa melayang akibat konflik berkepanjangan, kemudian tercatat sekitar 200 ribu penduduk dinyatakan meninggal dunia dan hilang karena bencana gempa dan tsunami melanda Aceh.
Kini setelah 14 tahun silam, situasi keamanan di Aceh sangat kondusif, aktivitas ekonomi menggeliat tidak hanya di siang hari tapi juga sampai larut malam. Kedai-kedai atau warung kopi ada yang buka sampai 24 jam sehari.
Jalan lintas Sumatera dari Kota Banda Aceh sampai Kabupaten Aceh Tamiang pun tidak pernah sepi dari aktivitas kendaraan selama 24 jam. Kondisi itu tentu saja berbeda saat Aceh didera konflik.
Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah menyatakan perdamaian yang telah terbina di provinsi itu menjadi kunci dan instrumen penting dalam menyukseskan pembangunan menuju program "Aceh Hebat dan Sejahtera".
Ia mengajak kepada seluruh elemen masyarakat Aceh agar tetap bersinergi, bahu membahu dalam rangka merawat dan menjaga perdamaian yang merupakan nikmat Allah SWT yang patut kita syukuri.
“Ini merupakan perjuangan yang sangat melelahkan bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan sejarah masyarakat Aceh untuk menggapai kehidupan yang lebih baik dan bermartabat,” katanya.
Untuk merawat dan menjaga perdamaian yang telah terbina tidak ada cara yang lebih indah, selain menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang bagi seluruh elemen masyarakat Aceh, dengan cara menjalankan perintah agama dan memahami berbagai kearifan lokal yang tumbuh berkembang dalam masyarakat Aceh.
“Bagi kita orang Aceh yang terkenal sebagai masyarakat yang religius, tentu kita memahami bahwa Islam adalah sebuah agama yang mengajarkan perdamaian,” katanya.
Pemerintah Aceh saat ini sedang giat-giatnya melaksanakan program pembangunan di segala bidang, sesuai dengan visi pemerintah Aceh 2017-2022 yaitu terwujudnya Aceh yang damai dan sejahtera melalui pemerintahan yang bersih, adil dan melayani.
Untuk mewujudkan visi tersebut maka salah satu misi terpentingnya adalah menjaga integritas nasionalisme dan berkelanjutan perdamaian sebagai tindak lanjut prinsip-prinsip MoU Helsinki.
Ia mengatakan Visi misi merupakan bentuk komitmen Pemerintah Aceh dalam mewujudkan tujuan pembangunan Aceh secara umum dan khusus yang telah tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) Aceh Hebat 2017-2022.
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Sofyan Djalil mengajak seluruh masyarakat Aceh menumbuhkan kepercayaan terhadap investor agar mau berivestasi dan meningkatkan perekonomian daerah.
"Aceh tidak akan tumbuh ekonominya kalau seperti ini. Maka, bagaimana memberikan kepastian hukum kepada investor," katanya.
Hal tersebut diungkapkan sosok kelahiran Kabupaten Aceh Timur, 23 September 1953 itu, saat Dialog Publik "Memaknai Perdamaian Aceh: Refleksi 14 Tahun MoU RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)".
Selain masalah kepercayaan investor, dia mengakui banyak hal yang masih harus dibenahi di Aceh, seiring dengan perdamaian yang sudah tercipta di Aceh sejak MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. "Makanya, mari perbaiki tata kelolanya. Pemerintah sangat mendukung," kata Djalil yang beberapa kali dipercaya menjadi menteri itu.
Ia juga mengajak anak-anak muda Aceh terus bersemangat dan tak mudah berputus asa dalam membanggakan dan membangun daerahnya. "Saya ini anak tukang pangkas (rambut), ibu saya guru ngaji. Beliau buta huruf, jadi saya mengajari membaca," ujarnya.
Koordinator Mahasiswa Aceh Se-Jakarta Akmal Fahmi menyampaikan angka kemiskinan di Aceh masih paling tinggi dari seluruh daerah yang berada di Pulau Sumatera sehingga memerlukan lebih banyak investor.
"Angka kemiskinan di Aceh 15,68 persen dari seluruh jumlah penduduk. Paling tinggi berada di wilayah Pulau Sumatera. Artinya, bagaimana kemiskinan dan pendidikan bisa teratasi baik," katanya terkait kepercayaan investor di Aceh.
Sementara itu, fasilitator perdamaian Aceh Juha Christensen mengatakan peningkatan ekonomi Aceh merupakan tugas seluruh pihak, baik pemerintah pusat, daerah, dan swasta.
"Itu adalah urusan Kamar Dagang dan Industri, swasta, pemerintah daerah, dan pusat yang sama-sama untuk kondisikan supaya investasi mau masuk," katanya.
Termasuk, kata pria berkebangsaan Finlandia itu, kondisi perpolitikan daerah yang harus dijaga kestabilannya untuk menyejukkan iklim investasi yang dikehendaki investor. "Jangan lupa politikus. Kalau politik tidak stabil, investor tidak tertarik (masuk)," kata Christensen.
Pengamat Politik dan Antropolog Universitas Malikul Saleh Lhokseumawe Teuku Kemal Pasya menilai diusia ke-14 tahun perdamaian Aceh namun kesejahteraan belum kunjung terwujud di provinsi paling barat Indonesia.
"Patut kita syukuri sudah 14 tahun perdamaian di Aceh, tapi belum mampu mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat," kata Teuku Kemal Pasya.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang lahir pasca perdamaian memberikan ruang yang besar untuk pengelolaan pemerintah daerah guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
"UUPA itu produk politik dan banyak kekhususan diberikan untuk Aceh, tapi regulasinya belum cukup maksimal untuk peningkatan sosial maupun kesejahteraan," kata dia.
Menurut Teuku Kemal, Aceh memiliki dana otonomi khusus (otsus) yang cukup besar, namun lagi-lagi pengelolaannya tidak maksimal. Hal tersebut sungguh sangat memprihatinkan bahkan membingungkan.
"Kemampuan manajerial sangat lemah sehingga menyebabkan tidak tepatnya pengambilan kebijakan dan ironinya lagi angka korupsi di Aceh pun masih tinggi," ucap dia.
Meski demikian, ia mengajak para elit politik di Aceh maupun masyarakat secara umum
untuk terus merawat perdamaian dan mengisinya dengan kegiatan-kegiatan positif agar mampu meningkatkan perekonomian masyarakat paling barat Indonesia.
"Jika kembali berperang sama saja dengan keledai, dan para elit politik serta teknokrat harus rela berkorban serta menumbuhkan idealismenya untuk mensejahterakan masyarakat agar Aceh tidak lagi termasuk daerah termiskin di Sumatera," demikian kata Teuku Kemal.
Ajakan untuk merawat perdamaian di provinsi berpenduduk sekitar 5 juta jiwa itu juga disampaikan mantan gerilyawan GAM, yang kini menjabat sebagai bupati Aceh Timur, Hasballah M Thaib.
Perdamaian untuk mengakhiri konflik bersenjata di Aceh bukan dengan cara yang mudah. Karena itu rawat dan jaga perdamaian agar terus berlangsung di Aceh, kata bupati Aceh Timur.
"MoU merupakan dasar pijakan hukum bagi terciptanya kebebasan dan perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak.Untuk itu mari sama- sama kita merawat dan menjaga agar perdamaian ini selalu utuh di bumi Aceh," kata bupati.
Perdamaian Aceh juga bukan tugas sebelah pihak tapi menjaga perdamaian adalah tanggung jawab dan kewajiban semua elemen, khususnya masyarakat di provinsi berpenduduk sekitar 5 juta jiwa tersebut.
Hasballah juga mengajak masyarakat Aceh agar tidak terpengaruh dengan isu-isu yang bisa memecah belah perdamaian Aceh.
"Kami menyerukan untuk tetap memelihara dan menjaga perdamaian yang menyeluruh dan jangan berusaha untuk menghancurkan perdamaian ini. Semoga kita bisa menjaga perdamaian Aceh ini yang kokoh untuk anak cucu kita," ujarnya.
Fasilitator perdamaian Aceh, Juha Christensen, mengatakan satu-satunya kunci untuk menyelesaikan konflik, termasuk konflik bersenjata dalam internal domestik suatu negara adalah melalui dialog.
"Ya, ini kan semua konflik bisa selesai melalui dialog saja. Artinya, harus ada dialog. Kalau ada masalah-masalah di daerah, seperti dulu di Aceh itu kuncinya dialog. Tidak ada proses lain," katanya.
Juha mengakui proses perdamaian Aceh yang tercipta sejak penandatanganan MoU Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM, 15 Agustus 2005 banyak dijadikan contoh negara-negara lain.
Ia sempat diundang Pemerintah Thailand untuk membahas resolusi konflik di Pattani, Thailand Selatan, yang sudah berjalan 10 tahun, hampir sama dengan yang terjadi di Aceh.
"Dengan (diberikan) otonomi. Ya, tidak seperti Aceh karena luar biasa otonomi yang diberikan di Aceh. Namun, Yang penting konflik di Pattani, Thailand Selatan selesai," katanya.
Menurut Juha yang fasih berbahasa Indonesia, pemerintah, baik yang ada di pusat maupun daerah pasti punya keinginan agar konflik atau masalah yang terjadi bisa selesai
"Menurut kami, saya pribadi, tidak ada kunci lain. Tidak ada jalan lain, kecuali dialog. Itu jelas. Untuk menyelesaikan masalah di keluarga, atau politik, atau masalah konflik, hanya dialog kuncinya," katanya.
Perdamaian bukan hanya soal tidak ada konflik bersenjata, tetapi perdamaian adalah adanya keikhlasan sosial, kesehatan yang baik, kemudian ekonomi juga bisa tumbuh.
"Kami bersama semua pihak yang terlibat perdamaian di Aceh sangat bangga bahwa ini proses perdamaian Aceh menjadi model dan harapan untuk penyelesaian konflik di daerah-daerah lain," kata Juha.