Kopi arabika gayo dikenal di seluruh dunia karena kenikmatan cita rasanya yang kompleks. Setiap tetes dari hasil ekstraksi varietas kopi gayo mengandung rasa buah, coklat, karamel dan kacang.

Perjalanan kopi gayo dari kebun petani ke cangkir kita, melewati rantai perdagangan yang terus bertahan sejak jaman dulu. Perdagangan kopi arabika gayo melibatkan peran penting "toke", yaitu pedagang yang membeli kopi dari petani dalam berbagai tahap pengolahan.

Ada beberapa jenis toke yang ada di dalam rantai perdagangan kopi khas Aceh ini. Toke kopi gayo umumnya adalah penduduk lokal yang memiliki pengetahuan mendalam tentang kopi dan memiliki jaringan pemasaran yang luas. Sistem perdagangan kopi melibatkan toke sudah berlangsung lama dan menjadi bagian integral dari budaya masyarakat Gayo.
 
Aktivitas perdagangan kopi oleh toke ini terpusat di daerah penghasil kopi Gayo, seperti Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.

Seorang toke memiliki peran krusial dalam menstabilkan harga kopi, menyediakan akses pasar bagi petani, dan memastikan kualitas kopi Gayo tetap terjaga. Sistem harga yang berlapis ini juga mencerminkan nilai tambah yang dihasilkan pada setiap tahap pengolahan kopi sebagai komoditi.

Baca juga: Batu bara dan kopi dominasi ekspor Aceh awal semester dua 2024
 
Rantai perdagangan kopi oleh para toke melibatkan beberapa model sebagai berikut:
 
 
Toke Glondong
Kopi gayo dalam bentuk buah ceri merah atau disebut juga kopi glondongan di Aceh. (ANTARA/Mustabsirah)
Toke glondong merupakan pedagang yang membeli kopi dalam bentuk buah ceri merah langsung dari petani. Saat ini harga kopi di tingkat toke glondong mencapai Rp16.000 per are atau wadah bambu, yang isinya seberat 1,5 kilogram (kilogram).

Harga kopi pada tingkat ini relatif rendah karena masih dalam bentuk mentah dan belum melalui proses pengolahan yang signifikan.
 
 
Toke Gabah
 
Sebutan gabah dalam perdagangan kopi bukan seperti pada umumnya, yang selama ini mengenal gabah berupa butiran padi yang terbungkus sekam. Dalam konteks kopi ini, gabah merupakan buah ceri merah yang sudah dikupas, lalu difermentasi selama satu hari satu malam guna mengurangi sisa lendirnya. 
 
Setelah didiamkan sehari semalam, biji kopi dicuci sampai bersih dan dijemur sampai kering. Hasilnya adalah biji kopi berwarna kuning kecoklatan yang disebut gabah kopi.

 
Kopi gayo yang sudah diolah dan juga disebut gabah kopi di Aceh. (ANTARA/Mustabsirah)
Profesi toke gabah merupakan pedagang yang membeli biji dalam bentuk tersebut dari toke glondong. Saat ini harga kopi di tingkat toke gabah mencapai Rp41.000 per are (1,5 Kg). Kenaikan harga ini disebabkan oleh proses pengolahan yang lebih kompleks, termasuk penyortiran, penggilingan, fermentasi, pencucian, dan pengeringan.
 
 
Toke Beras Kopi 
 
Profesi toke beras kopi merupakan pedagang yang membeli kopi dalam bentuk green bean, atau biji kopi yang dikupas namun belum disangrai dan berwarna hijau. 
 
Biasanya toke beras kopi membeli dari toke gabah dengan harga berkisar Rp170.000 hingga Rp200.000 lebih per Kg. Harga yang jauh lebih tinggi ini mencerminkan nilai tambah dari proses pengeringan mekanis, pengupasan kulit cangkang, dan sortasi akhir.
Perbedaan harga kopi yang signifikan dari ketiga jenis tersebut mencerminkan nilai tambah yang dihasilkan pada setiap proses pengolahan. Semakin kompleks proses pengolahan, maka semakin tinggi pula nilai jual kopi. 

 
Pekerja mengangkat biji kopi arabika Gayo yang dijemur di Desa Mongal, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Rabu, (31/1/2024). . ANTARA FOTO/Khalis Surry
Harga yang tinggi pada tahap beras kopi menunjukkan bahwa kopi gayo jenis ini sudah siap untuk dipasarkan ke tingkat yang lebih luas, baik dalam negeri maupun ekspor.
 
Sistem perdagangan kopi melalui toke di Gayo merupakan model yang unik dan efektif dalam mengembangkan industri kopi lokal. Harga yang berbeda-beda pada setiap tahap pengolahan mencerminkan nilai tambah yang dihasilkan dan memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan kualitas kopi mereka. 
 
Peran toke kopi tidak hanya sebagai pedagang, tetapi juga sebagai penentu harga dan pembuka peluang pasar bagi petani kopi gayo.

Baca juga: Kopi Khop, Membalut Erat Tradisi dalam Secangkir Kopi yang Terbalik
Baca juga: Boh Manoek Weng: Kopi Tradisional Aceh dengan Cita Rasa Unik

Penulis: Mustabsirah, mahasiswa komunikasi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe

Pewarta: Redaksi Antara Aceh

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024