Mendengar berita gempabumi  berkekuatan 7,4 Skala Richter dan disusul tsunami serta likuifaksi   pada Jumat, 28 September 2018 menerjang Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala hingga merembes ke Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi tengah, Ahmad Yani tergerak membantu korban bencana alam yang menggegerkan dunia itu.

Pemudadi Sulawesi Selatan  ini pun dengan segera memutuskan untuk berangkat ke Sulawesi Tengah pada Selasa, 9 Oktober,  padahal dia baru pulang dari Lombok bulan Agustus lalu, juga sebagai relawan pascagempa di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Dia ikut menumpang pesawat Hercules milik TNI AU bersama beberapa rekan yang tergabung dalam Komunitas Relawan Pendidikan Sulsel untuk memberikan bantuan dan dukungan psikososial kemanusiaan pascagempa. 

"Di sini kami memberikan 'trauma healing' bagi anak-anak korban gempa di lokasi pengungsian baik itu di Petobo, Balaroa, Sigi dan daerah terdampak lainnya. Melihat mereka bisa tertawa kembali serta riang gembira, kami sangat senang sekali," ujar pemuda yang biasa disapa dengan sebutan akrab, kak Yan itu di Palu. 

Alumnus Fakultas Pendidikan Sastra, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar ini menyatakan, tanpa diperintah otomatis terpanggil secara sosial. Baginya, memberikan pendidikan kepada anak-anak korban gempa sangat penting, minimal meredam traumatik yang dialami mereka setelah peristiwa itu terjadi. 

Bantuan dukungan psikologis bagi anak penyintas menjadi keharusan. Orang tua pun sangat mendukungnya berangkat ke Palu untuk membantu sesama yang dilanda musibah. Tidak ada niatan apapun selain mengurangi beban korban terdampak bencana.

Mantan anggota Mapala UMI Makassar sekaligus pendiri dan Ketua Himpunan Sastra Arab UMI priode 2011-2013 tersebut mengemukakan, secara psikologis anak-anak dipengungsian menjadi terpukul sehingga perlu dibantu memulihkan kondisi kejiwaan karena di antara mereka ada kehilangan orang tuanya.

"Saya beserta teman-teman masih bertahan  dan terus  berupaya memberikan semaksimal mungkin apa yang terbaik buat anak-anak pengungsi agar mereka kuat serta bangkit kembali dari trauma pascagempa," papar mantan pengurus organisasi Hipermawa juga Pendiri FSI Al Adaab FS UMI ini. 
     
Pria kelahiran Sengkang, 11 Maret 1991 itu menuturkan, dibesarkan dari keluarga sederhana tentu mengetahui rasa kekurangan dan kesusahan, mengingat dampak gempa tidak hanya menghancurkan bangunan, melumpuhkan aktivitas kota, tapi juga meluluhlantakkan mental masyarakatnya.      

Harapan Sumpah Pemuda

Guru pembina Ekstakulikuler SMA IT Al Fityan Kabupaten Gowa, Sulsel itu mengatakan, pemuda harus menjadi garda terdepan dalam menumbuhkembangkan, menggerakkan serta mengawal kemajuan pendidikan bangsa, apalagipada momentum peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober.   

Baginya,  menjadi relawan pendidikan semata-mata untuk mendedikasikan diri kepada masyarakat khususnya mereka yang berada di daerah terpencil,  pulau terluar maupun anak jalanan  yang membutuhkan sentuhan ilmu pengetahuan, bukan mencari kepentingan, keuntungan apalagi materi.     

Dia menilai  sebagian pemuda kini mulai terketuk hatinya ingin menjadi relawan pendidikan, namun  keputusan mereka belum sepenuhnya utuh, karena "hedonisme" masih mengungkung mereka dan pengaruh zaman serba canggih dengan arus infomasi komunikasi begitu cepat membuat anak muda dimanjakan oleh gadget (ponsel pintar, tablet dan sejenisnya).  
     
"Harapan saya di hari Sumpah Pemuda ini, pemuda harus bangkit, bergotong royong membangun dan merapatkan barisan dalam menguatkan bangsa negara kita, tidak terpengaruh budaya asing, apalagi mengkonsumsi narkoba serta terus berprestasi," ucapnya berharap.     
     
Meski demikian, saat ini pemuda sudah banyak mengikuti aksi sosial, membentuk komunitas sosial, tetapi kata mahasiswa pascasarjana UMI ini menilai, masih ada yang setengah-setengah dan belum total sepenuhnya. Sebab, konsistensi menjalankan visi misi dan tujuan sosialnya tidak dijaga.  
     
Namun, anak kelima dari lima bersaudara, buah cinta dari pasangan Thamrin Kadir dan Indo Tarawe ini menyatakan tetap optimisis peran pemuda sangat dibutuhkan oleh negara, sesuai pesan Founding Father Indonesia, Presiden Sukarno, pemuda adalah penggerak dan masa depan bangsa. 

Dirikan Komunitas Peduli Anak Jalanan    

    
Menyandang nama Ahmad Yani, salah seorang jenderal berpengaruh kala pemerintahan Presiden-Wakil Presiden pertama Indonesia Sukarno-Hatta, Yan  punya segudang prestasi. 
    
Tidak hanya berhasil mendapat predikat IPK 4,00 selama masa kuliah, dia juga mendirikan Komunitas Peduli Anak Jalanan (KPAJ) Makassar sekaligus pendiri Komunitas Peduli Anak Yatim dan Fakir Miskin (KPAY FM), Pendiri KPA WILPALA serta KPA IPA. 
    
Selanjutnya, Sikola Cindekia Pesisir, Komunitas Jumat Sedekah Makassar, inisiator Relawan Pendidikan Sulsel, serta pengurus Perhimpunan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) Cabang Makassar.           
    
"Saya bersama rekan-rekan seperjuangan masih terus mendedikasikan ilmu pendidikan kepada anak-anak jalanan di Makassar dengan mengajar berhitung, membaca dan lainnya. Sejauh ini, anak-anak senang dan kami berharap mereka tidak lagi dijalanan bekerja di masa usia sekolah," papar dia. 
    
Ahmad Yani bertutur pengalaman ketika membuka ruang kelas dinamai 'Sekolah Kolong' atau belajar di bawah rumah panggung di Kecamatan Tompu Bulu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. 
    
Daerah ini sulit diakses dan masuk desa terpencil. Anak-anak disana bersama sebagian orang tuanya ikut belajar secara antusias. Bersama rekannya berjibaku mengajarkan mereka membaca, menulis hingga berhitung. Seiring waktu berjalan, sekolah ini pun meredup. 
    
Hal itu dikarenakan kesibukan tenaga pengajar serta tidak adanya Sumber Daya Manusia mengajarkan mereka secara berkesinambungan. Harapan awalnya Sekolah Kolong bisa mendorong pemerintah setempat ikut andil serta berperan didalamnya.  
    
Sedangkan di Pulau Langkae tiga, daerah terluar Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), dirinya pernah mengajar disana. Daerah itu jauh dari keramaian kota, anak pulau setempat cukup senang dengan kehadiran tim pengajar dari Makassar. 
    
"Dulu anak-anak tidak bersekolah disana, karena tidak ada sekolah. Kalaupun ada sekolah di pulau lain jauh dari lokasi itu. Kami datang mengajarkan seadanya apa yang kami tahu dan mereka sangat suka. Mungkin saja sekarang sudah ada sekolah disana," tutur pemuda pencinta alam ini. 
 

Pewarta: Darwin Fatir

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2018